post-thumbnail{float:left;margin-right:20px}

YUDHA

Rabu, 22 November 2017

Baiduri (10)



SIAPA DIA?
“Andai setiap angin yang bersemilir darimu bisa kutanya, akan kuberitahu sampaikan pesan tentang rindu dan penyesalan”


Perempuan parubaya yang bukan siapa-siapanya namun sudah dianggap seperti ibunya sendiri menunggunya di kantin sekolah.

Sebentar lagi pukul 12.30. Setelah sholat dhuhur biasanya Ferdi akan menemuinya di sana. Menikmati makanan yang sudah dimasak olehnya dengan penuh perhatian. Perempuan pun sudah berubah, hati yang keras menjadi kelembutan. Peristiwa setahun silam membuatnya sadar tentang orang-orang terkasih, selama ini memperhatikan jangan sampai disias-siakan.
 Lantas bagaimana ketika harapan yang dikubur dalam-dalam, di atasnya tumbuh kenyataan tak terduga? Ajaib. Sudah pasti kekuasaan dan kebesaran sang Agung.
Sebelumnya tercengan. Tidak mengusap matanya sedikitpun, hanya melihat beberapa menit untuk memastikan. Meskipun ada cadar yang tidak memperlihatkan semua raut wajahnya, gaya bicara, matanya yang meneduhkan persis sama. Dia. Pasti Kirana. Meskipun selama dia menghilang, baginya mungkin bukan menjadi sosok ibu tapi dari kecil dia yang merawat dan menjaganya. Nini berdiri perlahan mendekati, memeluk erat seolah tak ingin dilepaskan. Air matanya berurai dan keharaun mengalir di batinnya. Ini seperti mimpi yang berubah menjadi kenyataan.
“Kirana, maafkan tante. Kirana....” beriringan dengan tangis.
Semua itu berlangsung beberapa menit sampai Suci mengeluarkan suara.
“Maaf tante. Saya bukan Kirana, saya Suci.”
Nini melepaskan pelukannya. Memandangnya sekali lagi. Dia tidak mungkin salah, persis sampulan cahaya di wajahnya yang tak pernah hilang dari kecil itu bersinar persis. Dia pasti Kirana.
“Jangan bohong sama tante nak. Tante tahu itu kamu. Apakah kamu tahu bahwa selama kamu menghilang, selama itu pula tante dililit rasa bersalah sampai-sampai setiap malam tidur tante menjadi tak nyenyak,” isakan tertahan Nini menjadi-jadi.
“Tante selalu berdoa di malam-malam panjang, agar dia mempersatukan kita lagi. Untuk menebus rasa bersalah tante, walaupun itu hanya mimpi tapi sekarang semua itu menjadi kenyataan,” kembali memeluk dalam tangisan, “Tante mohon, kembali. Tante ingin menebus rasa bersalah. Jangan membuat tante tersiksa nak.”
Ada kehangatan. Air bening menghangatkan juga berjatuhan di kain cadar milik Suci. Kemudian mengelus pundak seorang ibu yang mengaku bibinya. Ditenangkannya dengan tidak menyangkal pembicaraan seperti sebelumnya. Lebih baik menenangkannya dulu.
“Tante dulu ya! Biar saya ambilkan minum,” ajaknya lembut, kemudian mengusap kerlingan air mata dan berjalan meminta kepada ibu kantin segelas air putih.
Setelah sudah merasa tenang. Suci memperlihat foto dirinya dengan keluarga. Ayah dan ibunya yang dulu tinggal di Surabaya, karena ayahnya pindah tugas maka terpaksa ia harus pindah sekolah. Sebisa mungkin Suci menjelaskan riwayat keluarganya yang membuat Nini terciduk.
“Jadi, tante salah orang. Kamu bukan keponakan tante?” Nini lemas. Setiap untaian kata yang terlontar menguras kesedihan. Harapannya pupus. Mimpinya akan tetap menjadi mimpi.
“Ia tante. Aku ini Suci. Bukan anak yang tante maksudkan. Tapi, aku percaya anak itu akan bahagia memiliki orang tua seperti tante. Tante orang baik. Jangan menyesal karena perbuatan di masa lalu,” jawab Suci memeluk Nini.
“Makasih nak... Sudah menenangkan tante,” katanya membalas dekapan gadis yang masih dianggapnya Kirana.
Dari kejauhan Ferdi memandang. Persis apa yang dirasakan Nini.
Siapa sebenarnya Suci? Apakah benar dia Suci dan bukan Kirana di masa lalu? Apakah dia berbohong atau sudah jujur dengan hidupnya? Ah. Pertanyaan itu menggunung di kepalanya.

Pict source: imgrug.org 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar