SIAPA
DIA?
“Andai
setiap angin yang bersemilir darimu bisa kutanya, akan kuberitahu sampaikan
pesan tentang rindu dan penyesalan”
Perempuan parubaya yang bukan siapa-siapanya namun
sudah dianggap seperti ibunya sendiri menunggunya di kantin sekolah.
Sebentar lagi pukul 12.30. Setelah sholat dhuhur
biasanya Ferdi akan menemuinya di sana. Menikmati makanan yang sudah dimasak
olehnya dengan penuh perhatian. Perempuan pun sudah berubah, hati yang keras
menjadi kelembutan. Peristiwa setahun silam membuatnya sadar tentang
orang-orang terkasih, selama ini memperhatikan jangan sampai disias-siakan.
Lantas
bagaimana ketika harapan yang dikubur dalam-dalam, di atasnya tumbuh kenyataan
tak terduga? Ajaib. Sudah pasti kekuasaan dan kebesaran sang Agung.
Sebelumnya tercengan. Tidak mengusap matanya
sedikitpun, hanya melihat beberapa menit untuk memastikan. Meskipun ada cadar
yang tidak memperlihatkan semua raut wajahnya, gaya bicara, matanya yang
meneduhkan persis sama. Dia. Pasti Kirana. Meskipun selama dia menghilang,
baginya mungkin bukan menjadi sosok ibu tapi dari kecil dia yang merawat dan
menjaganya. Nini berdiri perlahan mendekati, memeluk erat seolah tak ingin
dilepaskan. Air matanya berurai dan keharaun mengalir di batinnya. Ini seperti mimpi yang berubah menjadi
kenyataan.
“Kirana, maafkan tante. Kirana....” beriringan
dengan tangis.
Semua itu berlangsung beberapa menit sampai Suci
mengeluarkan suara.
“Maaf tante. Saya bukan Kirana, saya Suci.”
Nini melepaskan pelukannya. Memandangnya sekali
lagi. Dia tidak mungkin salah, persis sampulan cahaya di wajahnya yang tak
pernah hilang dari kecil itu bersinar persis. Dia pasti Kirana.
“Jangan bohong sama tante nak. Tante tahu itu kamu.
Apakah kamu tahu bahwa selama kamu menghilang, selama itu pula tante dililit
rasa bersalah sampai-sampai setiap malam tidur tante menjadi tak nyenyak,”
isakan tertahan Nini menjadi-jadi.
“Tante selalu berdoa di malam-malam panjang, agar
dia mempersatukan kita lagi. Untuk menebus rasa bersalah tante, walaupun itu hanya
mimpi tapi sekarang semua itu menjadi kenyataan,” kembali memeluk dalam
tangisan, “Tante mohon, kembali. Tante ingin menebus rasa bersalah. Jangan
membuat tante tersiksa nak.”
Ada kehangatan. Air bening menghangatkan juga
berjatuhan di kain cadar milik Suci. Kemudian mengelus pundak seorang ibu yang
mengaku bibinya. Ditenangkannya dengan tidak menyangkal pembicaraan seperti
sebelumnya. Lebih baik menenangkannya dulu.
“Tante dulu ya! Biar saya ambilkan minum,” ajaknya
lembut, kemudian mengusap kerlingan air mata dan berjalan meminta kepada ibu
kantin segelas air putih.
Setelah sudah merasa tenang. Suci memperlihat foto
dirinya dengan keluarga. Ayah dan ibunya yang dulu tinggal di Surabaya, karena
ayahnya pindah tugas maka terpaksa ia harus pindah sekolah. Sebisa mungkin Suci
menjelaskan riwayat keluarganya yang membuat Nini terciduk.
“Jadi, tante salah orang. Kamu bukan keponakan
tante?” Nini lemas. Setiap untaian kata yang terlontar menguras kesedihan.
Harapannya pupus. Mimpinya akan tetap menjadi mimpi.
“Ia tante. Aku ini Suci. Bukan anak yang tante
maksudkan. Tapi, aku percaya anak itu akan bahagia memiliki orang tua seperti
tante. Tante orang baik. Jangan menyesal karena perbuatan di masa lalu,” jawab
Suci memeluk Nini.
“Makasih nak... Sudah menenangkan tante,” katanya
membalas dekapan gadis yang masih dianggapnya Kirana.
Dari kejauhan Ferdi memandang. Persis apa yang
dirasakan Nini.
Siapa
sebenarnya Suci? Apakah benar dia Suci dan bukan Kirana di masa lalu? Apakah
dia berbohong atau sudah jujur dengan hidupnya? Ah.
Pertanyaan itu menggunung di kepalanya.
Pict source: imgrug.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar