“Jangan pernah tersenyum kepada pagi, sebelum engkau tersenyum
padaku. Apakah kau tahu? Engkau adalah matahariku”

“Gak usah banyak ngomong deh. Sekarang kalau udah selesai
perkenalkan dirinya, terima hukumanmu.”
Sebelum melihat wajah pemuda yang bersuara sumbang itu, Yuri
memeriksa baik-baik dari ujung kaki sampai ujung kepala. Ditemukan sepatu hitam
cats elegan, sepertinya orang kaya. Celananya semi-jeans. Harganya kira-kira
empat ratusan. Kemejanya seperti distro, warna hitam sangat cocok di kulit
putihnya dan wajahnya. Masya Allah.....
Senior itu ikut terheran-heran. Dan, suasana apa sekarang? Matanya
meleleh. Ada ingatan masa lalu.
Kak Rian...... Benar, dia kak Rian. Suara hatinya meloncat tinggi hanya saja tak terdengar oleh
siapapun. Yuri percaya, hanya Allah yang mendengarnya.
“Kamu tidak tuli kan? sekarang jalan jongkok sampai ke aula,”
padahal Rian juga seolah mengingat masa-masa SMAnya. Hanya saja enggan
merespon, terlalu banyak orang melihat.
“Apa? Kenapa aku dihukum kak? Perasaan aku tidak terlambat?”
mengernyit. Ingatannya pun harus teredam. Mau tak mau.
“Kamu ini ya.... Baru kali ini ada junior yang berani melawan sama
saya,” nadanya seolah ingin menerkam.
“Ada apa sih ini ribut-ribut?” salah satu senior datang. Wajahnya
seperti lebih bersahabat.
“Ini siswa baru cari gara-gara, masa dikasih hukuman dia malah
nolak,” alis Rian terangkat.
“Aku gak telat senior....” Yuri membela diri.
“Udah-udah. Lebih baik, kamu masuk kelas aja dan lupain persoalan
ini. Sekarang kamu masuk, pemateri udah mulai menyampaikan materinya,” sambil
menunjuk ke arah auditorium.
Namun Rian masih menghela nafas berat. Seperti belum terima
diperlakukan juniornya seperti itu. Hanya saja matanya berkata lain, ada tatapan
lembut. Seolah rindu yang lama mencekam.
“Ingat ya, persoalan belum selesai. Aku pastikan akan membalasnya,”
sangat gencar.
“Okay, siapa takut,” Yuri
malah membalas dengan bibir manyung.
Dia sangat kesal. Baru kali ini dia menemukan senior aneh
sepertinya. Menghukum tanpa alasan yang jelas. Bukan berarti dia tidak punya
penghargaan kepada Rian, hanya saja sosok pemuda seperti itu harus dapat
pelajaran supaya bisa juga menghargai juniornya.
***
“Aku heran sama kamu Rian, dari tadi ngomongin masalah salah satu
Junior itu. hati-hati lo kamu suka,” Bram tidak mengerti.
Tak ada jawaban. Hanya mata lembut melihat masa lalu. Kemarahan
sebelumnya seolah palsu.
“Aku merindukannya.....”
Bram membelalak. Siapa sebenarnya gadis itu? Kenapa membuat
sahabatnya aneh dan tak karuan? Mantra apa yang telah diucapkannnya? Apakah dia
seorang dukun?
Jam istirahat tiba. Sudah waktunya mahasiswa baru istirahat
setengah jam. Ketika Yuri dan Yuna, sepasang sahabat yang baru berkenalan
keluar di antara kerumunan putih hitam, nampak ada sepasang mata sayup.
“Sumpah kakak itu ganteng banget. Tapi kalau aku dikasih kesempatan
aku juga gak mau sih, soalnya dia terlalu tampan untukku,” mata Yuna seolah tak
berkedip memandang Rian.
“Apaan sih? Aku tidak ngerti sama kamu dan aku akui sih yang kamu
ucapkan betul,” ucap Yuri diikuti tawa kecil.
“Ih.... Dasar ya..... Hanya saja penasaran, siapa ya kira-kira
gadis yang bisa memilikinya nanti?” dan retina matanya yang belum lepas.
Lambungan pikiran membuat Yuri melamun, sampai-sampai tak sadar
pemuda yang dimaksud sudah ada di hadapannya sekarang. Beberapa kali dipanggil
tak ada jawaban, Yuna sendiri keheranan sekaligus ketakutan mungkin sahabatnya
kerasukan.
“Eh, mahasiswa baru. Siapa nama kamu dan kamu dari jurusan mana?”
pertanyaan yang sudah ketiga kalinya.
Pertanyaan berulang dengan nada yang lebih tinggi membuatnya
terjaga. Sebelumnya hanya mendengus kesal.
“Kalau ngomong itu kak yang pelan dong. Aku kan tidak tuli, lagian
aku sudah memperkenalkan diri sebelumnya,” mendengus kesal.
“Ok, Maaf. Tapi siapa nama kamu? Dan jurusan apa?”
“Yuriani Anggraini. Biasa dipanggil Yuri, dari Jurusan Ilmu Alquran
dan Tafsir.”
Alhamdulillah. Percakapan yang
baik setelahnya membuat mereka dekat.
Tuhan, benar dia. Benar-benar dia yang selama ini kutunggu dan kali
ini tidak akan kulepaskan.
“Benar apa yang kamu pikirkan sekarang, genggam dia sangat erat
supaya tak lepas lagi,” Bram menyemangati.
Langsung beranjak pergi. Membuat sahabatnya kebingungan. Hanya saja
tetap mengikuti. Ia berlari terbirit-birit, Rian terlalu cepat berjalan dan
sebenarnya apa yang ingin dicarinya? Untungnya tak butuh lama. Hmmmmm, ternyata
hanya membeli es susu cokelat tapi untuk siapa? Ah, sial. Kembali lagi berjalan
ke tempat semula.
“Rian, jangan tergesa-gesa nanti minumannya jatuh loh,” Bram kembali mengingatkan.
Rian menghembuskan nafas. Hari ini perjuangan cintanya dimulai dan
ia harus bergegas. Rindu yang sudah lama tertanam dalam diri, ingin agar tumbuh
semerbak dengan bunga harum mewangi.
“Ini minuman kamu. Aku tahu pasti kamu kehausan,” Rio tersenyum
manis.
“Makasih kak,” Yuri membalas.
Oh, ternyata ini maksud Rio kemarin. Membela Junior karena
menyimpan hati. Ah, sial. Ada hati lain mengintai.
Harus merepet. Tidak boleh gagal. Sudah membiarkan pergi sekali dan
tidak akan menyerah begitu saja. Tuhan punya maksud baik mempertemukan kembali
setelah setahun lebih tak bertemu, meskipun tidak yakin dia masih menyimpan
perasaan.
“Ini, aku juga bawakan kamu minuman, sebagai permintaan maafku
kemarin,” kali ini senyuman mautnya keluar.
Gila. Jantung Yuri rasanya mau copot. Secepat kilat menudukkan
mata.
Menundukkan mata, bukan muhrim. Dan sahabatnya kebingungan, seperti
dua pemuda ganteng akan bertarung mendapatkan cinta Yuri.
“Kalau begitu, aku duluan ya Yuri, jangan lupa besok pagi,” Rio
tersenyum.
Besok pagi? Apa maksudnya? Apakah mereka akan pergi bersama. Ah,
tidak.
“Kalian mau pergi kemana?” seenaknya bertanya.
“Kami besok akan ada pemotretan untuk mahasiswa baru di Tanjung
Karang, untuk dijadikan brosur pelatihan dasar kepimpinan dua minggu
lagi.”
Padahal Rio tak ingin mejawab hanya saja Yuri terus merespon pemuda
menyebalkan itu. Pun sendiri tidak tahu menahu, hati yang berbisik untuk
menguapkan kata-kata.
“Apakah aku boleh ikut Rio? Kan aku juga salah satu panitia?” Rian
mengernyit.
“Tentu saja. Kamu bahkan dicari sebelumnya karena tak ikut rapat
tentang hal ini,” Rio menjelaskan.
“Aku ada urusan untuk......” terbata-bata. Mengurungkan niat untuk
melanjutkan pembicaraan. “Tidak jadi. Kalau begitu aku pergi,” kembali
mengulangi senyuman maut dan kali ini terbalaskan lagi.
***
Ingin sekali duduk berdampingan, hanya saja belum waktunya dan
bahkan hubungan belum ada kemajuan. Masih ada sesal tertinggal, andai tak
berkata kasar kepadanya dulu, mungkin bisa lebih cepat akrab. Hmmmm. Hanya saja
tak ada gunanya menyalahkan diri, justru memperburuk keadaan. Lebih baik
menyiasati target selanjutnya. Pasti ada cara masuk di celah hatinya lagi atau
bahkan masih ada perasaan yang dulu.
“Tak penting, dia masih punya perasaan seperti dulu atau tidak.
Terpenting itu kamu mau memperjuangkan cintamu,” Bram menyemangati.
Semangatnya kembali membara. Ya, benar sekali, kali ini dia yang
harus memperjuangkan cinta.
Sekonyong-konyongnya duduk di sampingnya, tanpa perduli apakah Yuri
setuju atau tidak.
“Aku hanya duduk karena sudah tidak ada kursi bagian kiri,” sebuah
alasan yang tak masuk akal, padahal masih terlihat di jok paling belakang ada
kursi bagian kiri yang kosong.
Yuri mengembungkan mulut. Roman-romannya ingin pindah.
“Kalau kamu tidak mau duduk berdampingan denganku, kamu cari tempat
lain saja,” padahal sebenarnya tak rela.
Cowok menyebalkan. Andai
kepalanya tak pening pasti dia sudah pindah dari tadi. Lebih baik ia terus
menutup mata, semoga kejadian sebulan lalu tak terulang hari itu.
Astagfirullah al-adzim. Yuri
mabuk perjalanan. Muntahnya mengenai kaki Rian dan membingungkan kenapa tak ada
kemarahan, justru mengurusnya dengan baik, menyuapinya dengan lembut kemudian
memberikan obat anti mabuk. Ah. Adegan sweet.
Sampai-sampai Yuri berpikiran, mabuk perjalanan membuatnya
memenangkan undian. Dan ingin selalu begitu asalkan pemuda seperti Rian,
menjaga dengan lembut.
“Ciye, yang udah ada kemajuan,” Yuna meledek.
“Apaan sih?”
“Tapi kamu senang kan? ia kan?” mencoba menggoda sahabatnya.
“Ih, tidak kok. Kita tidur aja sekarang,” kemudian berbaring dan
mencoba menutup mata.
Gelisah. Pun tak bisa menutup mata untuk istirahat sejenak. Hah.
Ampun. Rian seperti hantu, datang setiap kali ingin tidur, bayangannya selalu
muncul. Siapa dia sebenarnya? Apakah dia seorang dukun? Yang telah
menghembuskan nafas rindu bergandengan cinta. Hah. Terlalu konyol.
Mendengus kesal, kemudian berkali-kali menarik nafas panjang. Sepertinya ia
harus menghibur diri sendiri dan makan adalah solusinya. Tapi bagaimana kalau
berat badannya naik?
Oh, No! Jangan...... Selama
ini sudah susah payah mengontrol nafsu makan. Jangan sampai berlebihan. Pun
memutuskan keluar kamar. Dan, Astagfirullah.....
“Assalamualaikum.....” seenaknya muncul.
“Waalaikumsalam, kamu koq di sini? Jangan-jangan....” berprasangka
buruk, mungkinkah dimatai-matai?
“Eh, tunggu dulu! Jangan berpikir yang tidak-tidak. Aku hanya ingin
ngajak kamu makan malam,” Rian tersenyum.
Masya Allah. Bukankah hal ini yang ditunggu-tunggu. Tapi kenapa
lagi tiba-tiba?
“Koq melamun, mau tidak atau tidak?”
“Kenapa tiba-tiba? Apa kamu punya maksud buruk terhadapku?”
“Astagfirullah, demi Allah tidak sama sekali. Kalau tidak mau,
tidak usah berpikir macam-macam,” berbalik.
“Maaf-maaf. Aku mau,” menghentikan jalan pemuda di sampingnya.
Rian tersenyum menang. Pun jarak keduanya yang terlentang bak laut
lepas kini seperti pinggiran sungai yang hanya berjarak lima meter. Pun tak
sungkang-sungkang lagi menghabiskan waktu bersama.
Sampai Rian menyampaikan cintanya yang sejak lama. Sebenarnya dulu
tahu tentang hati Yuna.
“Maafkan aku, harusnya aku jujur dari awal bahwa perasaanku sama
terhadapmu.”
Apa? Shock. Hanya saja
perasaan bercampur aduk sekarang. Senang sekaligus kecewa, membuat Yuri ingin
pergi saja. kenapa dibiarkan sendiri menggenggam perasaan? Buru-buru Rian
menahan.
“Maafkan aku. Aku menyukaimu dan ingin menjagamu layaknya kekasih.
Apa yang harus kulakukan supaya kamu percaya?” penuh harap.
Adegan selanjutnya pun menggantikan kecewa dengan kebahagiaan tak
terkira, saat hujan diganti dengan salju. Saat tangis terganti dengan tawa dan
saat kekang tergantikan pertemuan demi pertemuan manis. Cinta yang indah
bersemi dalam ta’aruf sampai halal.
THE END
Tentang Penulis

Memiliki nama lengkap Muhdar
Silang,dengan nama pena Yudha Kidholics, bertempat tinggal di dusun
Parabaya Lapeo, Kec. Campalagian, Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Apabila ingin menghubungi langsung dengan
mengirim email ke: yudhawilliam.william@gmail.com,
no. Hp: 085242100668, atau bisa mengunjungi
blog http://muhdarsilang.blogspot.com
atau http://udhadotme.wordpress.com.
No. Rekening: 5033-01-015906-53-6 atas nama: Tuna, BRI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar