post-thumbnail{float:left;margin-right:20px}

YUDHA

Sabtu, 25 November 2017

Aku, Keadaan dan Ramadhan




Rambutku tertiup angin yang terkibas ketika berada di atas trotoar jalan, menggontai langkah dengan terasa hawa panas bulan Ramadhan. Jauh dari perkiraan, seharusnya aku sudah bersama dengan orang tua dan semua anggota keluarga di kampung, tetapi karena ujian final yang diundur dan baru diliburkan menjelang sepuluh hari lebaran membuatku tidak bisa bergerak, memaksa untuk berdiam dan merapatkan diri di Palu, kota yang telah membuatku belajar mandiri.

Sabar, Sesungguhnya Allah besertaorang-orang yang sabar.
Pasti, ada hikmahnya dari semua ini. Percaya dan berkhuznuzan pada-Nya adalah yang terbaik.
Ya, itulah kepercayaan yang kutahu dan diajarakan dalam Alquran. Hanya saja kenyataannya, kenapa aku masih merasa resah karena apa yang kuinginkan tidak sesuai dengan yang terjadi. Aku perlu waktu untuk benar-benar bisa menjalannya. Hanya saja kenapa dari awal puasa sampai ke sembilan puasa diri ini tidak bisa menemukan titik keihklasan yang benar-benar adanya.
Kuperhatikan Lina Wati dan Herlina yang kampungnya bahkan lebih jauh dariku, sedang berjalan bersamaku sekarang. Mereka nampak sabar dan tenang-tenang saja, tanpa perlu khawatir, toh tetap akan pulang kampung dan kenapa aku tidak bisa seperti mereka?, terngiang-ngiang di kepalaku yang tetap tidak terespon dan masih menyalahkan keadaan. Bukan menyalahkan Tuhan.
Apa yang kamu inginkan belum tentu itu yang terbaik, sementara apa yang tidak kamu inginkan belum tentu itu tidak baik.
Kepercayaan juga yang ada di dalam Alquran. Dengan terjemahan ayat Alquran ini, menemukan sedikit ketenangan meskipun tidak bisa mencapai titik maksimum di otakku, kendalanya masih sama aku yang merasa belum bisa mempercayai keadaan yang kuanggap tidak memihak. Tentu saja ada alasan kenapa mengantongi perasaan yang menyalahkan keadaan, bukan saja karena tidak bisa buka dan sahur bersama keluarga, yang aku keluhkan karena setiap menyantap buka dan sahur hanya sebungkus mie yang tidak bisa menebus kelaparan selama kurang lebih dua belas jam.
Astagfirullah al-adzim¸terkadang aku menyalahkan diri sendiri yang tak pernah bisa sadar ini memang sudah jalan seorang mahasiswa dan, bukan salah keadaan juga siapapun.
Aku menonjok kepalaku sendiri, setiap kali merasa diri ini sudah keterlaluan berpikiran yang tidak baik tentang keadaan. Saat kesadaran menempah – begitulah manusia, ada titik ia merasakan kejenuhan diri dengan menyalahkan keadaan dan ada juga posisi di mana taburan sadar mengelabuhi keresahan yang tak beralasan – aku mencoba merajikan diri kembali, kegiatanku yang biasanya dari kampus langsung tidur, sekarang tidak lagi: aku menggunakan mata cerdas dengan jari-jari pandaiku untuk menelusuri dunia fiksi yang sudah lama bersemayam, saat aku meliburkan diri sendiri dari menulis pada waktu puasa. Sementara untuk mengaji dan tarwih memang sudah rutin aku lakukan – meskipun aku sih penyalah keadaan, untuk urusan ibadah tetap yang diutamakan.
Beribadah di bulan Ramadhan itu pahalanya berlipat ganda.
Itu juga yang kupercayai dan kali ini aku menjalaninya dengan sungguh-sungguh.
Seorang pemuda seperti aku mencoba menjadi super sibuk, persis sebelum bulan Ramadhan datang. Awalnya kebiasaanku terespon baik oleh keadaan, akupun tidak lagi menyalahkannya. Sosokku dengan tubuh menjulang, banyak lagi mengikuti event-event menulis online dan kerap juara, tetapi, akupun drop juga. Aku menundukkan badan di kasur yang sudah hampir tiga tahu aku siksa dengan kekasaranku saat tidur yang arah kakiku bergerak entah ke mana.
Selama tiga hari, aku sakit, dan, aku menyalahkan keadaan lagi. Untung saja finalku sudah selasai, tinggal tunggu pengurusan PPL: karena aku sudah semester tujuh.
Allah mencuci dosa hambanya ketika sedang sakit.
Ajaran dari Alquran yang dikatakan Desy, sepupuku yang datang ke kos menjenguk saat sakit, berperan sebagai saudara yang baik, yang hanya satu-satunya dekat denganku sekarang, dia memasakkan bubur untukku.
“Sabar Yudha, dan jangan pernah menyalahkan keadaan tentang semua ini.”
Pembela keadaan, pekikku dalam batin.
Bukan salah keadaan, justru salahmu yang tak bisa membuat keadaan berpihak kepadamu. Meskipun tidak sesuai dengan keinginanmu, setidaknya buatlah keadaan berada di gengamanmu.
Hei, kenapa jadinya aku yang salah? Benar-benar aku sakit karena keadaan yang tak pernah berpihak kepadaku, pekikku yang tidak kusampaikan kepada Desy, hanya lewat tatapan sinis.
“Jadi, maksud kamu mengenggam keadaan bagaimana? Aku nggak ngerti.”
Keadaanlah yang membawamu hidup, keadaanlah yang membawamu sakit dan keadaanlah yang membawau mengenal dan semuanya karena keadaan yang sudah ditakdirkan Allah Swt. Jika menyalahkan keadaan, sama saja kamu menyalahkan takdir dari Allah Swt. dan, itu tidaklah benar.
Astagfirullah, aku tertegun, aku mulai menyadari.
Dan, waktu mulai bergerak, waktu pulang kampung pun sudah di depan mata. Aku membuka sesungging senyuman berbeda dengan sampulan hari-hari ramadhan sebelumnya. Aku berhasil menerobos waktu dengan baik sekarang, keadaan yang membentang tidak lagi kusalahkan. Benar, ada hikmah di setiap kejadian, di setiap keadaan yang Allah berikan.
Sebelum pulang kampung, aku menerima panggilan dari dosen penasehat terkait dengan beasiswa untuk PPL di luar negeri, Thailand. Semua karena nilai final dari semester satu sampai semester enam yang memuaskan.
Memang, Ramadhan penuh dengan keberkahan. Allah selalu memberi nikmat tanpa pandang bulu, bahkan bagi sih penyalah keadaan sekalipun yang sekarang sudah tidak pernah lagi menyalahkannya. Aku sadar, bukan salah keadaan dan ini juga berkat Ramadhan, yang Allah SWT menaburkan banyak hikmat di dalam bulan suci itu.
***
Nama Penulis adalah Muhdar, nama pena itu Yudha Silang. Bisa dihubungi di akun facebook: Muhdar Silang atau twitter: @Muhdar_Silang atau nomor ponsel 085242752697.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar