post-thumbnail{float:left;margin-right:20px}

YUDHA

Kamis, 07 Desember 2017

Special Love (13)



KUNIKMATI SEDIH
“Sesungguhnya kesalahan yang selalu aku sesali adalah ketika melukiskan duka di wajahmu”


Irma bukan gadis lemah. Beberapa kali menderukan kalimat itu di kepalanya. Lagian dia  bukan siapa-siapa bagi Ferli, meskipun orang-orang di fakultas bahkan hampir semua orang di kampus mengatakan kalau mereka adalah pasangan, tetap saja tak ada hubungan sama sekali. Tidak perlu ada yang dipusingkan.

Hujan yang menyamarkan tangisannya kemarin sudah enyah. Pasti ia bisa melukis pelangi di kehidupannya sendiri tanpa perlu ada lagi yang namanya cinta diam-diam dan dekat-dekat dengan pujaan hati. Pesuruh? Ya, Irma melepaskannya dan memilih belajar pada sepupu Karin yang juga jago main gitar.
“Kamu tidak apa-apa kan?” Karin merasa sedih.
Ia sudah bersahabat dengan Yuri hampir lima tahun. Selama ini tidak ada jarak di antara mereka. Tak ada rasahasia. Mereka selalu terbuka begitu pula dengan yang dirasakannya kemarin, melalui telepon di kala tengah malam Irma menceritakan segala isi hatinya.
“Kamu harus tahu kalau selalu ada aku di sampingmu,” kata Karin mulai menggenggam tangan sahabatnya yang tidak bisa menyembunyikan kesedihan padanya.
“Makasih,” Irma tersenyum ringan, mengemas kesedihannya dengan sampulan palsu.
Dan, langkah mereka terhenti ketika hampir sampai di kelas. Pemuda yang membuatnya menangis sedang berdiri menghadang jalan mereka.
“Irma. Maafkan aku.”
Tak ada jawaban, hanya kaca-kaca yang sepertinya akan retak lagi di matanya.
“Kak. Please, jangan ganggu teman aku lagi,” Karin yang bersuara nyaring.
“Maksud kamu apa? Aku tidak pernah merasa menyakitinya? Lagian apa yang telah aku lakukan kepadanya? Tolong jelaskan kepadaku sekarang?” Ferli penasaran.
“Hah. Sudahlah kak. Kalau memang kaka tidak merasa yang penting aku mohon, jangan ganggu temanku lagi,” kata Karin lebih tegas.
Air mata itu sudah mengalir di wajah Irma.                    
“Apakah ini yang ini kamu inginkan? Aku jauh darimu?”
“Ia itu yang diingin...” buru-buru dipotong Ferli.
“Please, aku mau dengar sendiri dari mulut Irma, bukan kamu,” mata Ferli tajam.
Butuh waktu beberapa detik, sampai dengan suara parau ia mengatakan agar ia menjauh.
“Jauhi aku dan jangan pernah ganggu aku.”
“Okay, kalau itu maumu. Mulai detik ini akan tidak akan mengganggumu lagi,” Ferli mendung kemudian berbalik pergi.
Pagi yang kiranya karena matahari memberikan sinarnya ternyata tidak sama dengan keadaan dua hati yang sekarang berjauhan karena keadaan, karena kesalahpahaman.
Rindu? Jangan pernah tanyakan, seolah ia rencana yang penawarnya hanya bisa dinikmati dari jauh sekarang.
Allah, kalau memang ia jodohku maka dekatkanlah dan kalau memang sebaliknya, maka jauhkanlah ia. Untaian doa Irma dalam sholat.
Bukan perkara mudah untuk selalu menghindar apalagi mereka berada dalam satu gedung sudah sewajarnya selalu bersentuhan mata. Pun hari-hari selanjutnya semakin merajam kesedihan itu, ketika Luna seolah mengambil kesempatan.
“Kak, ini aku bawakan sarapan untuk kamu.”
Hanya senyuman ringan yang diberikan pemuda jangkung itu.
“Maukan, ini aku bukakan ya,” sambil memberikan humberger kesukaan Ferdi, “Ini, coba dulu,” mengarahkan makanan itu ke mulut Ferdi.
Buru-buru Ferdi menolak dan memakan sendiri, “Hmmm enak. Makasih ya.”
Allah. Di saat sentuhan mata menapaki mereka yang sedang duduk di antara mahasiswa yang sedang berburu wifi gratis di lantai satu karena koneksinya lebih cepat, Irma semakin menikmati kesedihan yang seolah tak ada ujungnya, buru-buru mengambil langkah seribu sebelum ketahuan menatap mendung diam-diam.

Pict source: gambarzoom.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar