SALAH
PAHAM
“Jangan
berpikir tentang yang lain, aku hanya menginginkan ada senyum terukir di
wajahmu”
“Ah....
Sial. Kenapa mereka selalu bisa membuat hari-hariku kacau. Ah, dasar cewek dan
cowok sialan, lihat aja akan aku buat kalian mendapatkan apa yang harusnya
kalian dapatkan,” tegas Rini kemudian melempar botol minuman kaleng dingin yang
masih terisi setengah.
Matanya menatap tajam, kepada gadis bercadar dengan
sang masa lalu. Di sisinya ada dua juniornya ikut tersenyum.
***
Seperti yang direncakan sebelumnya, menyuruh salah
satu siswi yang mau dibayar untuk mengambil gambar Suci membuka cadar dan
hijabnya, satu-satunya jalan adalah ketika mengambil air wudhu.
“Okay. Jangan lupa foto ini kamu pasang dan semua
siswa se-sekolahan sudah lihat besok pagi,” Rini tersenyum penuh kemenangan.
“Baik. Jangan lupa bayarannya,” Nabila membalas
senyuman dan mengulurkan tangannya.
Sebuah amplop cokelat yang berisi lima lembar uang
serarus ribu diterima Nabila dari Rini. Tidak lama keduanya keluar dari kamar
mandi dan tak sadar ada orang lain yang mendengar.
“Apa yang sebenarnya mereka rencanakan,” batin Ida.
Astagfirullah.
Suci
menjadi bulan-bulanan pembicaraan. Seolah gulungan kabut yang menghitam dan
mendatangkan hujan, tidak memberikannya ruang untuk bergerak. Dalam tangisan ia
berlari ke kelas.
“Huss... Dasar cewek munafiq. Katanya sholeh, koq
bisa difoto tidak pakai hijab.”
“Muna to the fiq, Munafiq....” diikuti tawa ledekan.
“Mending dibuka aja tuh jilbabnya, tidak ada gunanya
juga.”
Dan, masih banyak celaan lain dan mana mungkin tidak
menerbitkan luka. Entah siapa yang sudah melakukannya? Orang itu benar-benar
tega.
“Sekarang juga kita harus ke ruangan kepala sekolah.
Ini tidak bisa dibiarkan,” Ayu mengepal erat tangannya.
“Benar. Ayo bangun ka Suci,” Ida mengambil tangan
sahabatnya yang masih terisak.
“Tapi.....”
“Kamu tidak usah takut, kami akan selalu ada
untukmu,” Ayu meyakinkan.
Di sisi lain, Ida memberikan anggukan setuju dan
memantapkan hati untuk mendapatkan keadilan.
Sahabat, memberikan harapan di saat tidak ada
matahari cerah menyinari bahkan dalam gelap sekalipun. Terus bersama mengarungi
hidup yang kadang menengadah keras membentur luka.
***
Kepala sekolah mengambil kebijakan mengumpulkan
semua siswa di auditorium dan membuat pelaku mengaku atas perbuatan tercela
yang dilakukan kepada gadis biasa seperti Suci.
“Lebih baik pelakunya harus jujur sekarang, karena
kalau sampai terus berbohong dan suatu saat didapatkan maka bapak akan
mengeluarkannya dari sekolah,” Pak Ihram tegas.
Detik berikutnya diam hampir semua sudut auditorium
sampai salah satu dari siswa yang dikumpulkan menyarankan jalan keluar.
“Lebih baik kita periksa tas semua siswa pak
sekarang, siapa tahu ada bukti yang ditinggalkan pelaku di dalamnya.”
Benar. Secepatnya Pak Ihram menyuruh guru-guru
memeriksa semua tas-tas siswa.
“Aku tidak pecrcaya kamu akan melakukan ini kepada
Suci, Ferdi. Bapak kira kamu sudah berubah,” pak Ihram menggelengkan kepala
masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Semua siswa yang dulu takut kepada Ferdi pun
langsung meneriaki dengan celaan-celaan. Sementara Suci menangis dalam isakan
tertahan. Padahal baru kemarin menjadi dekat dan merasa dirinya adalah orang
baik.
“Bapak akan tetap mengeluarkan kamu dari sekolah ini
Ferdi dan kamu ikut sekarang ke kantor,” suruh Pak Ihram.
Memberontak? Mencoba meyakinkan bahwa bukan dia yang
melakukan hanyalah sia-sia, apalagi ketika melihat keraguan di mata gadis yang
benar-benar sudah membuatnya melupukan masa lalunya yang pahit.
Pict source: imgrug.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar