KENYATAAN
“Aku
memang sudah percaya bahwa ini cinta”
Suci
duduk di tepi kursi, menundukkan wajah yang terngiang rasa bersalah. Meskipun
pemuda yang berada di sampingnya malah mengabaikannya justru semakin membuatnya
terpuruk. Hah. Untungnya Ferdi bisa membaca jelas rasa itu di dahinya dan
mencoba menenangkan.
“Kamu tidak usah berpikir lagi kejadian kemarin.
Yang berlalu biarlah berlalu. Toh semuanya tidak akan bisa kembali seperti
semula.”
Gadis bercadar itu meneteskan bulir air mata.
Dan, suasana romantis sekarang. Diberikannya sapu
tangan yang diambil dari sakunya.
“Jangan menangis dong, nanti orang mengiranya aku
menyakiti kamu lagi. Sekarang coba lihat mukaku,” Ferdi menggerakkan mulutnya
ke sana ke mari dan wajahnya ikut membengkok, segala macam rupa coba dibentuk
di mukanya dan berhasil.
Hehehehehehe. Meskipun tak bisa melihat senyum di
bibirnya, pun tahu Suci bisa tertawa dan tersenyum dengan matanya.
“Gitu dong, senyum. Pokoknya kamu jangan sedih lagi
ya,” Ferdi ikut tersenyum ringan.
Suci hanya mengangguk pelan.
Tutt-tutt-tutt.
Bel masuk berdentum. Suci segera mengangkat bahu dan
kemudian bergegas pergi tanpa tahu dompetnya yang bercorak hello kitty terjatuh
di semak-semak tempatnya duduk bersama Ferdi.
“Suci, tun....” Ferdi yang melihat lantas ingin
mengembalikan tak sempat karenan Suci sudah menghilang di retina.
Buka
tidak buka tidak ya. Buka tidak ya. Buka tidak ya. Dan,
kepalanya timbur banyak pertanyaan. Selama ini masih penasaran tentang jati
diri gadis berhijab itu dan seolah waktu sudah merestui sekarang. Tak akan dibuangnya percuma. Hah, mendenguskan nafas
berat, perlahan ia membukanya.
Bismillah.
Betapa
terkejutnya ia menemukan banyak bukti bahwa Suci adalah Kirana. Selembar foto
tante Nini dengan dirinya, slip penerimaan beasiswa atas nama Kirana dan kunci locker
perpustakaannya dulu. Ia sangat tahu persis ketika masih menjadi pengganggunya
dulu.
Terduduk. Andai lebih pintar dan tanpa menunggu
bukti yang belum jelas kapan akan datangnya cahaya kebenaran pasti akan terus
meminta maaf dan bahkan berlutut di hadapannya. Air matanya mengalir di pipi.
Allah.
Sekarang
tidak akan membuang kesempatan yang datang kedua kali. Janji yang pernah
dibuatnya untuk menebus kesalahan besar di masa lalu pada Kirana akan
dilakukan.
Astagfirullah.
Beberapa
kali melafadzakan kata penenang itu sambil mengatur nafas untuk bisa mengikuti
pelajaran dan harus masih kondisi tidak tahu apa-apa. Ferdi mengusap air mata yang
berlinang di pipinya dan mengangat bahu untuk segera ke kelas. Meskipun sangat
ingin berlutut meminta maaf, niatnya itu diurungkan dalam kesabaran. Jangan
sampai ia gegabah justru tidak akan membuat situasi membaik.
Terkadang waktu sangat terasa mengalun lamban ketika
ada di dalam penantian, meskipun itu hanya dalam waktu satu jam.
“Akhirnya selesai juga,” katanya sumringah sambil
memasukkan cepat buku-buku dan pulpennya ke dalam tas birunya.
Di sebelah kanan Suci hanya tersenyum melihat
tingkahnya dan ketika hendak ke pintu keluar untuk menghampiri Ida dan Ayu yang
sudah menunggunya, ia terhenti mendengar nama yang pernah dimilikinya.
“Kirana.....,” suara Ferdi nyaring membuat
teman-temannya yang lain menghentikan langkah.
Sigap Ferdi datang berlutut di hadapan Suci sambil
memegang dompet pink.
“Maafkan aku tidak menyadarinya lebih cepat. Maafkan
aku. Harusnya aku lebih cepat tahu kalau kamu adalah Suci,” Ferdi menunduk.
Semua terkejut luar biasa. Semua kepala terisi
dengan pertanyaan-pertanyaan, apakah benar yang dikatakan Ferdi?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar