SAKIT
“Senang
bukan hanya berbanding terbalik dengan sakit, begitupula dengan memendam
perasaan”
Sebenarnya bukan baru kali ini membawa buku banyak
di antara rak-rak buku yang berjejer, bisa dibilang hampir setiap hari. Tetapi
berbeda perasaan ketika menjadi pesuruh, ada ketidakikhlasan, apalagi mengingat
waktu yang sebenarnya bisa digunakan untuk tidur malah harus mengerjakan tugas
pangeran. Hah. Andai bukan karena gitar, pasti sudah ditinggalkannya.
Pikiran Irma meracau. Bisakah selesai lima makalah dalam
sehari? Pertanyaan itu berdenyut-denyut sampai-sampai buku yang bertingkat di
tangannya hampir terjatuh, untungya dengan sigap Ferli menolong. Dan, suasana
romantis sekarang. Tetapi tak berlangsung sama. Tidak baik bersentuhan mata
terlalu lama antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahramnya, apalagi
sampai menimbulkan nafsu.
“Kalau bawa sesuatu itu yang fokus dong! Aku jadi
ragu kamu bisa ngerjain tugasku,” diikuti bibirnya yang manyung.
“Aku bisa koq,” Irma berjalan menuju meja bundar,
tempat menyimpan tas dan laptop Ferli sebelum mencari buku-buku atau referensi
membuat makalah.
Alhamdulillah.
Sudah
dua makalah selesai dalam waktu empat jam. Ferli melemparkan senyuman maut
membuat gadis berhijab kuning disampingnya tak karuan. Apalagi saat mengucapkan
terima kasih.
“Makasih ya. Tapi masih ada tiga makalah loh.”
“Ia, aku akan kerjain. Tapi kita tetap seperti tadi,
ganti-gantian mengetik dan mendikte,” Irma mencoba mengontrol dirinya dengan
mengetuskan nada bicaranya.
“Sekarang lebih baik kita sholat dulu,” Ferli
berdiri.
Allah.
Pemuda ini tidak hanya ganteng, pintar, pun ibadahnya kuat sekali. Wanita mana
yang tidak akan klepek-klepek saat dekat dengannya? Tanpa
sadar Irma menatap teduh pemuda yang berdiri di sampingnya.
“Wei, kamu dengar aku tidak sih?” Ferli mengerutkan
dahi.
“Eh, sorry-sorry,” Fitri berdiri dan mempercepat
langkah.
Ferli hanya tersenyum melihat tingkah aneh gadis
yang sedang bersamanya.
***
Alhamdulillah.
Selesai sholat keduanya berjalan berisian di antara pohon-pohon rindang di
belakang gedung Depaertemen Biologi, jurusan mereka.
Sungguh siang yang melaharkan panas berubah menjadi
kesejukkan ketika berjalan dengan orang yang disukai, meskipun hanya memendam.
Dekat seperti ini saja sudah cukup membuatnya bahagia, apalagi kalau sampai
pacaran. Ah.... Pasti bahagianya
selangit. Irma senyum-senyum sendiri, membuat Ferli kebingungan namun tetap
membiarkannya.
“Fer.... Fer....” tiba-tiba terdengar suara yang
memanggil dari belakang.
Ferli dan Yuri menengok. Seorang gadis bergamis
kuning senada dengan hijab yang menutup kepalanya, menambah wajah ayunya
memesona. Perlahan dekat dan nampak Ferli silau, matanya tanpa sadar tak
berkedip sedikitpun.
“Intan. Kamu ngapain di sini?” Ferli terheran-heran.
“Ia, aku pindah ke kampus ini” Intan tersungging
manis.
“Jangan bilang karena aku ya.”
“Apaan sih?” nampak senyuman gadis itu malu-malu.
Hah. Nafas kian berat memburu Irma. Sesaat seolah
tak menghirup oksigen. Tubuhnya lemas dan ingin secepatnya mencari tempat
duduk. Apalagi percakapan berikutnya....
“Ini siapa kamu? Pacar ya?” ada kesedihan nampak.
“Bukan. Dia ini hanya junior aku,” tanpa melihat ke
arah Irma.
Hanya
junior. Kenapa baru sekarang ada perasaan sedih melepuh saat
mendengar kata Junior. Andai saja punya kekuatan ingin langsung menghilang dan
mencari tempat paling tinggi, entah itu di atap atau bukit, ingin berteriak
sekencang-kencangnya.
“Sebenarnya aku ingin ke kantin tetapi aku tidak
lihat di mana tempatnya.”
“Ah kebetulan kami mau ke kantin, kamu ikut aja. Ia
kan Irma?” pandangan Ferli baru berpaling kepadanya yang direspon dengan
bungkam seribu bahasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar