
“Ibu,
aku mohon izinkan aku pergi camping sama teman-teman, aku mohon Ibu kali ini
aja,”
“Tapi
Nak’, Ibu dan ayah tidak mungkin membiarkanmu pergi, ibu tidak ingin kamu
kenapa-napa di sana?”
“Ibu
tidak baik, ibu tidak bisa mengerti perasaan anaknya.
Keheningan
pecah.
Ibu
mengerti jika aku sedang marah.
Ini
kemarahanku yang kesekian kalinya, selalu langsung berlari ke kamar menyendiri,
tidak mau berbicara dengan siapapun.
Ayah
yang menyaksikkan sudah berniat ingin memukulku, tetapi Ibu dengan cepat
mencegahnya. Suasana rumah saat akhir pekan dipenuhi dengan kegentingan. Adeku
hanya bisa diam.
Ibu
menuntun ayah untuk berbicara dari hati ke hati, bagaimana kalau anaknya yang
sedang ngambek di kamar itu diijinkan saja untuk pergi.
Wajah
ayah yang tadinya masam, saat itu sedikit tertambah. Namun karena istrinya
seperti terlihat memohon dengan tulus, dia pun menganggukkan kepala.
Pemandangan
indah, ayah memeluk ibu dengan dekapan hangat.
***
“Nak’,
Nak’, buka pintunya..... nak’ ibu dan ayah mau bicara,”
Sahutan
lembut ibu.
Dan,
hanya sunyi yang terdengar dari dalam.
“Sebenarnya
ada apa ini? Jangan-jangan Citra tidak ada di dalam,”
Mendadak
kata-kata seperti berteriak menguap ke udara memanggil namaku. Namun, sama saja
tidak ada jawaban.
“Ibu,
saya dobrak saja,”
Awalnya,
Ibu tidak ingin suaminya melakukan itu. lagi pula mungkin masih ada jalan lain
– teringat dengan kunci duplikat kamar anaknya- dengan segera ia mengambil
kunci itu dan membuka kamar anaknya dengan pelan.
ASTAGFIRULLAH.
CITRA
KABUR.
“Jadi
bagaimana ini yah, kenapa Citra bisa melakukan ini? Bagaimana kalau ada sesuatu
yang akan terjadi padanya?”
“Dasar anak ini, biarkan saja pergi, dia
akan dapat sendiri akibatnya nanti,”
Ketus ayah
***
Senja mulai turun. Sore telah menjemput
malam. Ibu menarik nafas beberapa kali, berat dan sangat tertahan. Tangisannya
pun tak henti-hentinya membasahi pipinya. Dan, firasatnya beralasan.
Ting-tong.
Dengan segera Ibu meluncur membuka pintu
dan melihat aku yang tengah dirangkul kedua temanku. Tatapan sayu dan lemah,
nampak bagian lengan dan kakiku berdarah.
“Ada apa ini? Nak’ Dian kenapa Citra
bisa begini?”
Ibu menghujani dengan
pertanyaan-pertanyaanya sambil berisak. Mempersilahkannya membawaku segera ke
kamar.
“Tante, sebenarnya Citra kecelakaan tadi
di jalan, dia menabrak pohon,”
Oh,
perasaan seorang ibu tidak pernah salah tentang sesuatu buruk yang akan terjadi
dengan buah hatinya.
Ayah di sudut kamar hanya melihat
Istrinya mengobati luka-luka anaknya yang tadi pergi tanpa pamit.
“Ibu maafkan aku, maafkan anakmu yang
durhaka ini,”
Nada bicaraku lemah dan mencoba meraih
tangan Ibu.
“Ia Nak’, Ibu sudah maafkan kamu. Tapi
kamu janji ya, jangan sampai kamu melakukan hal bodoh ini lagi,”
“Anak yang tidak mendengar apa yang
orang tuanya katakan akan pendapatkan akibatnya, ini kamu jadikan pelajaran ya.
Dan, ingat kami melarangmu itu juga demi kebaikanmu,”
Lelaki di samping Ibu, yang selama ini
dingin namun sayang kepadaku memberiku nasehat. Kemudian, ibu dan ayah
memelukku, memberiku kehangat dalam perihnya luka kecekaan.
“Ya Allah, terima kasih telah
mengirimkan ayah dan ibu yang begitu sayang kepadaku. Aku janji mulai sekarang akan
mendengarkan apapun yang mereka katakan padaku,”
Oh, rasanya tidak adan anak di mana pun
yang tak bahagia merasakan ini, dipeluk kedua orang taunya dengan penuh kasih
setelah melakukan kesalahan yang menghawatirkan mereka dan memaafkan kesalahan
itu.
THE
END
Tidak ada komentar:
Posting Komentar