DIGTA
Rambutnya berdiri karena tertiup angin kencang,
sementara matanya berfokus kepada dua titik, gadis yang sedang diikutinya
diam-diam dan keadaan jalan yang jangan sampai menabrak orang atau apapun. Sebenarnya ini bukan pertama kalinya
mengikuti gadis manis yang suka berpenutup kepala itu. Sholehah. Parasa ayunya
ditambah keramahan dan kemurahan senyum membuat siapa saja yang berada di dekatnya
akan merasa tenang.
“Kapan aku bisa jujur kepadamu? Padahal kita sudah
lama berteman. Lima tahun. Dari kelas tiga SMP.”
Pertanyaan itu terus meluncur dan mengganggu pikiran
Digta. Oh, andai saja ia punya keberanian, toh wajahnya juga tidak jelek-jelek
amat, hidung mancung, kulit hitam panis dan badannya yang jangkung pasti ada
wanita yang menyukainya. Bagaimana dengan
Luna? Apakah pernah terlintas di dalam pikirannya tentang cinta dari sahabatnya
sendiri?
Digta memicingkan mata, pikirannya yang tersulut
keraguan berubah menjadi semangat berkoar-koar. Kalau tidak sekarang kapan lagi? Jangan tunggu sampai ada orang lain
yang mendapatkan baiduri sepertinya.
Buru-buru Digta melajukan kendaraan, sampai tak
sadar ada lampu merah menyala di atas kepalanya. Dia menabrak sebuah mobil
kijang yang membuatnya berurusan dengan polisi.
Ah,
sial. Gumamnya dalam hati. Sudah ganti rugi, mendapatkan
teguran dari Polisi ditambah kehilangan arah gadis yang dicintai padahal hati
sudah mantap menyatakan cinta. Hah. Mendenguskan nafas berat. Di atas bukit
berteriak melepaskan penat hatinya yang sudah lama terpendam. Entah sampai
kapan harus membendung perasaan dalam benak yang seolah tidak ada matinya,
walaupun beberapa kali mencobanya. Ah.
Harus bagaimana lagi sekarang?
Matanya melihat laut lepas dan panorama sun set yang sebentar lagi meniadakan
kesabaran bumi. Gelap akan datang. Dan, tiba-tiba pikirannya terperanjat akan ada matahari lagi muncul setelah
kegelapan. Akan ada kesempatan setelah kesempitan mengelabuhi. Jadi, tak
perlu bersedih hati. Ia tersenyum tipis.
***
Sudah pukul 13.00. Biasanya dia pasti menyentuh mata
Luna di serambi masjid Kampus Melati sedang membaca novel. Hanya saja ada apa
dengan hari ini? Kenapa tak ditemukan helai hijabnya yang pasti berwarna cerah?
Sementara debar di dada masih terus berlanjut, entah sampai kapan harus
menunggu waktu padahal dari semalam tidak bisa tidur sama sekali, memikirkan
bagaimana responnya nanti? Tapi, kenapa tak ada kesempatan melihatnya bahkan
sampai malam hari.
“Mungkin lebih baik pulang saja dan pasti masih
menemukan mataharinya besok,” katanya menyemangati diri sendiri.
Semangat? Apa yang bisa dilakukannya selain itu.
Apakah marah dengan dirinya yang selama ini tidak memanfaatkan kesempatan yang
ada, dan setelah memantapkan hati pun seolah kesempatan itu tak ada. Seperti
oksigen yang hilang di pernafasan. Sekarang butuh bantuan yang entah ke mana?
Ah. Tidak. Astagfirullah. Beberapa
kali tumpang tindih pertanyaan membuatnya kelabakan menyemangati diri.
Ia menengok kembali jam yang melingkar di lengan
kananya. Sudah hampir maghrib. Ia menengok ke kanan dan ke kiri. Masjid sudah
kembali ramai. Ya, sebaiknya ia harus sholat maghrib lagi sebelum pulang ke
kos. Kos barunya yang sungguh disukai, bagaimana tidak berwarna pink hampir
setiap lekuk bagiannya dan tidak percuma membayar mahal kepada dua orang gadis
yang ingin membantunya.
***
Seolah membelah jalan dengan raungan laju kendaraan
motornya. Hhhhh. Hanya itu salah satu yang bisa dilakukan memperbaiki suasana
hatinya yang tidak menentu.
pict source: www.anakcemerlang.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar