post-thumbnail{float:left;margin-right:20px}

YUDHA

Rabu, 20 Desember 2017

Baiduri (18)



KENYATAAN
“Aku memang sudah percaya bahwa ini cinta”


Suci duduk di tepi kursi, menundukkan wajah yang terngiang rasa bersalah. Meskipun pemuda yang berada di sampingnya malah mengabaikannya justru semakin membuatnya terpuruk. Hah. Untungnya Ferdi bisa membaca jelas rasa itu di dahinya dan mencoba menenangkan.

“Kamu tidak usah berpikir lagi kejadian kemarin. Yang berlalu biarlah berlalu. Toh semuanya tidak akan bisa kembali seperti semula.”
Gadis bercadar itu meneteskan bulir air mata.
Dan, suasana romantis sekarang. Diberikannya sapu tangan yang diambil dari sakunya.
“Jangan menangis dong, nanti orang mengiranya aku menyakiti kamu lagi. Sekarang coba lihat mukaku,” Ferdi menggerakkan mulutnya ke sana ke mari dan wajahnya ikut membengkok, segala macam rupa coba dibentuk di mukanya dan berhasil.
Hehehehehehe. Meskipun tak bisa melihat senyum di bibirnya, pun tahu Suci bisa tertawa dan tersenyum dengan matanya.
“Gitu dong, senyum. Pokoknya kamu jangan sedih lagi ya,” Ferdi ikut tersenyum ringan.
Suci hanya mengangguk pelan.
Tutt-tutt-tutt.
Bel masuk berdentum. Suci segera mengangkat bahu dan kemudian bergegas pergi tanpa tahu dompetnya yang bercorak hello kitty terjatuh di semak-semak tempatnya duduk bersama Ferdi.
“Suci, tun....” Ferdi yang melihat lantas ingin mengembalikan tak sempat karenan Suci sudah menghilang di retina.
Buka tidak buka tidak ya. Buka tidak ya. Buka tidak ya. Dan, kepalanya timbur banyak pertanyaan. Selama ini masih penasaran tentang jati diri gadis berhijab itu dan seolah waktu sudah merestui sekarang. Tak akan  dibuangnya percuma. Hah, mendenguskan nafas berat, perlahan ia membukanya.
Bismillah. Betapa terkejutnya ia menemukan banyak bukti bahwa Suci adalah Kirana. Selembar foto tante Nini dengan dirinya, slip penerimaan beasiswa atas nama Kirana dan kunci locker perpustakaannya dulu. Ia sangat tahu persis ketika masih menjadi pengganggunya dulu.
Terduduk. Andai lebih pintar dan tanpa menunggu bukti yang belum jelas kapan akan datangnya cahaya kebenaran pasti akan terus meminta maaf dan bahkan berlutut di hadapannya. Air matanya mengalir di pipi.
Allah. Sekarang tidak akan membuang kesempatan yang datang kedua kali. Janji yang pernah dibuatnya untuk menebus kesalahan besar di masa lalu pada Kirana akan dilakukan.
Astagfirullah. Beberapa kali melafadzakan kata penenang itu sambil mengatur nafas untuk bisa mengikuti pelajaran dan harus masih kondisi tidak tahu apa-apa. Ferdi mengusap air mata yang berlinang di pipinya dan mengangat bahu untuk segera ke kelas. Meskipun sangat ingin berlutut meminta maaf, niatnya itu diurungkan dalam kesabaran. Jangan sampai ia gegabah justru tidak akan membuat situasi membaik.
Terkadang waktu sangat terasa mengalun lamban ketika ada di dalam penantian, meskipun itu hanya dalam waktu satu jam.
“Akhirnya selesai juga,” katanya sumringah sambil memasukkan cepat buku-buku dan pulpennya ke dalam tas birunya.
Di sebelah kanan Suci hanya tersenyum melihat tingkahnya dan ketika hendak ke pintu keluar untuk menghampiri Ida dan Ayu yang sudah menunggunya, ia terhenti mendengar nama yang pernah dimilikinya.
“Kirana.....,” suara Ferdi nyaring membuat teman-temannya yang lain menghentikan langkah.
Sigap Ferdi datang berlutut di hadapan Suci sambil memegang dompet pink.
“Maafkan aku tidak menyadarinya lebih cepat. Maafkan aku. Harusnya aku lebih cepat tahu kalau kamu adalah Suci,” Ferdi menunduk.
Semua terkejut luar biasa. Semua kepala terisi dengan pertanyaan-pertanyaan, apakah benar yang dikatakan Ferdi?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar