post-thumbnail{float:left;margin-right:20px}

YUDHA

Rabu, 03 Januari 2018

Baiduri (22)



NINI
“Bukan hanya dia, pun aku juga ingin menyeka kesedihan di wajahmu

Langkah seribu. Ya, sangat berbeda dengan wanita-wanita yang pernah dirayunya. Setelah digoda pasti akan mendekat, memperlihatkan jelas kemauannya ingin bersama. semenara Kirana atau Suci malah memberikan jarak.
Suci berjalan cepat setelah mengucapkan terima kasih sudah diantar. Ia membuka sendiri pintu dan masuk ke dalam rumah. Tak ada pembicaraan lagi. Pun Ferdi tidak mau mengganggu. Pasti wajahnya masih merah karena ledekan anak-anak panti. Ia hanya tersenyum ringan padanya.

Di tengah malam, seperti biasa Suci terbangun mengambil wudhu dan kembali ke kamarnya dengan badan yang menggigil. Sama sekali tidak mengurungkan niat untuk tidak sholat lail. Ia merasa harus banyak curhat pada Tuhan, apalagi masalah perasaannya yang tak kunjung menyatakan maaf. Di samping ada suka di relung hati pada sosok pemuda yang pernah menyakitinya, namun sekarang sangat memperhatikan.
***
Esok menjelang. Bi Ija membawa pembantu seperti yang diperintahkan Suci. Hanya saja sama seperti kemarin, tentang Ferdi yang menjadi sopirnya. Sekarang tante Nini yang akan membantu mengurus rumahnya.
Kedua bola matanya membentuk kaca-kaca yang hampir retak. Mulutnya bungkam membisu. Hah. Pecah ketika dipanggil non oleh wanita paru baya yang pernah merawatnya dari kecil sampai dewasa.
“Non sekarang bisa suruh saya apapun, pasti saya ambilkan,” katanya sambil menunduk.
Anak durhaka kalau akan membiarkan seorang ibu yang merawatnya memanggil non. Buru-buru ia memeluk dan melarang Nini mengucapkan kalimatnya.
“Mohon, jangan bicara seperti itu lagi. Aku tidak mau mendengarnya,” suara Suci disesaki dengan isakan.
“Tapi....” Nini yang mencoba memberi penjelasan, tertahan oleh kalimat Suci yang memeluknya erat.
“Ibu. Aku mohon....”
Ibu. Selama ini kata itu menjadi harapannya, ingin suatu hari ada yang memanggilnya seperti itu. Ya, dia ingin sekali punya anak. Namun Tuhan memiliki skenario berbeda, suaminya meninggal di usia pernikahan yang masih seumur jagung dan sampai saat itu belum ada tanda-tanda hamil. Ah.
Dan, sekarang gadis yang pernah disiksanya memanggilnya ibu. Permohonannya dikabulkan Tuhan melaluinya. Nikmat mana lagi yang akan diingkari? Setelah memutuskan menjadi orang lebih baik dengan memperbaiki akhlak. Hidupnya seakan diberi cahaya. Dan, lagi-lagi melalui perantara Kirana.
“Makasih nak. Sudah memanggilku ibu,” kalimat yang terbata-bata karena diiringi tangisan.
“Iya ibu. Ibu memang ibuku. Maafkan aku, harusnya cepat mengatakan kalau aku sudah memaafkan ibu,” kata Suci kemudia melepaskan pelukannya dan menatap wajah Nini dengan teduh.
“Makasih nak. Makasih. Maafkan ibu selama ini sudah membuatmu menderita,” Nini kembali mendekap dengan erat.
Haru. Membuat siapa saja yang menyaksikan ikut larut. Sebuah kejujuran hati dari seorang perempuan yang sebenarnya memiliki kasih sayang kepada seorang gadis yang ditemukan di depan rumahnya, dirawat layaknya anak kandung. Meskipun diakui pernah disiksa, semua itu hanya untuk melampiaskan kemarahan kepada Tuhan yang membuat hidupnya bergelimang derita.
Ferdi di balik pintu masuk rumah Suci ikut menangis. Allah. Gadis yang benar-benar sudah mencuri hatinya sekarang membuka pintu maaf kepada tante Nini. Semoga dirinya pun begitu. Pekiknya dalam batin.
Dan, setelah adegan menyesakkan. Nini bukanlah pembantu Suci, melainkan seorang ibu. Meskipun begitu, ia sama sekali tidak meminta tinggal di rumah mewahnya, ia lebih memilih tetap di rumahnya. Meskipun Suci memintanya tinggal. Tidak lain, hanya untuk menjaga pembicaraan orang lain. Lebih baik ia bolak-balik berkunjung, meskipun setiap hari. 

Pict source: imgrug.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar