post-thumbnail{float:left;margin-right:20px}

YUDHA

Rabu, 01 November 2017

Baiduri (4)



Fitnah
Fitnah lebih kejam daripada pembunuhan”

Pagi menjelang, derita itu datang lagi. Selalu seperti angin yang setiap detik membelai.
“Hei, apa yang kalian lakukan di sini? Ada apa ini?” wajah bu Maryam yang nampak syok melihat dua siswa yang tiba-tiba ada di dalam UKS.

Kirana seolah tersedak bungkam seribu bahasa. Air matanya bicara. Sementara nyarinnya suara penjaga UKS membuat Ferdi terbangun.
Sial. Apa yang harus dilakukan? Bagaimana kalau sampai Kirana bercerita apa yang sebenaranya terjadi? Pekiknya dalam batin. Dia menaikkan alis. Kemudian memainkan lakon seperti orang tak berdosa. Tidak tahu apa-apa. Tidak tahu kenapa dirinya bisa sampai ada bersama Kirana.
“Kalian ikut saya ke kantor,” Bu Maryam menarik keduanya dengan paksa.
Semua mata tertuju pada Kirana dan Ferdi. Ada yang tertawa, ada yang berbisik-bisik, ada yang berteriak perkataan yang sebenarnya tidak harus terlontar, ada pula yang menatap tajam persis ingin membunuh. Dan, Rini dirasuki cemburu sampai-sampai tak sadar air matanya meleleh.
Di ruangan kepala sekolah, keduanya terduduk seperti terdakwa kejahatan. Apapun pertanyaan dari kepala sekolah harus dijawab, siap atau tidak siap. Geram. Mata Pak Irfan menyalakan api.
“Sekarang jelaskan apa yang sebenarnya kalian lakukan di UKS? Apakah kalian tidur bersama?” nyaring, membuat teman-teman Ferdi yang mendengar di balik pintu mendengar jelas.
Air sungai yang tidak pernah berhenti mengalir di wajah ayu Kirana sama sekali tidak bisa membuatnya percaya. Lagian apakah akan ada percaya kepadanya? Tahu sekali, dibalik semua ini tetap hanya ada dirinya yang akan dikambinghitamkan. Selalu begitu. Selalu saja. Sekalipun benar, tak bisa berbuat apa-apa. Belum waktunya. Ya, bukan berarti tidak percaya kebenaran suatu hari akan terungkap dengan sendirinya.
“Sekarang jawab bapak Kirana?” pak Irfan merendahkan suaranya, mungkin membaca sedikit dari kesedihan yang muncul.
Tetapi sebelum Kirana mencoba menjawab, alih-alih Ferdi memegang suasana.
“Pak. Saya dijebak oleh gadis ini pak. Kemarin saya menolongnya membersihkan kelas, karena katanya besoknya atau hari ini adalah tugas piketnya. Setelah selesai, saya ditawarkan minum dan kemudian saya tidak ingat apa-apa. Sepertinya saya pingsan.”
Astagfirullah. Drama apa lagi yang dimainkan olehnya? Sebisa-bisanya air mata di raganya kembali banjir.
“Apakah benar itu Kirana?” kepala sekolah dengan suara rendah masih memandang iba kepadanya.
Kirana menggeleng dalam tangisan.
Tok-tok-tok. Tiba-tiba ada yang mengetok pintu.
“Siapa dan ada apa?” Kepala sekolah mengeraskan suara.
“Saya pak, Adrian. Saya membawa bukti kalau Kirana memang menjebak Ferdi.”
Bagaikan semut bekerja sama mengangkut barang bawaan di aliran tanah, padahal tahu itu adalah punya orang lain atau bahkan terbuang, seenaknya saja menikmati.
Pak Irfan melihat foto-foto Kirana yang seolah dirinya memaksa berfoto mesra dengan Ferdi di UKS. Ditambah ditemukannya obat tidur di dalam tasnya.
Allah. Kirana menggigit bibir. Rupanya pemuda bejat itu sudah mempersiapkan matang-matang untung mengambil semua apa yang dimiliknya, harga diri dan sekarang pendidikannya.
Ferdi menaikkan alis, memberi tanda Irfan yang berhasil meniru aktor jahat dalam sinetron.
 “Saya tidak menyangka kamu akan bisa berbuat seperti ini,” Pak Irfan sebelum memutuskan sesuatu yang berat.
“Mau tidak mau, bapak harus mengambil jalan ini. Sekarang juga kamu keluar dari sekolah ini,” suara lantang seperti pertama kali masuk di ruangan terdengar kembali.
Allah.... Allah.... Hanya itu yang digenggam Kirana bersama tangannya yang terkepal.


Pict source: akaruidays.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar