Rambutku
tertiup angin yang terkibas ketika berada di atas trotoar jalan, menggontai
langkah dengan terasa hawa panas bulan Ramadhan. Jauh dari perkiraan, seharusnya
aku sudah bersama dengan orang tua dan semua anggota keluarga di kampung,
tetapi karena ujian final yang diundur dan baru diliburkan menjelang sepuluh
hari lebaran membuatku tidak bisa bergerak, memaksa untuk berdiam dan
merapatkan diri di Palu, kota yang telah membuatku belajar mandiri.
Sabar, Sesungguhnya Allah
besertaorang-orang yang sabar.
Pasti, ada hikmahnya dari semua
ini. Percaya dan berkhuznuzan pada-Nya adalah yang terbaik.
Ya,
itulah kepercayaan yang kutahu dan diajarakan dalam Alquran. Hanya saja kenyataannya,
kenapa aku masih merasa resah karena apa yang kuinginkan tidak sesuai dengan
yang terjadi. Aku perlu waktu untuk benar-benar bisa menjalannya. Hanya saja
kenapa dari awal puasa sampai ke sembilan puasa diri ini tidak bisa menemukan
titik keihklasan yang benar-benar adanya.
Kuperhatikan
Lina Wati dan Herlina yang kampungnya bahkan lebih jauh dariku, sedang berjalan
bersamaku sekarang. Mereka nampak sabar dan tenang-tenang saja, tanpa perlu
khawatir, toh tetap akan pulang kampung dan kenapa aku tidak bisa seperti
mereka?, terngiang-ngiang di kepalaku yang tetap tidak terespon dan masih
menyalahkan keadaan. Bukan menyalahkan Tuhan.
Apa yang kamu inginkan belum tentu
itu yang terbaik, sementara apa yang tidak kamu inginkan belum tentu itu tidak
baik.
Kepercayaan
juga yang ada di dalam Alquran. Dengan terjemahan ayat Alquran ini, menemukan
sedikit ketenangan meskipun tidak bisa mencapai titik maksimum di otakku,
kendalanya masih sama aku yang merasa belum bisa mempercayai keadaan yang
kuanggap tidak memihak. Tentu saja ada alasan kenapa mengantongi perasaan yang
menyalahkan keadaan, bukan saja karena tidak bisa buka dan sahur bersama
keluarga, yang aku keluhkan karena setiap menyantap buka dan sahur hanya
sebungkus mie yang tidak bisa menebus kelaparan selama kurang lebih dua belas
jam.
Astagfirullah al-adzim¸terkadang
aku menyalahkan diri sendiri yang tak pernah bisa sadar ini memang sudah jalan
seorang mahasiswa dan, bukan salah
keadaan juga siapapun.
Aku
menonjok kepalaku sendiri, setiap kali merasa diri ini sudah keterlaluan
berpikiran yang tidak baik tentang keadaan. Saat kesadaran menempah – begitulah manusia, ada titik ia merasakan
kejenuhan diri dengan menyalahkan keadaan dan ada juga posisi di mana taburan
sadar mengelabuhi keresahan yang tak beralasan – aku mencoba merajikan diri
kembali, kegiatanku yang biasanya dari kampus langsung tidur, sekarang tidak
lagi: aku menggunakan mata cerdas dengan jari-jari pandaiku untuk menelusuri
dunia fiksi yang sudah lama bersemayam, saat aku meliburkan diri sendiri dari
menulis pada waktu puasa. Sementara untuk mengaji dan tarwih memang sudah rutin
aku lakukan – meskipun aku sih penyalah keadaan, untuk urusan ibadah tetap yang
diutamakan.
Beribadah di bulan Ramadhan itu
pahalanya berlipat ganda.
Itu
juga yang kupercayai dan kali ini aku menjalaninya dengan sungguh-sungguh.
Seorang
pemuda seperti aku mencoba menjadi super sibuk, persis sebelum bulan Ramadhan
datang. Awalnya kebiasaanku terespon baik oleh keadaan, akupun tidak lagi
menyalahkannya. Sosokku dengan tubuh menjulang, banyak lagi mengikuti
event-event menulis online dan kerap juara, tetapi, akupun drop juga. Aku
menundukkan badan di kasur yang sudah hampir tiga tahu aku siksa dengan
kekasaranku saat tidur yang arah kakiku bergerak entah ke mana.
Selama
tiga hari, aku sakit, dan, aku menyalahkan keadaan lagi. Untung saja finalku sudah
selasai, tinggal tunggu pengurusan PPL: karena aku sudah semester tujuh.
Allah mencuci dosa hambanya ketika
sedang sakit.
Ajaran
dari Alquran yang dikatakan Desy, sepupuku yang datang ke kos menjenguk saat
sakit, berperan sebagai saudara yang baik, yang hanya satu-satunya dekat
denganku sekarang, dia memasakkan bubur untukku.
“Sabar
Yudha, dan jangan pernah menyalahkan keadaan tentang semua ini.”
Pembela keadaan,
pekikku dalam batin.
Bukan salah keadaan, justru salahmu
yang tak bisa membuat keadaan berpihak kepadamu. Meskipun tidak sesuai dengan
keinginanmu, setidaknya buatlah keadaan berada di gengamanmu.
Hei,
kenapa jadinya aku yang salah? Benar-benar aku sakit karena keadaan yang tak
pernah berpihak kepadaku, pekikku yang tidak kusampaikan kepada Desy, hanya
lewat tatapan sinis.
“Jadi,
maksud kamu mengenggam keadaan bagaimana? Aku nggak ngerti.”
Keadaanlah yang membawamu hidup,
keadaanlah yang membawamu sakit dan keadaanlah yang membawau mengenal dan
semuanya karena keadaan yang sudah ditakdirkan Allah Swt. Jika menyalahkan
keadaan, sama saja kamu menyalahkan takdir dari Allah Swt. dan, itu tidaklah
benar.
Astagfirullah, aku
tertegun, aku mulai menyadari.
Dan,
waktu mulai bergerak, waktu pulang kampung pun sudah di depan mata. Aku membuka
sesungging senyuman berbeda dengan sampulan hari-hari ramadhan sebelumnya. Aku
berhasil menerobos waktu dengan baik sekarang, keadaan yang membentang tidak
lagi kusalahkan. Benar, ada hikmah di
setiap kejadian, di setiap keadaan yang Allah berikan.
Sebelum
pulang kampung, aku menerima panggilan dari dosen penasehat terkait dengan
beasiswa untuk PPL di luar negeri, Thailand. Semua karena nilai final dari
semester satu sampai semester enam yang memuaskan.
Memang,
Ramadhan penuh dengan keberkahan. Allah
selalu memberi nikmat tanpa pandang bulu, bahkan bagi sih penyalah keadaan
sekalipun yang sekarang sudah tidak pernah lagi menyalahkannya. Aku sadar,
bukan salah keadaan dan ini juga berkat Ramadhan, yang Allah SWT menaburkan banyak hikmat di dalam bulan suci itu.
***
Nama Penulis adalah
Muhdar, nama pena itu Yudha Silang. Bisa dihubungi di akun facebook: Muhdar
Silang atau twitter: @Muhdar_Silang atau nomor ponsel
085242752697.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar