post-thumbnail{float:left;margin-right:20px}

YUDHA

Selasa, 14 November 2017

Baiduri (7)



DIARY
“Walau hanya setangkup kata dalam lembaran kertas putih, sungguh aku tidak membenci kalian”


Dear Diary..... Hari ini adalah ulang tahun tante Nini. 23 Oktober 2010. Tante yang bagiku adalah seorang ibu. Hanya dia di dunia yang aku anggap sebagai keluarga. Hanya dia satu-satunya. Kemarahannya bagiku adalah kata mutiara, yang sungguh tak kusimpan dalam hati. Amukannya seperti udara yang bagiku sangat lembut membelai.

Maafkan aku tante, aku belum bisa menjadi anak yang baik. Aku bisa membawamu keluar dari gubuk derita ini. Tante, apakah kamu tahu? Selama ini aku belajar keras, mendapatkan peringkat kelas maupun peringkat umum itu kupersembahkan hanya untuk tante. Hanya untuk tante seorang. Aku sangat menyayangi tante. Sungguh.
Aku tidak pernah membenci setiap tante menyiksaku, karena aku tahu mungkin aku yang salah dan harusnya tetap menuruti apa kata tante. Tante yang sudah merawatku, rela siang dan malam menjagaku padahal aku bukan siapa-siapa. Aku hanyalah seorang anak pungut yang tidak diinginkan oleh orang tuanya.
Hanya saja aku bersyukur masih punya tante. Aku sangat sayang tante dan aku berjanji akan membahagiakan tante.
Nini menengadah ke langit. Sambil berucap Allah. Hatinya tertegun. Selama ini tidak bisa membaca kedua bola mata Kirana yang sungguh-sungguh menyayanginya. Padahal penderitaan yang diberikan kepadanya tiada batas. Benar seperti angin yang menurutnya adalah lembut. Nini menangis sejadi-jadinya.
Ferdi memegang pundaknya, perlahan mengajaknya mencari tempat duduk.
“Kita duduk di sana dulu ya Tante,” menunjuk ke arah pohon yang di bawahnya ada bangku panjang, persis di depan puing-puing bangunan yang terbakar.
“Boleh aku lihat juga tante sebentar bukunya,” matanya mengisyaratkan keinginan penuh.
Dalam tangisan Nini memberikan Diary Kirana.
Setangkup kata untuk orang-orang yang membullyku di sekolah.
Untuk Ferdi. Pertama kali aku melihatmu, aku sangat terpukau. Subuhanallah. Kau bagaikan pangeran yang muncul dalam mimpiku. Menjadi imam dalam sholatku. Dalam perjalananku mengarungi kehidupan baru. Melepaskanku dari rangkulan derita yang selama ini menyiksa. Membawaku dan Tante Nini mengenal akan kebahagiaan sejati. Walaupun hanya mimpi....
Kau hadir dengan keangkuhanmu. Bahkan setiap hariku di sekolah, kau hadiahkan aku dengan siksaan tiada henti. Ditertawakan, dipermalukan, digunjing yang tidak-tidak bersama dengan pacarmu, Rini bahkan semua teman-teman sekolahan yang takut padamu. Tapi, apakah kau tahu? Tak ada sebersit kata benci tersirat dalam hati ini untuk kalian, melainkan di setiap sujud sholatku. Semoga kalian segera mendapatkan hidayah. Sekiranya kalian mengerti bahwa kita semua sama di mata Allah, yang membedakan hanyalah takwanya. Aku berharap semoga itu terjadi secepatnya. Amin Ya Rabbal Alamin.
Ferdi tersungkur. Bukan. bukan lagi di bangku tepat di samping Nini, melainkan di tanah. Penyesalan menyayat-nyayat hatinya, air matanya seolah kering tidak bisa lagi membasahi wajahnya. Kata-kata seolah membeku.
Apa bedanya dia dengan orang yang membully kakaknya sampai meninggal? Kini dia yang membuat orang lain meninggal.
Allahu akbar-Allahu Akbar..... Dan, adzan berkumandang. Baru kali ini pintu hatinya terketuk. Seperti lentera di jalan yang pekat gelap. Keduanya terjaga.
“Tante, ayo kita sholat. Ayo kita berdoa semoga Kirana cepat kembali,” katanya memegang  Nini.
Mimik Nini penuh tanya. Apa yang sebenarnya dimaksud pemuda yang juga membuat derita untuk Kirana selama ini dan sekarang menyesal?
“Tante, kita masih punya harapan? Diary ini sebagai tanda bahwa Kirana masih hidup,” katanya tegas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar