post-thumbnail{float:left;margin-right:20px}

YUDHA

Jumat, 17 November 2017

Special Love (8)



Cemburu
“Hari itu kubuka jendela, mendengar burung bernyanyi dengan alunan kesedihan”

“Ciye, yang jadi obat nyamuk.....”
Ucap Randy, salah satu sahabat Ferli yang tiba-tiba datang dan duduk tepat di hadapan Irma. Pun ditanggapi dengan kalimat yang sama.

“Ah, obat nyamuk koq bilang obat nyamuk,” kata Irma memanyungkan bibirnya ke atas.
 Sementara Ferli sibuk mengbrol dengan Intan seolah tidak ada siapa-siapa di antara mereka, bahkan kehadiran sahabatnya pun hanya disambut dengan senyuman tipis kemudian berpaling lagi.
Ya, tidak bisa dibohongi bahwa semua pemuda pasti jatuh hati pada gadis cantik dan sholehah seperti Intan. Senyuman manis yang ringan berpancar di wajahnya membuat siapa saja terkesima. Lantas kenapa begitu melelahkan dirinya? Padahal dia bukan siapa-siapa.
“Kamu kenapa sih cuma diam? Nanti kamu kesambet loh?”
Randy membuyarkan lamunannya.
“Apaan sih?” mimik wajahnya bertanda kesal.
“Kan mereka juga ngobrol kayak pasangan, bagaimana kalau kita......”
Sebelum kalimatnya mengajaknya selesai, Irma bangkit dan menggandeng tasnya. Ingin pergi.
“Stop. Aku tidak tidak mau dengar. Aku mau ke perpus aja,” ucapnya berbalik.
Dan, tertahan.
Semoga Ferli. Pekiknya dalam batin.
“Lepaskan aku. Aku mau kembali ke perpustakaan,” katanya tegas, padahal hatinya diburuk kesenangan.
“Nyangkut kali tas kamu,” diikuti tawa yang meledak-ledak Randy.
Salah tingkah. Kalau mata batin seizin kantin terbuka pasti akan melihat tanduk yang berwarna merah tumbuh besar di kepalanya, bahkan berapi-api. Cepat-cepat Irma mengambil langkah seribu, sebelum ledekan memenuhi isi telinganya.
***
Sial. Kenapa hatinya tak berhenti mendegumkan kekesalan. Padahal dia bukan siapa-siapa bagi Ferli, hanya seorang pengagum, hanya seorang pesuruh. Beda dengan Intan, gadis cantik dan terlihat sangat anggun, mereka sangat dekat dan banyak teman-teman Ferli yang mengira sudah jadian. Bisa jadi? Nampak chemistry di antara mereka yang seolah dunia berdua ketika berbicara, sementara yang lain hanya menumpang.
“Itu tanda kamu cemburu....” pesan singkat dari Karin yang sekonyong-konyongnya mengambil kesimpulan setelah mendengar curhat dari sahabatnya.
“Cemburu? Hah. Mana mungkin,” mengelak.
“Bilang saja. Aku tahu koq dari nada suaramu,” diikuti tawa.
“Terserah kamu aja. Yang penting aku bilang tidak. Aku tidak cemburu. Toh aku bukan siapa-siapa Ferli. Okay! Aku tutup dulu teleponnya. Aku mau pulang, sudah jam 5. Nanti malam aku harus ngerjain dua makalah lagi. Assalamualaikum.”
Irma menutup teleponnya sebelum mendengar balasan salam dari sahabanya.
Sudah empat jam berlalu, Ferli tidak kembali ke perpustakaan. Hah. Mendenguskan nafas panjang.
“Laki-laki memang tidak bisa dipegang omongannya,” ucapnya dan bangkit merapikan buku-buku yang dipinjam sebelumnya untuk dikembalikan ke raknya dan betapa kagetnya tiba-tiba ada suara terdengar. Menantang pembicaraannya.
“Laki-laki siapa dulu? Aku tidak.”
Irma menoleh.
“Kamulah. Emang siapa lagi?” mimiknya wajah yang cemberut.
“Maksud kamu?”
Ferli tidak peka sampai membuatnya mempercepat gerakannya bolak-balik mengantar buku-buku yang dipinjamnya.
“Maksud kamu apaan? Aku tidak mengerti dan kamu harus kasih tahu aku,” kata Ferli mengambil tindakan menghalau jalannya.
“Pikir sendiri,” kata Irma tegas dan menginjak kaki Ferli.
Aw... terdengar menahan kesakitan.
Irma tidak perduli malah semakin mempercepat gerakannya.
“Irma tunggu aku,” kata Ferli yang mengejarnya keluar dari perpustakaan dan kembali menghalangi jalannya.
“Kamu jangan salah paham ya. Intan itu bukan siapa-siapa aku. Dia hanya temanku. Hanya temanku.....” katanya tegas.
“Tadi itu barusan ketemu, makanya ngobrolnya banyak sekali sampai-sampai kalau kita sudah janjian kerja bareng lagi di perpus. Maaf ya,” Ferli terdengar tulus.

Pict source: gambarzoom.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar