post-thumbnail{float:left;margin-right:20px}

YUDHA

Sabtu, 11 November 2017

Lautan Cinta Ayah dan Ibu



(Wahai ayah dan ibu yang paling berharga dihidupku, di mana engkau simpan amarahmu? saat aku meneteskan peluh di hatimu)
“Ibu, aku mohon izinkan aku pergi camping sama teman-teman, aku mohon Ibu kali ini aja,”

“Tapi Nak’, Ibu dan ayah tidak mungkin membiarkanmu pergi, ibu tidak ingin kamu kenapa-napa di sana?”
“Ibu tidak baik, ibu tidak bisa mengerti perasaan anaknya.
Keheningan pecah.
Ibu mengerti jika aku sedang marah.
Ini kemarahanku yang kesekian kalinya, selalu langsung berlari ke kamar menyendiri, tidak mau berbicara dengan siapapun.
Ayah yang menyaksikkan sudah berniat ingin memukulku, tetapi Ibu dengan cepat mencegahnya. Suasana rumah saat akhir pekan dipenuhi dengan kegentingan. Adeku hanya  bisa diam.
Ibu menuntun ayah untuk berbicara dari hati ke hati, bagaimana kalau anaknya yang sedang ngambek di kamar itu diijinkan saja untuk pergi.
Wajah ayah yang tadinya masam, saat itu sedikit tertambah. Namun karena istrinya seperti terlihat memohon dengan tulus, dia pun menganggukkan kepala.
Pemandangan indah, ayah memeluk ibu dengan dekapan hangat.
***
“Nak’, Nak’, buka pintunya..... nak’ ibu dan ayah mau bicara,”
Sahutan lembut ibu.
Dan, hanya sunyi yang terdengar dari dalam.
“Sebenarnya ada apa ini? Jangan-jangan Citra tidak ada di dalam,”
Mendadak kata-kata seperti berteriak menguap ke udara memanggil namaku. Namun, sama saja tidak ada jawaban.
“Ibu, saya dobrak saja,”
Awalnya, Ibu tidak ingin suaminya melakukan itu. lagi pula mungkin masih ada jalan lain – teringat dengan kunci duplikat kamar anaknya- dengan segera ia mengambil kunci itu dan membuka kamar anaknya dengan pelan.
ASTAGFIRULLAH.
CITRA KABUR.
“Jadi bagaimana ini yah, kenapa Citra bisa melakukan ini? Bagaimana kalau ada sesuatu yang akan terjadi padanya?”
“Dasar anak ini, biarkan saja pergi, dia akan dapat sendiri akibatnya nanti,”
Ketus ayah
***
Senja mulai turun. Sore telah menjemput malam. Ibu menarik nafas beberapa kali, berat dan sangat tertahan. Tangisannya pun tak henti-hentinya membasahi pipinya. Dan, firasatnya beralasan.
Ting-tong.
Dengan segera Ibu meluncur membuka pintu dan melihat aku yang tengah dirangkul kedua temanku. Tatapan sayu dan lemah, nampak bagian lengan dan kakiku berdarah.
“Ada apa ini? Nak’ Dian kenapa Citra bisa begini?”
Ibu menghujani dengan pertanyaan-pertanyaanya sambil berisak. Mempersilahkannya membawaku segera ke kamar.
“Tante, sebenarnya Citra kecelakaan tadi di jalan, dia menabrak pohon,”
Oh, perasaan seorang ibu tidak pernah salah tentang sesuatu buruk yang akan terjadi dengan buah hatinya.
Ayah di sudut kamar hanya melihat Istrinya mengobati luka-luka anaknya yang tadi pergi tanpa pamit.
“Ibu maafkan aku, maafkan anakmu yang durhaka ini,”
Nada bicaraku lemah dan mencoba meraih tangan Ibu.
“Ia Nak’, Ibu sudah maafkan kamu. Tapi kamu janji ya, jangan sampai kamu melakukan hal bodoh ini lagi,”
“Anak yang tidak mendengar apa yang orang tuanya katakan akan pendapatkan akibatnya, ini kamu jadikan pelajaran ya. Dan, ingat kami melarangmu itu juga demi kebaikanmu,”
Lelaki di samping Ibu, yang selama ini dingin namun sayang kepadaku memberiku nasehat. Kemudian, ibu dan ayah memelukku, memberiku kehangat dalam perihnya luka kecekaan.
“Ya Allah, terima kasih telah mengirimkan ayah dan ibu yang begitu sayang kepadaku. Aku janji mulai sekarang akan mendengarkan apapun yang mereka katakan padaku,”
Oh, rasanya tidak adan anak di mana pun yang tak bahagia merasakan ini, dipeluk kedua orang taunya dengan penuh kasih setelah melakukan kesalahan yang menghawatirkan mereka dan memaafkan kesalahan itu.
THE END



Tidak ada komentar:

Posting Komentar