post-thumbnail{float:left;margin-right:20px}

YUDHA

Rabu, 13 Februari 2019

GELANG (2)


PEMBELA
“Karena memang kita harus saling tolong menolong”

“Apa kamu tahu kalau kamu menghilangkannya, maka kamu tidak akan dapat lagi?” bentakku pada salah satu mahasiswa baru yang menghilangkan id cardnya.
Wajah gadis berhijab putih itu sama seperti maba lainnya pucat, tetap menunduk dan tidak bisa berucap apa-apa.
Kemudian, asli saya begitu kesal dengan Singto. Pemuda yang saya anggap pemberontak, sekarang dia bersikap sebagai pahlawan memberikan id carnya kepada gadis itu, bahkan memakaiannya. Aku langsung menegurnya dan mengatakan bahwa di sini bukan pertunjukkan super hiro.

“Maaf kak, aku tidak bermaksud begitu,” katanya mencoba membela diri.
Kali ini aku tidak akan membiarkannya berbuat sesukanya, aku pun mengancamnya kalau ia tetap memberikan id cardnya maka kegiatan selanjutnya ia tidak akan bisa ikut.
“Meskipun begitu kak, aku tidak akan mengambilnya kembali,” tegasnya dan dengan mata teduh menatap.
Ingin kujawab dengan lantang, tetapi kutahan sambil kukepel tangan ini.
“Baiklah, kalau begitu kita akhiri pertemuan hari ini dengan mengucapkan hamdalah.”
Semua yang ada di auditorium mengucapkan Alhamdulillah.
Semua mahasiswa baru keluar dengan tertib sementara semua panitia tinggal sebentar untuk rapat.
***
Suasana rapat mencekang, bagaimana tidak saat beberapa panitia memberikan saran dengan aura marah bahwa aku terlalu lembek kepada maba, sampai-sampai dari mereka ada yang melawan.
Singto, pikirku.
Tidak harus membalas keras perkataan teman-teman panitia yang juga sangat berperan penting dalam suksesnya kegiatan penerimaan maba. Lagian mungkin benar apa yang mereka katakan, pun walau merasa aku sudah melakukan apa yang aku bisa, karena sisi hati lain mengatakan jangan sampai membuat maba tersiksa.
“Baiklah, saya mengerti apa yang teman-teman coba sampaikan. Tapi kita harus tetap mengontrol kegiatan kita, agar jangan terlalu memberatkan maba.”
“Ya benar, apa yang dikatakan Kitty,” Nini membela dan menambahkan setelahnya bahwa Ketua Jurusan selalu berpesan bahwa kita harus lebih mengutamakan kesabaran dalam mengospek maba.
“Baiklah,” semua berseru menjawab, termasuk aku.
“Terima kasih ya Ni, kamu udah membela aku tadi di depan teman-teman,” kataku setelah selesai rapat.
Dia memberikan senyum ringan dan merangkulku hangat. Sudah seharusnya sesame panitia apalagi sahabat saling membantu.
***
Waktu berikutnya datang, di mana aku memperlihatkan bagaimana hukuman berat yang akan menimpa kalau menjadi mahasiswa pemalas, selamanya hanya akan menjadi pecundang.
Aku memberikan contoh dengan mengambil sampel panitia mahasiswa semester tiga. Mereka diberikan hukuman dengan scout jump dua ratus kali. Kemudian memberikan penjelasan pada mahasiswa baru bahwa bagi mereka yang pemalas hanya akan menjadi pesuruh di masa depan.
Singto bangkit lagi, bagai pahlawan yang siap menolong korban. Dia memang selalu cari masalah, padahal apa yang diberikan hanyalah sebuah contoh. Tetapi tetap saja dengan lagak pahlawan, Sing ingin menggantikan mereka dihukum.
Aku kembali marah besar. Siapa dia selalu ingin dituruti kemauannya? Aku menyuruhnya keluar dari auditorium, kalau dia tidak mau mengikuti apa yang aku perintahkan. Maka kegiatan seterusnya dia tidak akan bisa mengikuti.
Saat itu, aku menang, dia tidak bisa berbuat apa-apa dan berbalik pergi dengan langkah berat. Sesekali ia menoleh, berharap ada yang akan memanggilnya. Dan, benar semua teman memanggilnya dan mengatakan bahwa ia ingin bersama Singto menggantikan seniornya yang semester tiga untuk dihukum. Ah, aku marah dan tersentuh.
***
Special
Sing tidak bisa berbuat apa-apa. Dia hanya berjalan berat menuju kelas sambil memandangi mereka yang memakai id card. Berat bagi dirinya untuk tidak ikut, ada alasan lain selain ingin mendapatkan pengalaman berharga mengikuti ospek. Alasan yang belum bisa dibeberkannya, namun berjanji suatu hari ia akan mengungkapkannya dengan sepenuh hati.
Alhamdulillah. Alangkah terkejutnya dirinya, saat menemukan id card baru di dalam lokernya. Serasa beban berat di kepalanya enyah di bawa angin. Entah siapa yang memberikannya, dia sangat penasaran. Dia celingak-celinguk tetapi di kelasnya sudah tidak ada orang. Tidak mungkin temannya, karena dari mana dia bisa mendapatnya, hanya senior yang bisa melakukannya. Pikirnya tanpa berhenti tersenyum.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar