post-thumbnail{float:left;margin-right:20px}

YUDHA

Minggu, 30 Desember 2018

GELANG (1)


BUKAN PEMBERONTAK
“Aku ingin menjadikanmu soulmate”

Assalamualaikum. Namaku Kitty Nania. Suka menonton Drama Thailand dan baru saja mengantar sampai ke pintu suami tersayang yang berangkat kerja. Aku akan menceritakan bagiamana kisah perjalanan cintaku dengan sang suami.
***
Siang, itu, di Universitas Bina Bangsa, pada bulan September tahun, sebelum kuliah perdana semua mahasiswa baru diwajibkan ikut orintasi kampus masing-masing fakultas. Aku masuk dengan semua panitia ospek Fakultas Tekhnik  di auditorium untuk memberikan pengarahan kepada mereka tentang kegiatan selanjutnya.
“Assalamualaikum wr.wb,” kataku dengan lantang.
“Waalaikumsalam wr.wb,” jawab mereka serentak tetapi dengan keadaan sedikit lemas karena sudah duduk dari jam delapan pagi, sekarang sudah menunjukkan pukul sebelas.
Suara yang lemas itu membuat emosiku bangkit, ditambah dari sekian banyak mahasiswa baru hanya beberapa yang menjawab. Suaraku kembali sedikit lantang untuk memperingatkan mereka, bahwa menjawab salam hukumnya wajib dan meskipun gugur ketika sudah ada yang menjawab, tetapi alangkah baiknya kalau mulut yang diberikan oleh Tuhan kita gunakan dengan baik, salah satunya adalah menjawab salam.
Assalamualaikum wr. wb. Kataku sekali lagi dan kali ini dijawab oleh semuanya. Suara menggema di setiap sudut auditorium. Siapa saja yang di sekitarnya pasti mendengar.
Detik itu, aku sedikit bersyukur karena mereka mendengarka dan melaksanakan dengan baik apa yang aku perintahkan. Tapi tetap saja, aku belum menampakkan keramahan kepada mereka begitu pula teman-teman yang lain. Sudah menjadi kesepakatan bersama saat di ruang rapat. Kemudian, aku memberikan sedikit penjelasan bagaimana kegiatan selanjutnya sampai pada akhirnya.
“Ketika kalian sudah mengikuti semua kegiatan ospek, maka kalian akan mendapatkan gelang fakultas teknik, yang selama ini menjadi kebangaan mahasiswa fakultas teknik,” kataku memperlihatan gelang itu.
Saat itu semua mahasiswa baru terperangah, kecuali salah satu pemuda yang berada di tengah-tengah sedang sibuk memberikan sapu tangan kepada salah satu temannya yang berkeringat. Aku berteriak memanggilnya ke depan.
“Perkenalkan siapa dirimu dan nomor peserta ospekmu,” kataku dengan suara keras.
“Namaku Singto Rian, nomor 003,” katanya namun dengan suara yang lebih rendah.
“Apa kamu kesalahan apa yang sudah kamu lakukan?”
“Tidak kak. Saya tidak melakukan kesalahan apapun.”
“Kamu pikir aku buta?”
“Tidak kak. Kakak tidak buta.”
Kesal. Aku menderuhkan nafas berat. Selama menjadi panitia ospek baru kali ini ada mahasiswa baru yang selalu menjawab perkataanku.
“Apa kamu lihat gelang ini?” kataku sambil memperlihatkan gelang kebanggaan fakultas tekhnik seperti yang aku bicarakan.
“Ia kak, aku lihat,” katanya tetap tenang.
“Bagaimana kalau aku tidak akan pernah memberikanmu?” intonasi marah.
Butuh beberapa detik ia berpikir, sampai ia menjawab, “Aku akan menjadikan kakak soulmate, sehingga aku bisa memintanya gelang berharga itu dan kakak memberikannya dengan senang hati,” kata Singto yang membuat amarahku semakin meledak dan nyaris saja ingin memutusnya. Untung ada Nini, yang memegang tanganku.
Beberapa mahasiswa baru ada yang takjub melihat Singto yang berani melawan ketua ospek yang meskipun sangat perempuan, namun nampak sangat kejam. Ada pula yang ketakutan melihat pertengkaran dan berharap segera terelai.
“Baiklah, kamu buktikan kalau begitu,” kataku kemudian mempersilahkannya kembali duduk dan melanjutkan memberikan pengarahan.
Dasar pemberontak. Pekikku.
***
Special
Aku sangat kehausan. Sudah memberikan pengarahan kepada semua mahasiswa baru dan bahkan hampir bertengkar hebat dengan salah satu dari mereka. Aku berjalan sendiri ke kelas mengambil tas. Namun di atas mejaku, aku mendapati es susu pink kesukaanku dan selembar kertas bertuliskan kata-kata romantis yang membuatku ingin tahu siapa yang melakukannya.
Sebuah bayangan muncul di pintu, aku mengejarnya namun tidak kudapati. Aku beranjak ke serambi kelas dan tetap memegang es susu pink. Tiba-tiba seorang junior yang kucap sebagai pemberontak menatapku lekat yang keberadaannya berada di gedung lantai dua yang menyamping dengan gedung kelasku.  Beberapa detik mata kami saling menantang dan aku merasakan perasaan yang tidak biasa. Segera kumembuang wajah, pura-pura tidak merasakan apapun, hanya saja ia terus melihat dengan teduhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar