post-thumbnail{float:left;margin-right:20px}

YUDHA

Sabtu, 16 Desember 2017

Sejak Lama



“Jangan pernah tersenyum kepada pagi, sebelum engkau tersenyum padaku. Apakah kau tahu? Engkau adalah matahariku”

“Assalamualaikum. Aku Yuriani Anggraini. Biasa dipanggil Yuri. Mahasiswa baru dari Jurusan Ilmu Alquran dan Tafsir. Aku orangnya supel, tidak suka basa-basi. Sangat suka baca Alquran, novel dan menulis. Dan tidak usah ditanya, aku juga sangat suka berteman.” Sembari tersenyum lepas kepada teman-temannya.

“Gak usah banyak ngomong deh. Sekarang kalau udah selesai perkenalkan dirinya, terima hukumanmu.”
Sebelum melihat wajah pemuda yang bersuara sumbang itu, Yuri memeriksa baik-baik dari ujung kaki sampai ujung kepala. Ditemukan sepatu hitam cats elegan, sepertinya orang kaya. Celananya semi-jeans. Harganya kira-kira empat ratusan. Kemejanya seperti distro, warna hitam sangat cocok di kulit putihnya dan wajahnya. Masya Allah.....
Senior itu ikut terheran-heran. Dan, suasana apa sekarang? Matanya meleleh. Ada ingatan masa lalu.
Kak Rian...... Benar, dia kak Rian. Suara hatinya meloncat tinggi hanya saja tak terdengar oleh siapapun. Yuri percaya, hanya Allah yang mendengarnya.
“Kamu tidak tuli kan? sekarang jalan jongkok sampai ke aula,” padahal Rian juga seolah mengingat masa-masa SMAnya. Hanya saja enggan merespon, terlalu banyak orang melihat.
“Apa? Kenapa aku dihukum kak? Perasaan aku tidak terlambat?” mengernyit. Ingatannya pun harus teredam. Mau tak mau.
“Kamu ini ya.... Baru kali ini ada junior yang berani melawan sama saya,” nadanya seolah ingin menerkam.
“Ada apa sih ini ribut-ribut?” salah satu senior datang. Wajahnya seperti lebih bersahabat.
“Ini siswa baru cari gara-gara, masa dikasih hukuman dia malah nolak,” alis Rian terangkat.
“Aku gak telat senior....” Yuri membela diri.
“Udah-udah. Lebih baik, kamu masuk kelas aja dan lupain persoalan ini. Sekarang kamu masuk, pemateri udah mulai menyampaikan materinya,” sambil menunjuk ke arah auditorium.
Namun Rian masih menghela nafas berat. Seperti belum terima diperlakukan juniornya seperti itu. Hanya saja matanya berkata lain, ada tatapan lembut. Seolah rindu yang lama mencekam.
“Ingat ya, persoalan belum selesai. Aku pastikan akan membalasnya,” sangat gencar.
“Okay, siapa takut,”  Yuri malah membalas dengan bibir manyung.
Dia sangat kesal. Baru kali ini dia menemukan senior aneh sepertinya. Menghukum tanpa alasan yang jelas. Bukan berarti dia tidak punya penghargaan kepada Rian, hanya saja sosok pemuda seperti itu harus dapat pelajaran supaya bisa juga menghargai juniornya.
***
“Aku heran sama kamu Rian, dari tadi ngomongin masalah salah satu Junior itu. hati-hati lo kamu suka,” Bram tidak mengerti.
Tak ada jawaban. Hanya mata lembut melihat masa lalu. Kemarahan sebelumnya seolah palsu.
“Aku merindukannya.....”
Bram membelalak. Siapa sebenarnya gadis itu? Kenapa membuat sahabatnya aneh dan tak karuan? Mantra apa yang telah diucapkannnya? Apakah dia seorang dukun?
Jam istirahat tiba. Sudah waktunya mahasiswa baru istirahat setengah jam. Ketika Yuri dan Yuna, sepasang sahabat yang baru berkenalan keluar di antara kerumunan putih hitam, nampak ada sepasang mata sayup.
“Sumpah kakak itu ganteng banget. Tapi kalau aku dikasih kesempatan aku juga gak mau sih, soalnya dia terlalu tampan untukku,” mata Yuna seolah tak berkedip memandang Rian.
“Apaan sih? Aku tidak ngerti sama kamu dan aku akui sih yang kamu ucapkan betul,” ucap Yuri diikuti tawa kecil.
“Ih.... Dasar ya..... Hanya saja penasaran, siapa ya kira-kira gadis yang bisa memilikinya nanti?” dan retina matanya yang belum lepas.
Lambungan pikiran membuat Yuri melamun, sampai-sampai tak sadar pemuda yang dimaksud sudah ada di hadapannya sekarang. Beberapa kali dipanggil tak ada jawaban, Yuna sendiri keheranan sekaligus ketakutan mungkin sahabatnya kerasukan.
“Eh, mahasiswa baru. Siapa nama kamu dan kamu dari jurusan mana?” pertanyaan yang sudah ketiga kalinya.
Pertanyaan berulang dengan nada yang lebih tinggi membuatnya terjaga. Sebelumnya hanya mendengus kesal.
“Kalau ngomong itu kak yang pelan dong. Aku kan tidak tuli, lagian aku sudah memperkenalkan diri sebelumnya,” mendengus kesal.
“Ok, Maaf. Tapi siapa nama kamu? Dan jurusan apa?”
“Yuriani Anggraini. Biasa dipanggil Yuri, dari Jurusan Ilmu Alquran dan Tafsir.”
Alhamdulillah. Percakapan yang baik setelahnya membuat mereka dekat.
Tuhan, benar dia. Benar-benar dia yang selama ini kutunggu dan kali ini tidak akan kulepaskan.
“Benar apa yang kamu pikirkan sekarang, genggam dia sangat erat supaya tak lepas lagi,” Bram menyemangati.
Langsung beranjak pergi. Membuat sahabatnya kebingungan. Hanya saja tetap mengikuti. Ia berlari terbirit-birit, Rian terlalu cepat berjalan dan sebenarnya apa yang ingin dicarinya? Untungnya tak butuh lama. Hmmmmm, ternyata hanya membeli es susu cokelat tapi untuk siapa? Ah, sial. Kembali lagi berjalan ke tempat semula.
“Rian, jangan tergesa-gesa nanti minumannya jatuh loh,”  Bram kembali mengingatkan.
Rian menghembuskan nafas. Hari ini perjuangan cintanya dimulai dan ia harus bergegas. Rindu yang sudah lama tertanam dalam diri, ingin agar tumbuh semerbak dengan bunga harum mewangi.
“Ini minuman kamu. Aku tahu pasti kamu kehausan,” Rio tersenyum manis.
“Makasih kak,” Yuri membalas.
Oh, ternyata ini maksud Rio kemarin. Membela Junior karena menyimpan hati. Ah, sial. Ada hati lain mengintai.
Harus merepet. Tidak boleh gagal. Sudah membiarkan pergi sekali dan tidak akan menyerah begitu saja. Tuhan punya maksud baik mempertemukan kembali setelah setahun lebih tak bertemu, meskipun tidak yakin dia masih menyimpan perasaan.
“Ini, aku juga bawakan kamu minuman, sebagai permintaan maafku kemarin,” kali ini senyuman mautnya keluar.
Gila. Jantung Yuri rasanya mau copot. Secepat kilat menudukkan mata.
Menundukkan mata, bukan muhrim. Dan sahabatnya kebingungan, seperti dua pemuda ganteng akan bertarung mendapatkan cinta Yuri.
“Kalau begitu, aku duluan ya Yuri, jangan lupa besok pagi,” Rio tersenyum.
Besok pagi? Apa maksudnya? Apakah mereka akan pergi bersama. Ah, tidak.
“Kalian mau pergi kemana?” seenaknya bertanya.
“Kami besok akan ada pemotretan untuk mahasiswa baru di Tanjung Karang, untuk dijadikan brosur pelatihan dasar kepimpinan dua minggu lagi.”
Padahal Rio tak ingin mejawab hanya saja Yuri terus merespon pemuda menyebalkan itu. Pun sendiri tidak tahu menahu, hati yang berbisik untuk menguapkan kata-kata.
“Apakah aku boleh ikut Rio? Kan aku juga salah satu panitia?” Rian mengernyit.
“Tentu saja. Kamu bahkan dicari sebelumnya karena tak ikut rapat tentang hal ini,” Rio menjelaskan.
“Aku ada urusan untuk......” terbata-bata. Mengurungkan niat untuk melanjutkan pembicaraan. “Tidak jadi. Kalau begitu aku pergi,” kembali mengulangi senyuman maut dan kali ini terbalaskan lagi.
***
Ingin sekali duduk berdampingan, hanya saja belum waktunya dan bahkan hubungan belum ada kemajuan. Masih ada sesal tertinggal, andai tak berkata kasar kepadanya dulu, mungkin bisa lebih cepat akrab. Hmmmm. Hanya saja tak ada gunanya menyalahkan diri, justru memperburuk keadaan. Lebih baik menyiasati target selanjutnya. Pasti ada cara masuk di celah hatinya lagi atau bahkan masih ada perasaan yang dulu.
“Tak penting, dia masih punya perasaan seperti dulu atau tidak. Terpenting itu kamu mau memperjuangkan cintamu,” Bram menyemangati.
Semangatnya kembali membara. Ya, benar sekali, kali ini dia yang harus memperjuangkan cinta.
Sekonyong-konyongnya duduk di sampingnya, tanpa perduli apakah Yuri setuju atau tidak.
“Aku hanya duduk karena sudah tidak ada kursi bagian kiri,” sebuah alasan yang tak masuk akal, padahal masih terlihat di jok paling belakang ada kursi bagian kiri yang kosong.
Yuri mengembungkan mulut. Roman-romannya ingin pindah.
“Kalau kamu tidak mau duduk berdampingan denganku, kamu cari tempat lain saja,” padahal sebenarnya tak rela.
Cowok menyebalkan. Andai kepalanya tak pening pasti dia sudah pindah dari tadi. Lebih baik ia terus menutup mata, semoga kejadian sebulan lalu tak terulang hari itu.
Astagfirullah al-adzim. Yuri mabuk perjalanan. Muntahnya mengenai kaki Rian dan membingungkan kenapa tak ada kemarahan, justru mengurusnya dengan baik, menyuapinya dengan lembut kemudian memberikan obat anti mabuk. Ah. Adegan sweet.
Sampai-sampai Yuri berpikiran, mabuk perjalanan membuatnya memenangkan undian. Dan ingin selalu begitu asalkan pemuda seperti Rian, menjaga dengan lembut.
“Ciye, yang udah ada kemajuan,” Yuna meledek.
“Apaan sih?”
“Tapi kamu senang kan? ia kan?” mencoba menggoda sahabatnya.
“Ih, tidak kok. Kita tidur aja sekarang,” kemudian berbaring dan mencoba menutup mata.
Gelisah. Pun tak bisa menutup mata untuk istirahat sejenak. Hah. Ampun. Rian seperti hantu, datang setiap kali ingin tidur, bayangannya selalu muncul. Siapa dia sebenarnya? Apakah dia seorang dukun? Yang telah menghembuskan nafas rindu bergandengan cinta. Hah. Terlalu konyol. Mendengus kesal, kemudian berkali-kali menarik nafas panjang. Sepertinya ia harus menghibur diri sendiri dan makan adalah solusinya. Tapi bagaimana kalau berat badannya naik?
Oh, No! Jangan...... Selama ini sudah susah payah mengontrol nafsu makan. Jangan sampai berlebihan. Pun memutuskan keluar kamar. Dan, Astagfirullah.....
“Assalamualaikum.....” seenaknya muncul.
“Waalaikumsalam, kamu koq di sini? Jangan-jangan....” berprasangka buruk, mungkinkah dimatai-matai?
“Eh, tunggu dulu! Jangan berpikir yang tidak-tidak. Aku hanya ingin ngajak kamu makan malam,” Rian tersenyum.
Masya Allah. Bukankah hal ini yang ditunggu-tunggu. Tapi kenapa lagi tiba-tiba?
“Koq melamun, mau tidak atau tidak?”
“Kenapa tiba-tiba? Apa kamu punya maksud buruk terhadapku?”
“Astagfirullah, demi Allah tidak sama sekali. Kalau tidak mau, tidak usah berpikir macam-macam,” berbalik.
“Maaf-maaf. Aku mau,” menghentikan jalan pemuda di sampingnya.
Rian tersenyum menang. Pun jarak keduanya yang terlentang bak laut lepas kini seperti pinggiran sungai yang hanya berjarak lima meter. Pun tak sungkang-sungkang lagi menghabiskan waktu bersama.
Sampai Rian menyampaikan cintanya yang sejak lama. Sebenarnya dulu tahu tentang hati Yuna.
“Maafkan aku, harusnya aku jujur dari awal bahwa perasaanku sama terhadapmu.”
Apa? Shock. Hanya saja perasaan bercampur aduk sekarang. Senang sekaligus kecewa, membuat Yuri ingin pergi saja. kenapa dibiarkan sendiri menggenggam perasaan? Buru-buru Rian menahan.
“Maafkan aku. Aku menyukaimu dan ingin menjagamu layaknya kekasih. Apa yang harus kulakukan supaya kamu percaya?” penuh harap.
Adegan selanjutnya pun menggantikan kecewa dengan kebahagiaan tak terkira, saat hujan diganti dengan salju. Saat tangis terganti dengan tawa dan saat kekang tergantikan pertemuan demi pertemuan manis. Cinta yang indah bersemi dalam ta’aruf sampai halal.
THE END







Tentang Penulis
Memiliki nama lengkap Muhdar Silang,dengan nama pena Yudha Kidholics, bertempat tinggal di dusun Parabaya Lapeo, Kec. Campalagian, Polewali Mandar, Sulawesi Barat.  Apabila ingin menghubungi langsung dengan mengirim email ke: yudhawilliam.william@gmail.com, no. Hp: 085242100668, atau bisa  mengunjungi blog http://muhdarsilang.blogspot.com atau http://udhadotme.wordpress.com. No. Rekening: 5033-01-015906-53-6 atas nama: Tuna, BRI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar