post-thumbnail{float:left;margin-right:20px}

YUDHA

Rabu, 06 Desember 2017

Baiduri (14)



SALAH PAHAM
“Jangan berpikir tentang yang lain, aku hanya menginginkan ada senyum terukir di wajahmu”


“Ah.... Sial. Kenapa mereka selalu bisa membuat hari-hariku kacau. Ah, dasar cewek dan cowok sialan, lihat aja akan aku buat kalian mendapatkan apa yang harusnya kalian dapatkan,” tegas Rini kemudian melempar botol minuman kaleng dingin yang masih terisi setengah.
Matanya menatap tajam, kepada gadis bercadar dengan sang masa lalu. Di sisinya ada dua juniornya ikut tersenyum.

***
Seperti yang direncakan sebelumnya, menyuruh salah satu siswi yang mau dibayar untuk mengambil gambar Suci membuka cadar dan hijabnya, satu-satunya jalan adalah ketika mengambil air wudhu.
“Okay. Jangan lupa foto ini kamu pasang dan semua siswa se-sekolahan sudah lihat besok pagi,” Rini tersenyum penuh kemenangan.
“Baik. Jangan lupa bayarannya,” Nabila membalas senyuman dan mengulurkan tangannya.
Sebuah amplop cokelat yang berisi lima lembar uang serarus ribu diterima Nabila dari Rini. Tidak lama keduanya keluar dari kamar mandi dan tak sadar ada orang lain yang mendengar.
“Apa yang sebenarnya mereka rencanakan,” batin Ida.
Astagfirullah. Suci menjadi bulan-bulanan pembicaraan. Seolah gulungan kabut yang menghitam dan mendatangkan hujan, tidak memberikannya ruang untuk bergerak. Dalam tangisan ia berlari ke kelas.
“Huss... Dasar cewek munafiq. Katanya sholeh, koq bisa difoto tidak pakai hijab.”
“Muna to the fiq, Munafiq....” diikuti tawa ledekan.
“Mending dibuka aja tuh jilbabnya, tidak ada gunanya juga.”
Dan, masih banyak celaan lain dan mana mungkin tidak menerbitkan luka. Entah siapa yang sudah melakukannya? Orang itu benar-benar tega.
“Sekarang juga kita harus ke ruangan kepala sekolah. Ini tidak bisa dibiarkan,” Ayu mengepal erat tangannya.
“Benar. Ayo bangun ka Suci,” Ida mengambil tangan sahabatnya yang masih terisak.
“Tapi.....”
“Kamu tidak usah takut, kami akan selalu ada untukmu,” Ayu meyakinkan.
Di sisi lain, Ida memberikan anggukan setuju dan memantapkan hati untuk mendapatkan keadilan.
Sahabat, memberikan harapan di saat tidak ada matahari cerah menyinari bahkan dalam gelap sekalipun. Terus bersama mengarungi hidup yang kadang menengadah keras membentur luka.
***
Kepala sekolah mengambil kebijakan mengumpulkan semua siswa di auditorium dan membuat pelaku mengaku atas perbuatan tercela yang dilakukan kepada gadis biasa seperti Suci.
“Lebih baik pelakunya harus jujur sekarang, karena kalau sampai terus berbohong dan suatu saat didapatkan maka bapak akan mengeluarkannya dari sekolah,” Pak Ihram tegas.
Detik berikutnya diam hampir semua sudut auditorium sampai salah satu dari siswa yang dikumpulkan menyarankan jalan keluar.
“Lebih baik kita periksa tas semua siswa pak sekarang, siapa tahu ada bukti yang ditinggalkan pelaku di dalamnya.”
Benar. Secepatnya Pak Ihram menyuruh guru-guru memeriksa semua tas-tas siswa.
“Aku tidak pecrcaya kamu akan melakukan ini kepada Suci, Ferdi. Bapak kira kamu sudah berubah,” pak Ihram menggelengkan kepala masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Semua siswa yang dulu takut kepada Ferdi pun langsung meneriaki dengan celaan-celaan. Sementara Suci menangis dalam isakan tertahan. Padahal baru kemarin menjadi dekat dan merasa dirinya adalah orang baik.
“Bapak akan tetap mengeluarkan kamu dari sekolah ini Ferdi dan kamu ikut sekarang ke kantor,” suruh Pak Ihram.
Memberontak? Mencoba meyakinkan bahwa bukan dia yang melakukan hanyalah sia-sia, apalagi ketika melihat keraguan di mata gadis yang benar-benar sudah membuatnya melupukan masa lalunya yang pahit.

Pict source: imgrug.org  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar