KESUCIAN
“Bagaikah
burung yang jatuh terhempas busur, tepat mengenai dada dan mengeyahkan tubuhku”
Tidak seperti biasa, pagi tadi bahkan sampai siang
menjelang tak ada tanda-tanda pembulyan.
Mungkinkah mereka sudah sadar ataukah
sudah capek?
Astagfirullah al-adzim. Mencoba menenangkan diri.
Pukul 13.00, bel tanda pulang sekolah berdentum
nyaring. Hampir semua siswa serentak keluar kelas, tidak begitu dengan Kirana. Dia
harus menyelesaikan terlebih dahulu tugas-tugas makalahnya yang menumpuk,
karena ditinggal mengerjakan tugas Rini dan Ferdi.
Berjalan dari perpustakaan sekolah, satu yang kurang
lebih dua kilometer menuju gerbang sekolah. Seperti ada yang mengintai, ketika
menengok tak ada apapun. Dia pun mempercepat langkah, melewati koridor sekolah,
sampai tiba juga di depan kantor guru, selangkah lagi menuju pintu keluar.
Kemudian melewati pohon-pohon rimbun di halaman kantor, yang di tengah-tengah
air mancur menampakkan keindahan di halaman sekolah.
Dan, suatu bayang-bayang dari belakang sontak terbelalak
membelakang.
“Siapa itu? Kamu mau apa?” pertanyaan itu meluncur
saja, kaki dan tangannya bergetar. Rupanya ketakutan beralasan.
“Rupanya kamu sudah tahu, kalau kamu akan selalu
menghadapi penyiksaan di setiap harimu. Hahahah,” tertawa menang.
Bungkam seribu bahasa. Air mata itu kembali meleleh.
Entah apa yang dilakukan lagi Ferdi kepadanya? Dan, di mana teman-temannya?
Rini? Kenapa mereka tidak ada. Ketakutan membuntuti.
Astagfirullah.
Menenangkan
diri. Jangan sampai nampak lemah. Air mata yang sudah jatuh sebelum biarlah,
lebih baik berlari sebisa mungkin. Kirana berjalan mundur, kemudian berbalik
dan ingin berlari sekencang mungkin. Namun, tangan kasar Ferdi terlalu kasar
mencekaram menarik kembali ke dalam lingkungan sekolah. Kini, sangat tampak
gadis lemah yang hanya bisa menangis.
“Tolong.... tolong.....” teriaknya, pun tak ada
tanda-tanda pertolongan.
Kenapa
satpam sekolah? Penjaga perpustakaan pun kenapa tak mendengar teriakan gadis
malang itu? Ataukah mereka mendengar namun pura-pura tuli? Hah.
Mungkin karena penguasa.
Kirana sebisa mungkin lepas dari cengkraman pemuda
buas itu, dia menggigit tanganya kemudian berlari bersembunyi di dalam ruang
kelas.
Allah.
Tolong hamba. Tolong hamba. Pekiknya dalam batin.
Mencoba sebisa mungkin tidak mengeluarkan suara
apapun di bawah kolom meja guru. Sepuluh menit berlalu, deru nafasnya yang
terengah-engah pun hilang. Meskipun rasa gematar masih belum pulih. Kirana
bangkit, mungkin Ferdi sudah berlalu.
Astagfirullah.
Seutas
senyuman menang terbit dari wajahnya, dia mendekat kemudian melayangkan
tinjunya.
Allah.
Begitu sakit.
“Dasar cewek tidak tahu malu,” kemudian menampar
sekali lagi.
Kepala Kirana terbentur ke lantai, bersama tubuh
yang bergetar. Tak ada penglihatan, hanya ketiman menikam.
***
Allah.
Kenapa satu-satunya hal berharga di hidup ini, pemuda brengsek itu
mengambilnya? Kenapa sama sekali tidak ada ia sisakan untukku? Kenapa begitu
bahagianya ia melihat penderitaanku? Kenapa? Kenapa?
Pertanyaan itu berdentum keras sesaat setelah
mendapatkan kesucian yang dijaganya enyah dalam kegelapan. Hanya mendapati diri
dalam keadaan mengenakan selimut di ruang rawat UKS, bersama Ferdi yang
tertidur sangat pulas.
Hah.
Betapa rasanya ingin membunuh pemuda ini? Gampang saja,
mengambil pisau atau gunting di meja suster penjaga UKS. Namun, apakah sanggup
menjalani hidup sebagai pembunuh di hari-hari selanjutnya? Astagfirullah. Jangan sampai.......
Kirana bangkit, masih dalam larutan tangis, ingin
meninggalkan Ferdi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar