Fitnah
“Fitnah lebih kejam daripada pembunuhan”
“Hei, apa yang kalian lakukan di sini? Ada apa ini?”
wajah bu Maryam yang nampak syok melihat dua siswa yang tiba-tiba ada di dalam
UKS.
Kirana seolah tersedak bungkam seribu bahasa. Air
matanya bicara. Sementara nyarinnya suara penjaga UKS membuat Ferdi terbangun.
Sial.
Apa yang harus dilakukan? Bagaimana kalau sampai Kirana bercerita apa yang
sebenaranya terjadi? Pekiknya dalam batin. Dia menaikkan
alis. Kemudian memainkan lakon seperti orang tak berdosa. Tidak tahu apa-apa.
Tidak tahu kenapa dirinya bisa sampai ada bersama Kirana.
“Kalian ikut saya ke kantor,” Bu Maryam menarik
keduanya dengan paksa.
Semua mata tertuju pada Kirana dan Ferdi. Ada yang
tertawa, ada yang berbisik-bisik, ada yang berteriak perkataan yang sebenarnya
tidak harus terlontar, ada pula yang menatap tajam persis ingin membunuh. Dan,
Rini dirasuki cemburu sampai-sampai tak sadar air matanya meleleh.
Di ruangan kepala sekolah, keduanya terduduk seperti
terdakwa kejahatan. Apapun pertanyaan dari kepala sekolah harus dijawab, siap
atau tidak siap. Geram. Mata Pak Irfan menyalakan api.
“Sekarang jelaskan apa yang sebenarnya kalian
lakukan di UKS? Apakah kalian tidur bersama?” nyaring, membuat teman-teman
Ferdi yang mendengar di balik pintu mendengar jelas.
Air sungai yang tidak pernah berhenti mengalir di
wajah ayu Kirana sama sekali tidak bisa membuatnya percaya. Lagian apakah akan ada percaya kepadanya? Tahu
sekali, dibalik semua ini tetap hanya ada dirinya yang akan dikambinghitamkan.
Selalu begitu. Selalu saja. Sekalipun benar, tak bisa berbuat apa-apa. Belum
waktunya. Ya, bukan berarti tidak percaya kebenaran suatu hari akan terungkap
dengan sendirinya.
“Sekarang jawab bapak Kirana?” pak Irfan merendahkan
suaranya, mungkin membaca sedikit dari kesedihan yang muncul.
Tetapi sebelum Kirana mencoba menjawab, alih-alih
Ferdi memegang suasana.
“Pak. Saya dijebak oleh gadis ini pak. Kemarin saya
menolongnya membersihkan kelas, karena katanya besoknya atau hari ini adalah
tugas piketnya. Setelah selesai, saya ditawarkan minum dan kemudian saya tidak
ingat apa-apa. Sepertinya saya pingsan.”
Astagfirullah.
Drama apa lagi yang dimainkan olehnya? Sebisa-bisanya air
mata di raganya kembali banjir.
“Apakah benar itu Kirana?” kepala sekolah dengan
suara rendah masih memandang iba kepadanya.
Kirana menggeleng dalam tangisan.
Tok-tok-tok. Tiba-tiba ada yang mengetok pintu.
“Siapa dan ada apa?” Kepala sekolah mengeraskan
suara.
“Saya pak, Adrian. Saya membawa bukti kalau Kirana
memang menjebak Ferdi.”
Bagaikan semut bekerja sama mengangkut barang bawaan
di aliran tanah, padahal tahu itu adalah punya orang lain atau bahkan terbuang,
seenaknya saja menikmati.
Pak Irfan melihat foto-foto Kirana yang seolah
dirinya memaksa berfoto mesra dengan Ferdi di UKS. Ditambah ditemukannya obat
tidur di dalam tasnya.
Allah.
Kirana
menggigit bibir. Rupanya pemuda bejat itu sudah mempersiapkan matang-matang
untung mengambil semua apa yang dimiliknya, harga diri dan sekarang
pendidikannya.
Ferdi menaikkan alis, memberi tanda Irfan yang
berhasil meniru aktor jahat dalam sinetron.
“Saya tidak
menyangka kamu akan bisa berbuat seperti ini,” Pak Irfan sebelum memutuskan
sesuatu yang berat.
“Mau tidak mau, bapak harus mengambil jalan ini.
Sekarang juga kamu keluar dari sekolah ini,” suara lantang seperti pertama kali
masuk di ruangan terdengar kembali.
Allah....
Allah.... Hanya itu yang digenggam Kirana bersama tangannya
yang terkepal.
Pict source: akaruidays.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar