Cemburu
“Hari
itu kubuka jendela, mendengar burung bernyanyi dengan alunan kesedihan”
Ucap Randy, salah satu sahabat Ferli yang tiba-tiba
datang dan duduk tepat di hadapan Irma. Pun ditanggapi dengan kalimat yang
sama.
“Ah, obat nyamuk koq bilang obat nyamuk,” kata Irma
memanyungkan bibirnya ke atas.
Sementara
Ferli sibuk mengbrol dengan Intan seolah tidak ada siapa-siapa di antara
mereka, bahkan kehadiran sahabatnya pun hanya disambut dengan senyuman tipis
kemudian berpaling lagi.
Ya, tidak bisa dibohongi bahwa semua pemuda pasti
jatuh hati pada gadis cantik dan sholehah seperti Intan. Senyuman manis yang
ringan berpancar di wajahnya membuat siapa saja terkesima. Lantas kenapa begitu
melelahkan dirinya? Padahal dia bukan siapa-siapa.
“Kamu kenapa sih cuma diam? Nanti kamu kesambet
loh?”
Randy membuyarkan lamunannya.
“Apaan sih?” mimik wajahnya bertanda kesal.
“Kan mereka juga ngobrol kayak pasangan, bagaimana
kalau kita......”
Sebelum kalimatnya mengajaknya selesai, Irma bangkit
dan menggandeng tasnya. Ingin pergi.
“Stop. Aku tidak tidak mau dengar. Aku mau ke perpus
aja,” ucapnya berbalik.
Dan, tertahan.
Semoga
Ferli. Pekiknya dalam batin.
“Lepaskan aku. Aku mau kembali ke perpustakaan,”
katanya tegas, padahal hatinya diburuk kesenangan.
“Nyangkut kali tas kamu,” diikuti tawa yang
meledak-ledak Randy.
Salah tingkah. Kalau mata batin seizin kantin
terbuka pasti akan melihat tanduk yang berwarna merah tumbuh besar di
kepalanya, bahkan berapi-api. Cepat-cepat Irma mengambil langkah seribu,
sebelum ledekan memenuhi isi telinganya.
***
Sial. Kenapa hatinya tak berhenti mendegumkan
kekesalan. Padahal dia bukan siapa-siapa bagi Ferli, hanya seorang pengagum,
hanya seorang pesuruh. Beda dengan Intan, gadis cantik dan terlihat sangat
anggun, mereka sangat dekat dan banyak teman-teman Ferli yang mengira sudah
jadian. Bisa jadi? Nampak chemistry di antara mereka yang seolah dunia berdua
ketika berbicara, sementara yang lain hanya menumpang.
“Itu tanda kamu
cemburu....” pesan singkat dari Karin yang sekonyong-konyongnya mengambil
kesimpulan setelah mendengar curhat dari sahabatnya.
“Cemburu? Hah. Mana
mungkin,” mengelak.
“Bilang saja. Aku tahu
koq dari nada suaramu,” diikuti tawa.
“Terserah kamu aja.
Yang penting aku bilang tidak. Aku tidak cemburu. Toh aku bukan siapa-siapa
Ferli. Okay! Aku tutup dulu teleponnya. Aku mau pulang, sudah jam 5. Nanti
malam aku harus ngerjain dua makalah lagi. Assalamualaikum.”
Irma menutup teleponnya
sebelum mendengar balasan salam dari sahabanya.
Sudah empat jam
berlalu, Ferli tidak kembali ke perpustakaan. Hah. Mendenguskan nafas panjang.
“Laki-laki memang tidak
bisa dipegang omongannya,” ucapnya dan bangkit merapikan buku-buku yang
dipinjam sebelumnya untuk dikembalikan ke raknya dan betapa kagetnya tiba-tiba
ada suara terdengar. Menantang pembicaraannya.
“Laki-laki siapa dulu?
Aku tidak.”
Irma menoleh.
“Kamulah. Emang siapa
lagi?” mimiknya wajah yang cemberut.
“Maksud kamu?”
Ferli tidak peka sampai
membuatnya mempercepat gerakannya bolak-balik mengantar buku-buku yang
dipinjamnya.
“Maksud kamu apaan? Aku
tidak mengerti dan kamu harus kasih tahu aku,” kata Ferli mengambil tindakan
menghalau jalannya.
“Pikir sendiri,” kata
Irma tegas dan menginjak kaki Ferli.
Aw...
terdengar
menahan kesakitan.
Irma tidak perduli
malah semakin mempercepat gerakannya.
“Irma tunggu aku,” kata
Ferli yang mengejarnya keluar dari perpustakaan dan kembali menghalangi
jalannya.
“Kamu jangan salah
paham ya. Intan itu bukan siapa-siapa aku. Dia hanya temanku. Hanya temanku.....”
katanya tegas.
“Tadi itu barusan
ketemu, makanya ngobrolnya banyak sekali sampai-sampai kalau kita sudah janjian
kerja bareng lagi di perpus. Maaf ya,” Ferli terdengar tulus.
Pict source: gambarzoom.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar