DIARY
“Walau
hanya setangkup kata dalam lembaran kertas putih, sungguh aku tidak membenci
kalian”
Dear
Diary..... Hari ini adalah ulang tahun tante Nini. 23 Oktober 2010. Tante yang
bagiku adalah seorang ibu. Hanya dia di dunia yang aku anggap sebagai keluarga.
Hanya dia satu-satunya. Kemarahannya bagiku adalah kata mutiara, yang sungguh
tak kusimpan dalam hati. Amukannya seperti udara yang bagiku sangat lembut
membelai.
Maafkan
aku tante, aku belum bisa menjadi anak yang baik. Aku bisa membawamu keluar
dari gubuk derita ini. Tante, apakah kamu tahu? Selama ini aku belajar keras,
mendapatkan peringkat kelas maupun peringkat umum itu kupersembahkan hanya
untuk tante. Hanya untuk tante seorang. Aku sangat menyayangi tante. Sungguh.
Aku
tidak pernah membenci setiap tante menyiksaku, karena aku tahu mungkin aku yang
salah dan harusnya tetap menuruti apa kata tante. Tante yang sudah merawatku,
rela siang dan malam menjagaku padahal aku bukan siapa-siapa. Aku hanyalah
seorang anak pungut yang tidak diinginkan oleh orang tuanya.
Hanya
saja aku bersyukur masih punya tante. Aku sangat sayang tante dan aku berjanji
akan membahagiakan tante.
Nini menengadah ke langit. Sambil berucap Allah.
Hatinya tertegun. Selama ini tidak bisa membaca kedua bola mata Kirana yang sungguh-sungguh
menyayanginya. Padahal penderitaan yang diberikan kepadanya tiada batas. Benar
seperti angin yang menurutnya adalah lembut. Nini menangis sejadi-jadinya.
Ferdi memegang pundaknya, perlahan mengajaknya
mencari tempat duduk.
“Kita duduk di sana dulu ya Tante,” menunjuk ke arah
pohon yang di bawahnya ada bangku panjang, persis di depan puing-puing bangunan
yang terbakar.
“Boleh aku lihat juga tante sebentar bukunya,”
matanya mengisyaratkan keinginan penuh.
Dalam tangisan Nini memberikan Diary Kirana.
Setangkup
kata untuk orang-orang yang membullyku di sekolah.
Untuk
Ferdi. Pertama kali aku melihatmu, aku sangat terpukau. Subuhanallah. Kau
bagaikan pangeran yang muncul dalam mimpiku. Menjadi imam dalam sholatku. Dalam
perjalananku mengarungi kehidupan baru. Melepaskanku dari rangkulan derita yang
selama ini menyiksa. Membawaku dan Tante Nini mengenal akan kebahagiaan sejati.
Walaupun hanya mimpi....
Kau
hadir dengan keangkuhanmu. Bahkan setiap hariku di sekolah, kau hadiahkan aku
dengan siksaan tiada henti. Ditertawakan, dipermalukan, digunjing yang
tidak-tidak bersama dengan pacarmu, Rini bahkan semua teman-teman sekolahan
yang takut padamu. Tapi, apakah kau tahu? Tak ada sebersit kata benci tersirat
dalam hati ini untuk kalian, melainkan di setiap sujud sholatku. Semoga kalian
segera mendapatkan hidayah. Sekiranya kalian mengerti bahwa kita semua sama di
mata Allah, yang membedakan hanyalah takwanya. Aku berharap semoga itu terjadi
secepatnya. Amin Ya Rabbal Alamin.
Ferdi tersungkur. Bukan. bukan lagi di bangku tepat
di samping Nini, melainkan di tanah. Penyesalan menyayat-nyayat hatinya, air
matanya seolah kering tidak bisa lagi membasahi wajahnya. Kata-kata seolah
membeku.
Apa bedanya dia dengan orang yang membully kakaknya
sampai meninggal? Kini dia yang membuat orang lain meninggal.
Allahu
akbar-Allahu Akbar..... Dan, adzan berkumandang. Baru kali
ini pintu hatinya terketuk. Seperti lentera di jalan yang pekat gelap. Keduanya
terjaga.
“Tante, ayo kita sholat. Ayo kita berdoa semoga
Kirana cepat kembali,” katanya memegang Nini.
Mimik Nini penuh tanya. Apa yang sebenarnya dimaksud
pemuda yang juga membuat derita untuk Kirana selama ini dan sekarang menyesal?
“Tante, kita masih punya harapan? Diary ini sebagai
tanda bahwa Kirana masih hidup,” katanya tegas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar