post-thumbnail{float:left;margin-right:20px}

YUDHA

Senin, 20 November 2017

Still Hoping (2)

DIGTA
“Hanya mencintaimu dalam diam”

Rambutnya berdiri karena tertiup angin kencang, sementara matanya berfokus kepada dua titik, gadis yang sedang diikutinya diam-diam dan keadaan jalan yang jangan sampai menabrak orang atau apapun. Sebenarnya ini bukan pertama kalinya mengikuti gadis manis yang suka berpenutup kepala itu. Sholehah. Parasa ayunya ditambah keramahan dan kemurahan senyum membuat siapa saja yang berada di dekatnya akan merasa tenang.

“Kapan aku bisa jujur kepadamu? Padahal kita sudah lama berteman. Lima tahun. Dari kelas tiga SMP.”
Pertanyaan itu terus meluncur dan mengganggu pikiran Digta. Oh, andai saja ia punya keberanian, toh wajahnya juga tidak jelek-jelek amat, hidung mancung, kulit hitam panis dan badannya yang jangkung pasti ada wanita yang menyukainya. Bagaimana dengan Luna? Apakah pernah terlintas di dalam pikirannya tentang cinta dari sahabatnya sendiri?
Digta memicingkan mata, pikirannya yang tersulut keraguan berubah menjadi semangat berkoar-koar. Kalau tidak sekarang kapan lagi? Jangan tunggu sampai ada orang lain yang mendapatkan baiduri sepertinya.
Buru-buru Digta melajukan kendaraan, sampai tak sadar ada lampu merah menyala di atas kepalanya. Dia menabrak sebuah mobil kijang yang membuatnya berurusan dengan polisi.
Ah, sial. Gumamnya dalam hati. Sudah ganti rugi, mendapatkan teguran dari Polisi ditambah kehilangan arah gadis yang dicintai padahal hati sudah mantap menyatakan cinta. Hah. Mendenguskan nafas berat. Di atas bukit berteriak melepaskan penat hatinya yang sudah lama terpendam. Entah sampai kapan harus membendung perasaan dalam benak yang seolah tidak ada matinya, walaupun beberapa kali mencobanya. Ah. Harus bagaimana lagi sekarang?
Matanya melihat laut lepas dan panorama sun set yang sebentar lagi meniadakan kesabaran bumi. Gelap akan datang. Dan, tiba-tiba pikirannya terperanjat akan ada matahari lagi muncul setelah kegelapan. Akan ada kesempatan setelah kesempitan mengelabuhi. Jadi, tak perlu bersedih hati. Ia tersenyum tipis.
***
Sudah pukul 13.00. Biasanya dia pasti menyentuh mata Luna di serambi masjid Kampus Melati sedang membaca novel. Hanya saja ada apa dengan hari ini? Kenapa tak ditemukan helai hijabnya yang pasti berwarna cerah? Sementara debar di dada masih terus berlanjut, entah sampai kapan harus menunggu waktu padahal dari semalam tidak bisa tidur sama sekali, memikirkan bagaimana responnya nanti? Tapi, kenapa tak ada kesempatan melihatnya bahkan sampai malam hari.
“Mungkin lebih baik pulang saja dan pasti masih menemukan mataharinya besok,” katanya menyemangati diri sendiri.
Semangat? Apa yang bisa dilakukannya selain itu. Apakah marah dengan dirinya yang selama ini tidak memanfaatkan kesempatan yang ada, dan setelah memantapkan hati pun seolah kesempatan itu tak ada. Seperti oksigen yang hilang di pernafasan. Sekarang butuh bantuan yang entah ke mana? Ah. Tidak. Astagfirullah. Beberapa kali tumpang tindih pertanyaan membuatnya kelabakan menyemangati diri.
Ia menengok kembali jam yang melingkar di lengan kananya. Sudah hampir maghrib. Ia menengok ke kanan dan ke kiri. Masjid sudah kembali ramai. Ya, sebaiknya ia harus sholat maghrib lagi sebelum pulang ke kos. Kos barunya yang sungguh disukai, bagaimana tidak berwarna pink hampir setiap lekuk bagiannya dan tidak percuma membayar mahal kepada dua orang gadis yang ingin membantunya.
***
Seolah membelah jalan dengan raungan laju kendaraan motornya. Hhhhh. Hanya itu salah satu yang bisa dilakukan memperbaiki suasana hatinya yang tidak menentu.

pict source: www.anakcemerlang.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar