KUNIKMATI
SEDIH
“Sesungguhnya
kesalahan yang selalu aku sesali adalah ketika melukiskan duka di wajahmu”
Irma bukan gadis lemah.
Beberapa kali menderukan kalimat itu di kepalanya. Lagian dia bukan siapa-siapa bagi Ferli, meskipun
orang-orang di fakultas bahkan hampir semua orang di kampus mengatakan kalau
mereka adalah pasangan, tetap saja tak ada hubungan sama sekali. Tidak perlu
ada yang dipusingkan.
Hujan yang menyamarkan tangisannya kemarin sudah
enyah. Pasti ia bisa melukis pelangi di kehidupannya sendiri tanpa perlu ada
lagi yang namanya cinta diam-diam dan dekat-dekat dengan pujaan hati. Pesuruh?
Ya, Irma melepaskannya dan memilih belajar pada sepupu Karin yang juga jago
main gitar.
“Kamu tidak apa-apa kan?” Karin merasa sedih.
Ia sudah bersahabat dengan Yuri hampir lima tahun.
Selama ini tidak ada jarak di antara mereka. Tak ada rasahasia. Mereka selalu
terbuka begitu pula dengan yang dirasakannya kemarin, melalui telepon di kala
tengah malam Irma menceritakan segala isi hatinya.
“Kamu harus tahu kalau selalu ada aku di sampingmu,”
kata Karin mulai menggenggam tangan sahabatnya yang tidak bisa menyembunyikan
kesedihan padanya.
“Makasih,” Irma tersenyum ringan, mengemas
kesedihannya dengan sampulan palsu.
Dan, langkah mereka terhenti ketika hampir sampai di
kelas. Pemuda yang membuatnya menangis sedang berdiri menghadang jalan mereka.
“Irma. Maafkan aku.”
Tak ada jawaban, hanya kaca-kaca yang sepertinya
akan retak lagi di matanya.
“Kak. Please, jangan ganggu teman aku lagi,” Karin
yang bersuara nyaring.
“Maksud kamu apa? Aku tidak pernah merasa
menyakitinya? Lagian apa yang telah aku lakukan kepadanya? Tolong jelaskan
kepadaku sekarang?” Ferli penasaran.
“Hah. Sudahlah kak. Kalau memang kaka tidak merasa
yang penting aku mohon, jangan ganggu temanku lagi,” kata Karin lebih tegas.
Air mata itu sudah
mengalir di wajah Irma.
“Apakah ini yang ini kamu inginkan? Aku jauh
darimu?”
“Ia itu yang diingin...” buru-buru dipotong Ferli.
“Please, aku mau dengar sendiri dari mulut Irma,
bukan kamu,” mata Ferli tajam.
Butuh waktu beberapa detik, sampai dengan suara
parau ia mengatakan agar ia menjauh.
“Jauhi aku dan jangan pernah ganggu aku.”
“Okay, kalau itu maumu. Mulai detik ini akan tidak akan
mengganggumu lagi,” Ferli mendung kemudian berbalik pergi.
Pagi yang kiranya karena matahari memberikan
sinarnya ternyata tidak sama dengan keadaan dua hati yang sekarang berjauhan
karena keadaan, karena kesalahpahaman.
Rindu? Jangan pernah tanyakan, seolah ia rencana
yang penawarnya hanya bisa dinikmati dari jauh sekarang.
Allah,
kalau memang ia jodohku maka dekatkanlah dan kalau memang sebaliknya, maka
jauhkanlah ia. Untaian doa Irma dalam sholat.
Bukan perkara mudah untuk selalu menghindar apalagi
mereka berada dalam satu gedung sudah sewajarnya selalu bersentuhan mata. Pun
hari-hari selanjutnya semakin merajam kesedihan itu, ketika Luna seolah
mengambil kesempatan.
“Kak, ini aku bawakan sarapan untuk kamu.”
Hanya senyuman ringan yang diberikan pemuda jangkung
itu.
“Maukan, ini aku bukakan ya,” sambil memberikan humberger kesukaan Ferdi, “Ini, coba
dulu,” mengarahkan makanan itu ke mulut Ferdi.
Buru-buru Ferdi menolak dan memakan sendiri, “Hmmm
enak. Makasih ya.”
Allah.
Di
saat sentuhan mata menapaki mereka yang sedang duduk di antara mahasiswa yang
sedang berburu wifi gratis di lantai
satu karena koneksinya lebih cepat, Irma semakin menikmati kesedihan yang
seolah tak ada ujungnya, buru-buru mengambil langkah seribu sebelum ketahuan
menatap mendung diam-diam.
Pict source: gambarzoom.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar