SUCI
“Apakah
hanya mimpi ketika benalu itu lenyap ketika menyentuhmu dengan mata”
Perjalanan hidup tidaklah mudah lagi. Sama sekali
bukan keadaan yang dulu, kekuasaan menjadi penjamin kebahagiaan. Semua ditelan
rasa bersalah dan entah sampai kapan harus menunggu, mungkinkah sampai usia
tertutup bersama dosa-dosa masa lalu yang selalu menghantui?
“Aku berjanji akan membalas dendam, karena telah
menyakiti perasaanku. Tunggu saja,” ucap Rini berapi-api.
Sementara mantan pacar tak henti meneror selama
kurang lebih setahun berjalan. Menjadikannya bulan-bulanan agar jangan sampai
bahagia. Padahal dia sudah cukup tahu masalah rasa bersalah kepada Kirana.
Hanya saja buku diary itu masih tersimpan rapi di
laci kamarnya. Ada kepercayaan besar di dalam halaman hatinya, ada keajaiban
akan terjadi selama berprasangka. Hari-hari serupa penantian tiada berujung dan
sekali lagi bersama rasa bersalah. Sampai hari itur tiba, kemunculan gadis
bercadar di sekolah.
“Assalamualaikum wr. wb. Ana Suci Mentari. Bisa
panggil saya Suci. Saya berharap kalian bisa menjadi teman saya yang baik,”
ucapnya sangat perkenalan awal di kelas pagi.
Ada yang tersenyum, ada yang berbisik-bisik, ada
yang langsung minta kenalan, sementara Ferdi seolah mengenal sosok mata di
balik cadar itu. Membuatnya berdiri mendekati, lantas..... plak..... bunyi
tamparan meletup di pipi kirinya.
“Jangan kurang ajar ya,” mata Suci berlinang,
kemudian berlalu pergi.
“Ferdi. Sekarang ikut bapak ke kantor,” Bu Diana,
Guru Matematika sekaligus guru baru yang dengas tegas menghukum siapa saja yang
bersalah. Tidak pandang entah kaya atau tidak.
Ya, keadilan sudah menebar di sekolah semenjak
perubahan sosok Ferdi, sekalipun Rini yang malah berubah makin ganas, tak serta
merta membuat pendidik kalah. Bahkan pernah diancam dikeluarkan dari sekolah,
Bu Diana dengan gentar menghukum Rini yang sengaja bolos sekolah maupun
pembullyan. Bagaimana dengan orang tuanya? Tidakkan Rini harus menggunakan
kekayaan, kekuasaan dan nama orang tuanya? Tidak, bagi bu Diana semua itu tidak
mempan. Termasuk detik Ferdi ingin membuka cadar Suci. Dihukum seberat-beratnya
dengan membersihkan halaman sekolah selama satu bulan.
***
“Aku minta maaf ya. Aku tidak bermaksud apa-apa
tadi,” ucap Ferdi pelan saat menemui Suci di perpustakaan yang sedang mengetik
tugas makalah Bahasa Indonesia.
Pun hanya mata tajam menusuk, seolah ingin membunuh.
“Aku minta maaf,” muncul keteduhan di retinanya.
Suci berdiri tanpa kata-kata dan berlalu pergi.
“Apa itu kamu? Apa itu kamu yang selalu aku tunggu
selama ini? Tidakkah kamu tahu bahwa rasa bersalah sudah lama sekali membunuhku.”
Langkahnya terhenti mendengar rintihan hati cowok
yang sudah bertingkah aneh di hadapannya, membuat masalah dan kemudian ingin
minta maaf ditambah persoalannya tentang......
Dan, Suci berbalik.
“Apa maksud antum?” roman yang penuh tanda tanya.
Ferdi memajukan diri mendekati, sampai berjarak dua
meter.
“Aku telah lama menunggumu. Aku tahu kalau
kamu.....” dan sebelum pembicaraan itu selesai buru-buru dipotong Suci,
“Hentikan omong kosongmu. Antum punya pikiran kan. Jangan mencari masalah
denganku, karena aku juga tidak ingin punya masalah dengan antum,” tegasnya dan
berlari menjauhi.
Gadis bercadar itu turun ke lantai dasar
perpustakaan, kemudian menghentikan kakinya di depan lockernya. Air matanya
meleleh sampai-sampai membuat cadarnya harus diganti.
“Aku percaya waktu akan menemukan kebenaran siapa sebenarnya
kamu,” dari jauh Ferdi memandang lemah. Berharap ada matahari muncul setelah
berhari-hari lamanya dirundung hujan.
Pict source: imgrug.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar