post-thumbnail{float:left;margin-right:20px}

YUDHA

Selasa, 31 Oktober 2017

BAIDURI (3)



KESUCIAN
“Bagaikah burung yang jatuh terhempas busur, tepat mengenai dada dan mengeyahkan tubuhku”


Tidak seperti biasa, pagi tadi bahkan sampai siang menjelang tak ada  tanda-tanda pembulyan. Mungkinkah mereka sudah sadar ataukah sudah capek?
 Tidak seperti hari-hari sebelumnya, penyiksaan bagaikan angin yang membelai. Setiap saat. Bukan, Kirana memang selalu berdoa agar penindasan itu berhenti, hanya saja terheran kalau tiba-tiba enyah. Memunculkan ketakutan baru, bagaimana kalau mereka merencakan sesuatu yang lebih jahat lagi?
Astagfirullah al-adzim. Mencoba menenangkan diri.
Pukul 13.00, bel tanda pulang sekolah berdentum nyaring. Hampir semua siswa serentak keluar kelas, tidak begitu dengan Kirana. Dia harus menyelesaikan terlebih dahulu tugas-tugas makalahnya yang menumpuk, karena ditinggal mengerjakan tugas Rini dan Ferdi.
Berjalan dari perpustakaan sekolah, satu yang kurang lebih dua kilometer menuju gerbang sekolah. Seperti ada yang mengintai, ketika menengok tak ada apapun. Dia pun mempercepat langkah, melewati koridor sekolah, sampai tiba juga di depan kantor guru, selangkah lagi menuju pintu keluar. Kemudian melewati pohon-pohon rimbun di halaman kantor, yang di tengah-tengah air mancur menampakkan keindahan di halaman sekolah.
Dan, suatu bayang-bayang dari belakang sontak terbelalak membelakang.
“Siapa itu? Kamu mau apa?” pertanyaan itu meluncur saja, kaki dan tangannya bergetar. Rupanya ketakutan beralasan.
“Rupanya kamu sudah tahu, kalau kamu akan selalu menghadapi penyiksaan di setiap harimu. Hahahah,” tertawa menang.
Bungkam seribu bahasa. Air mata itu kembali meleleh. Entah apa yang dilakukan lagi Ferdi kepadanya? Dan, di mana teman-temannya? Rini? Kenapa mereka tidak ada. Ketakutan membuntuti.
Astagfirullah. Menenangkan diri. Jangan sampai nampak lemah. Air mata yang sudah jatuh sebelum biarlah, lebih baik berlari sebisa mungkin. Kirana berjalan mundur, kemudian berbalik dan ingin berlari sekencang mungkin. Namun, tangan kasar Ferdi terlalu kasar mencekaram menarik kembali ke dalam lingkungan sekolah. Kini, sangat tampak gadis lemah yang hanya bisa menangis.
“Tolong.... tolong.....” teriaknya, pun tak ada tanda-tanda pertolongan.
Kenapa satpam sekolah? Penjaga perpustakaan pun kenapa tak mendengar teriakan gadis malang itu? Ataukah mereka mendengar namun pura-pura tuli? Hah. Mungkin karena penguasa.
Kirana sebisa mungkin lepas dari cengkraman pemuda buas itu, dia menggigit tanganya kemudian berlari bersembunyi di dalam ruang kelas.
Allah. Tolong hamba. Tolong hamba. Pekiknya dalam batin.
Mencoba sebisa mungkin tidak mengeluarkan suara apapun di bawah kolom meja guru. Sepuluh menit berlalu, deru nafasnya yang terengah-engah pun hilang. Meskipun rasa gematar masih belum pulih. Kirana bangkit, mungkin Ferdi sudah berlalu.
Astagfirullah. Seutas senyuman menang terbit dari wajahnya, dia mendekat kemudian melayangkan tinjunya.
Allah. Begitu sakit.
“Dasar cewek tidak tahu malu,” kemudian menampar sekali lagi.
Kepala Kirana terbentur ke lantai, bersama tubuh yang bergetar. Tak ada penglihatan, hanya ketiman menikam.
***
Allah. Kenapa satu-satunya hal berharga di hidup ini, pemuda brengsek itu mengambilnya? Kenapa sama sekali tidak ada ia sisakan untukku? Kenapa begitu bahagianya ia melihat penderitaanku? Kenapa? Kenapa?
Pertanyaan itu berdentum keras sesaat setelah mendapatkan kesucian yang dijaganya enyah dalam kegelapan. Hanya mendapati diri dalam keadaan mengenakan selimut di ruang rawat UKS, bersama Ferdi yang tertidur sangat pulas.
Hah. Betapa rasanya ingin membunuh pemuda ini? Gampang saja, mengambil pisau atau gunting di meja suster penjaga UKS. Namun, apakah sanggup menjalani hidup sebagai pembunuh di hari-hari selanjutnya? Astagfirullah. Jangan sampai.......
Kirana bangkit, masih dalam larutan tangis, ingin meninggalkan Ferdi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar