post-thumbnail{float:left;margin-right:20px}

YUDHA

Senin, 13 November 2017

Nyawa Hidupku (25)



Nyawa Hidupku
“Cinta telah tenggelam, ketika hati hanya diam seribu bahasa. Semoga cahayamu akan selalu membatu di kalbu”


Fatimah harus tegar.
Kesabarannya harus diperas bersama air mata yang tertahan ketika menaburi bunga di makam anak gadisnya.

Allah sudah membawanya pergi dengan tenang. Ketika hatinya hancur berkeping-keping.
Fatimah belajar ikhlas, Fitri bukanlah miliknya lagian semua manusia yang hidup akan kembali pula ke asalnya, tanah. Di sisinya Rani, Ihsan, sahabat-sahabat anaknya turun berbela sungkawa.
Gadis berhijab yang memiliki paras ayu tak lupa selalu mengingatkan untuk selalu mendekatkan diri padan-Nya. Apapun yang diberikan dalam kehidupan semua sudah diatur oleh Sang Maha Pengatur. Mereka tidak akan lupa itu. Selama hidup, dia tak pernah sekalipun berkata kasar, kelembutan hatinya mampu meluluhkan. Lia, Ulfa, Sakinah, Ramlah, Tina, bahkan semuanya tahu persis bagaiman sucinya hati Fitri.
“Sabar ya bu... Ibu masih aku punya aku. Aku janji akan menjaga ibu, seperti ibuku sendiri,” kata Ihsan memegang tangan Fatimah yang masih menatap kuburan anaknya.
“Benar Fatimah, Ihsan juga adalah anakmu. Dia anak kita bersama,” Rani merangkul bahunya.
Fatimah berpaling, menyentuh mata wanita yang selalu bersamanya selama mengurusi pemakaman putrinya. Tertegun, kemudian memeluknya erat.
“Kamu harus Fatimah! Jangan menangis di sini,” Kata Rani mengingatkan.
“Ayo kita pergi bu,” ajak Ihsan.
Padahal hatinya tertinggal di batu nisan adiknya. Hah.
***
Ihsan menangis sejadi-jadinya di kamarnya yang penuh dengan foto-foto Fitri. Namun sebisa mungkin tak mengeluarkan suara ataupun raungan. Jangan sampai kedua ibunya mendengar. Memang dia mencoba setegar mungkin di hadapan semuanya padahal hatinya terpuruk. Sudah cukup menghadapi kenyataan pahit bahwa dia dan Fitri adalah kakak beradik, lantas kenapa Tuhan secepat itu mengambilnya? Padahal hanya melihatnya saja lima menit dalam sehari itu sudah cukup? Ke manakah ia harus membawa keperihan hatinya? Adakah di luar sana yang mampu membendung lukanya?
Allah. Hanya Allah.
Bismillah. Astagfirullah. Ihsan merucutkan pikiran. Pasti Fitri tidak ingin melihatnya hidup dalam kemalangan, justru harus bahagia apalagi dengan dua ibu.
“Aku akan membahagiakan ibumu Fit. Aku janji,” ucapnya pelan, terus memandang teduh foto-foto Fitri.
Tok-tok-tok........
Ketukan di balik pintu kamarnya, secepat kilat membuatnya terjaga. Menghapus genangan air mata di wajahnya.
“Assalamualaikum, Ihsan....” Fatimah memanggil.
“Waalaikumsalam bu, sebentar bu.....”
Ihsan bangkit melihat dirinya di dalam cermin. Setidaknya sudah tidak ada air mata yang tergenang, meskipun masih ada tanda-tanda setelah menangis. Kemudian berjalan membuka pintu kamarnya.
“San, ayo kita makan. Ibu dan mamamu sudah memasak masakan kesukaanmu.”
“Ok bu, siap?”
Ihsan menggandeng ibu barunya dalam balutan senyuman yang dibuat-buat, menuju ruang makan. Ketika Rani menyentuh mata keduanya, ia meringkuk isakan. Begitu sedih melihat senyuman palsu di wajah putranya dan Fatimah. Namun, itu lebih baik sekarang.
Hidup akan berjalan terus menerus, meskipun ada rasa perduli, tidak perduli, sedih, senang, bahagia maupun menangis. Hanya saja melaluinya dengan ketegaran adalah yang paling terbaik dari semua kebaikan.
***
Lima tahun berlalu. Banyak perubahan yang terjadi. Ihsan semakin tampan saja, apalagi sudah menggandeng gelar magister pendidikan kimia. Fatimah dan Rani begitu bangga kepadanya. Berharap suatu saat putra mereka akan membuka hati bagi orang lain.
Yudha dan Sakinah pun sudah menikah, dikarunia seorang putra. Irwan dan Yuni masih sibuk-sibuknya mengurusi pernikahan, dibantu sahabat-sahabat setianya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar