SAKIT
“Aku
harap dia cinta pertama dan terakhirku”
Ada
suara motor yang meraung-raung, seolah ingin membelah jalan. Senyuman di wajah
Cantik terbenam dan bisa dilihat oleh Digta. Walaupun akhirnya, Digta malah
marah padanya.
“Ngapain kamu di sini? Kamu itu tidak mikir
kesehatanmu? Bagaimana kalau kamu sakit?” wajahnya dipenuhi kekhawatiran.
“Ayo kita masuk” ajaknya tanpa perduli sudah
memegang tangan istrinya.
Lembut. Bagaimana mungkin hati Cantik tidak
tersentuh? Setelahnya disuruhnya mencuci muka dan kakinya, kemudian memberinya
selimut hangat bahkan dia sendiri yang memakaikan. Romantis. Layaknya pasangan
suami-istri muda yang begitu saling mencintai. Walaupun pada akhirnya, ia harus
sadar bahwa ada orang lain di hati Digta.
“Makasih ya,” kata Cantik lembut.
“Ia, tapi kamu harus janji tidak usah menungguku
sampai malam-malam, apalagi sampai hujan di luar. Okay?” alis Digta terangkat.
Cantik hanya mengangguk.
“Kalau begitu tidur sekarang,” kata Digta kemudian
mengangkat bahu dan pergi ke tempat tidurnya sendiri.
Sebelum ia mematikan lampu dari jauh ia menatap
Cantik yang sudah menutup mata. Ada perasaan bersalah hinggap.
“Andai aku tak berkata kasar padanya tadi.”
Ia mendengus nafas berat, pun mematikan lampu dan
tidur.
Waktu mengalun, hujan belum berhenti di luar. Cantik
terbangun dari tidur singkatnya, ia bersin-bersin. Badannya tidak enak, ia
berjalan dalam kegelapan menuju dapur sampai-sampai menabrkan tembok.
“Aw...” katanya kesakitan.
Digta terjaga. Ia buru-buru menghidupkan lampu dan
menanyakan keadaan Cantik.
“Kamu baik-baik saja kan?” Digta mulai khawatir
lagi.
“Aku hanya ingin mengambil saja di dapur. Aku haus,”
suara Cantik sudah parau.
Reflek, Digta memegang dahinya dan merasa suhu panas
sedang menyiksanya. Hah. buru-buru ia membawanya kembali ke tempat tidur.
“Aku aja yang ambilin kamu minum. Kamu tidak usah ke
mana-mana. okay?”
Digta melangkah cepat mengambil air. Nyatanya bukan
hanya air minum yang dibawa, melainkan kompres untuk Cantik.
Begitu perhatian. Begitu melelehkan hati yang beku.
Tidak mungkin kalau tak tersentuh pun mendatangkan ketakutan. Bagaimana kalau aku benar jatuh cinta
padanya dan tidak akan bisa hidup tanpanya? Pekik Cantik dalam batin dan
mencoba mengabaikannya, meskipun masih tetap mencuat di permukaan otaknya.
Cukup lama dikompres, sampai akhirnya ia tertidur di
samping ranjang istrinya.
Adzan subuh berkumandang, Cantik terbangun dan
melihat teduh pemuda yang tertidur dalam keadaan duduk tepat di samping
ranjangnya. Nafasnya berat. Hah.
Perlahan Digta juga terbangun. Saat membuka mata ia
tersenyum padanya.
“Kamu udah baikan?”
“Ia, semua berkat kamu.”
Dan, Digta tersenyum lagi yang terus mengundang
debaran di dada Cantik. Untungnya tidak berlangsung lama, karena harus
mengambil wudhu untuk melaksanakan sholat subuh.
***
Pagi
menjelang. Hujan masih saja deras di luar sana. Cantik memandang air langit
yang membasahi bumi. Begitu tenang pikirannya. Sebenarnya hujan sudah lama
menjadi sahabatnya, sejak ia sering keluar bermain hujan. Tidak heran ayah dan
ibunya dulu suka memarahi. Ia tersenyum mengenang masa kecilnya, begitu indah.
“Kamu lagi mikirin apa sih?” Digta membuyarkan
lamunanya, kemudian memberikan jacket di badannya.
Tentu saja membuat badannya menjadi keringat dingin.
“Kamu tidak apa-apa kan?” mimik Digta khawatir.
“Tidak koq. Mungkin efek obat aja,” tersenyum ringan,
menyembunyikan hati yang berdebar.
Ia kembali memandang hujan dan berterima kasih pada
Tuhan, karena telah menurunkan hujan dan dengan alasan itu, mendapatkan
perhatian besar dari Digta.
pict source: www.anakcemerlang.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar