NINI
“Bukan
hanya dia, pun aku juga ingin menyeka kesedihan di wajahmu

Suci berjalan cepat setelah mengucapkan terima kasih
sudah diantar. Ia membuka sendiri pintu dan masuk ke dalam rumah. Tak ada
pembicaraan lagi. Pun Ferdi tidak mau mengganggu. Pasti wajahnya masih merah
karena ledekan anak-anak panti. Ia hanya tersenyum ringan padanya.
Di tengah malam, seperti biasa Suci terbangun
mengambil wudhu dan kembali ke kamarnya dengan badan yang menggigil. Sama
sekali tidak mengurungkan niat untuk tidak sholat lail. Ia merasa harus banyak
curhat pada Tuhan, apalagi masalah perasaannya yang tak kunjung menyatakan
maaf. Di samping ada suka di relung hati pada sosok pemuda yang pernah
menyakitinya, namun sekarang sangat memperhatikan.
***
Esok
menjelang. Bi Ija membawa pembantu seperti yang diperintahkan Suci. Hanya saja
sama seperti kemarin, tentang Ferdi yang menjadi sopirnya. Sekarang tante Nini
yang akan membantu mengurus rumahnya.
Kedua bola matanya membentuk kaca-kaca yang hampir
retak. Mulutnya bungkam membisu. Hah. Pecah ketika dipanggil non oleh wanita
paru baya yang pernah merawatnya dari kecil sampai dewasa.
“Non sekarang bisa suruh saya apapun, pasti saya
ambilkan,” katanya sambil menunduk.
Anak durhaka kalau akan membiarkan seorang ibu yang
merawatnya memanggil non. Buru-buru ia memeluk dan melarang Nini mengucapkan
kalimatnya.
“Mohon, jangan bicara seperti itu lagi. Aku tidak
mau mendengarnya,” suara Suci disesaki dengan isakan.
“Tapi....” Nini yang mencoba memberi penjelasan,
tertahan oleh kalimat Suci yang memeluknya erat.
“Ibu. Aku mohon....”
Ibu.
Selama
ini kata itu menjadi harapannya, ingin suatu hari ada yang memanggilnya seperti
itu. Ya, dia ingin sekali punya anak. Namun Tuhan memiliki skenario berbeda,
suaminya meninggal di usia pernikahan yang masih seumur jagung dan sampai saat
itu belum ada tanda-tanda hamil. Ah.
Dan, sekarang gadis yang pernah disiksanya
memanggilnya ibu. Permohonannya dikabulkan Tuhan melaluinya. Nikmat mana lagi
yang akan diingkari? Setelah memutuskan menjadi orang lebih baik dengan
memperbaiki akhlak. Hidupnya seakan diberi cahaya. Dan, lagi-lagi melalui
perantara Kirana.
“Makasih nak. Sudah memanggilku ibu,” kalimat yang
terbata-bata karena diiringi tangisan.
“Iya ibu. Ibu memang ibuku. Maafkan aku, harusnya cepat
mengatakan kalau aku sudah memaafkan ibu,” kata Suci kemudia melepaskan
pelukannya dan menatap wajah Nini dengan teduh.
“Makasih nak. Makasih. Maafkan ibu selama ini sudah
membuatmu menderita,” Nini kembali mendekap dengan erat.
Haru. Membuat siapa saja yang menyaksikan ikut
larut. Sebuah kejujuran hati dari seorang perempuan yang sebenarnya memiliki
kasih sayang kepada seorang gadis yang ditemukan di depan rumahnya, dirawat
layaknya anak kandung. Meskipun diakui pernah disiksa, semua itu hanya untuk
melampiaskan kemarahan kepada Tuhan yang membuat hidupnya bergelimang derita.
Ferdi di balik pintu masuk rumah Suci ikut menangis.
Allah. Gadis yang benar-benar sudah mencuri hatinya sekarang membuka pintu maaf
kepada tante Nini. Semoga dirinya pun begitu. Pekiknya dalam batin.
Dan, setelah adegan menyesakkan. Nini bukanlah
pembantu Suci, melainkan seorang ibu. Meskipun begitu, ia sama sekali tidak
meminta tinggal di rumah mewahnya, ia lebih memilih tetap di rumahnya. Meskipun
Suci memintanya tinggal. Tidak lain, hanya untuk menjaga pembicaraan orang
lain. Lebih baik ia bolak-balik berkunjung, meskipun setiap hari.
Pict source: imgrug.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar