Nyawa
Hidupku
“Cinta
telah tenggelam, ketika hati hanya diam seribu bahasa. Semoga cahayamu akan
selalu membatu di kalbu”
Fatimah
harus tegar.
Kesabarannya harus diperas bersama air mata yang
tertahan ketika menaburi bunga di makam anak gadisnya.
Allah
sudah membawanya pergi dengan tenang. Ketika hatinya hancur berkeping-keping.
Fatimah belajar ikhlas, Fitri bukanlah miliknya
lagian semua manusia yang hidup akan kembali pula ke asalnya, tanah. Di sisinya
Rani, Ihsan, sahabat-sahabat anaknya turun berbela sungkawa.
Gadis berhijab yang memiliki paras ayu tak lupa
selalu mengingatkan untuk selalu mendekatkan diri padan-Nya. Apapun yang
diberikan dalam kehidupan semua sudah diatur oleh Sang Maha Pengatur. Mereka
tidak akan lupa itu. Selama hidup, dia tak pernah sekalipun berkata kasar,
kelembutan hatinya mampu meluluhkan. Lia, Ulfa, Sakinah, Ramlah, Tina, bahkan
semuanya tahu persis bagaiman sucinya hati Fitri.
“Sabar ya bu... Ibu masih aku punya aku. Aku janji
akan menjaga ibu, seperti ibuku sendiri,” kata Ihsan memegang tangan Fatimah
yang masih menatap kuburan anaknya.
“Benar Fatimah, Ihsan juga adalah anakmu. Dia anak
kita bersama,” Rani merangkul bahunya.
Fatimah berpaling, menyentuh mata wanita yang selalu
bersamanya selama mengurusi pemakaman putrinya. Tertegun, kemudian memeluknya
erat.
“Kamu harus Fatimah! Jangan menangis di sini,” Kata
Rani mengingatkan.
“Ayo kita pergi bu,” ajak Ihsan.
Padahal hatinya tertinggal di batu nisan adiknya.
Hah.
***
Ihsan menangis sejadi-jadinya di kamarnya yang penuh
dengan foto-foto Fitri. Namun sebisa mungkin tak mengeluarkan suara ataupun
raungan. Jangan sampai kedua ibunya mendengar. Memang dia mencoba setegar mungkin
di hadapan semuanya padahal hatinya terpuruk. Sudah cukup menghadapi kenyataan
pahit bahwa dia dan Fitri adalah kakak beradik, lantas kenapa Tuhan secepat itu
mengambilnya? Padahal hanya melihatnya saja lima menit dalam sehari itu sudah
cukup? Ke manakah ia harus membawa keperihan hatinya? Adakah di luar sana yang
mampu membendung lukanya?
Allah. Hanya Allah.
Bismillah. Astagfirullah. Ihsan merucutkan pikiran.
Pasti Fitri tidak ingin melihatnya hidup dalam kemalangan, justru harus bahagia
apalagi dengan dua ibu.
“Aku akan membahagiakan ibumu Fit. Aku janji,”
ucapnya pelan, terus memandang teduh foto-foto Fitri.
Tok-tok-tok........
Ketukan di balik pintu kamarnya, secepat kilat
membuatnya terjaga. Menghapus genangan air mata di wajahnya.
“Assalamualaikum, Ihsan....” Fatimah memanggil.
“Waalaikumsalam bu, sebentar bu.....”
Ihsan bangkit melihat dirinya di dalam cermin.
Setidaknya sudah tidak ada air mata yang tergenang, meskipun masih ada
tanda-tanda setelah menangis. Kemudian berjalan membuka pintu kamarnya.
“San, ayo kita makan. Ibu dan mamamu sudah memasak
masakan kesukaanmu.”
“Ok bu, siap?”
Ihsan menggandeng ibu barunya dalam balutan senyuman
yang dibuat-buat, menuju ruang makan. Ketika Rani menyentuh mata keduanya, ia
meringkuk isakan. Begitu sedih melihat senyuman palsu di wajah putranya dan
Fatimah. Namun, itu lebih baik sekarang.
Hidup akan berjalan terus menerus, meskipun ada rasa
perduli, tidak perduli, sedih, senang, bahagia maupun menangis. Hanya saja
melaluinya dengan ketegaran adalah yang paling terbaik dari semua kebaikan.
***
Lima tahun berlalu. Banyak perubahan yang terjadi.
Ihsan semakin tampan saja, apalagi sudah menggandeng gelar magister pendidikan
kimia. Fatimah dan Rani begitu bangga kepadanya. Berharap suatu saat putra
mereka akan membuka hati bagi orang lain.
Yudha dan Sakinah pun sudah menikah, dikarunia seorang
putra. Irwan dan Yuni masih sibuk-sibuknya mengurusi pernikahan, dibantu
sahabat-sahabat setianya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar