post-thumbnail{float:left;margin-right:20px}

YUDHA

Minggu, 12 November 2017

Nyawa Hidupku (24)



KEMATIAN
Bersamamu adalah sebuah anugerah, sekalipun takdir tak menginginkannya


Semua berubah secepat pagi menjelang.
Dikiranya langit akan cerah hanya saja hujan menghalau.
Gadis yang selama ini menemani langkahnya menghilang di kamarnya yang serba merah jambu. Di mana dia? Padahal di luar sana angin kencang bersama air langit sementara berperang. Fatimah khawatir.

“Assalamualaikum, apa di situ ada Ihsan bu?” ucapnya setelah memencet beberapa nomor dan meletakkan ponsel itu di telinganya. Suaranya parau menahan tangis.
“Waalaikumsalam. Ihsan, memangnya ada apa dengannya? Tadi subuh saya lihat di kamarnya,” jelas Rani.
“Sekarang dia ada atau tidak bu. Soalnya Fitri menghilang pagi ini, saya takut mereka....”
Belum selesai kalimatnya yang bernada khawatir, Rani memotong karena Ihsan tepat di depan mata kepalanya sendiri.
“Bu, Ihsan sekarang ada di depanku.”
 “Kalau begitu makasih atas informasinya bu. Saya tutup dulu teleponnya. Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Pemuda beralis tebal itu terheran, siapa di balik suara yang berbicara dengan ibunya dan kenapa namanya disebut.
“Nak, Fitri menghilang di kamarnya itu sebabnya Fatimah menelepon” terang Rani yang bisa menjawab pertanyaan dari mimik wajah putranya.
“Aku harus pergi bu, aku harus mencarinya.”
Ihsan bergegas, buru-buru sang ibu memegang lengannya.
“Hati-hati nak’. Cari adik kamu sampai dapat.”
Hah. Adik? Kenapa kata itu begitu menyayat hati. Pun masih hati yang teramat pedih, dengan menggas motornya, meraung-raung seolah-olah membelah jalan. Ihsan mencari Fitri di bawah kaki-kai hujan yang berlarian.
Dan, gadis berhijab kuning, memakai baju terusan sedang terkapar tepat di sentuhan retinanya. Tidak jauh dari rumahnya. Ihsan menghentikan laju kendaraannya.
Fitri. Fitri sekarat. Kepalanya penuh dengan darah. Entah siapa yang melakukannya dan entah apa yang menabraknya. Sepertinya terbentur ke aspal dan kepalanya..... Astagfirullah.....
“Tolong.... tolong.....” teriaknya.
Hanya Allah Yang Maha Mendengar.
“Tolong..... tolong.....” teriaknya sekali lagi.
Hanya terdengar suara guntur.
Air matanya berderai, perlahan memapah kepala Fitri dan dipangkunya pelan.
“Fitri kamu akan baik-baik saja. Kamu harus bertahan ya,” kemudian diikuti teriakan yang sama sekali tak mendapatkan jawaban dari siapapun.
“Kak... Aku mau mengucapkan sesuatu padamu,” Fitri terbata-bata, setelah beberapa detik membuka mata dan merasakan sakit luar biasa di kepalanya.
“Apa Fit? Bilang saja. Aku pasti selalu dengerin kamu,” air mata Ihsan jatuh bercucuran.
“A... Aku bersyukur kamu adalah orang yang pertama dan terakhir yang aku cintai.”
Ihsan menggelengkan kepala. “Jangan bilang seperti itu Fit, kamu akan baik-baik saja.”
“Kak..... Boleh aku minta tolong,” embusan nafas Fitri semakin berat.
Dan, hujan semakin hebat saja membasahi bumi.
“Apa Fit? Kamu bilang aja....”
“Aku mau kakak bantu aku, bantu aku mengucapkan kalimat syahadat,” ucapannya semakin berat.
Berulang kali Ihsan menggelengkan kepala dan berteriak sekali minta tolong, pun sama sekali tidak ada yang mendengar.
“Kak....” Fitri memegang tangan Ihsan.
Semakin lemah. Air matanya jatuh bersama hujan. Ihsan menundukkan kepala mendekati telinga Fitri. Perlahan berucap pelan “Asyhadu Allah Ilaha Illahllah wa Asyhadu Anna Muhammaddarrasulullah.” Diikuti Fitri lembut. “Asyhadu Allah Ilaha Illahllah wa Asyhadu Anna Muhammaddarrasulullah.” Dan, nafas terakhir Fitri ringan melayang di antara langit. Menutup mata dengan pelan.
“FITRI........” teriak Ihsan begitu parau.
Hah. Hujan menjadi saksi tentang kematian yang tidak pernah terduga, sebab kematian sama halnya dengan jodoh tak pernah ada yang tahu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar