HUJAN
“Terkadang
aku sadar, akan hati yang tidak boleh banyak berharap.”
Perjalana ke pantai dalam rangka acara Thanks to Seniors mengisahkan cerita
indah, bukan hanya mengabrakkan satu sama lain, melainkan ada perasaan
terkhusus yang menguak. Seolah bintang yang selama ini hanya dilihat dari jauh,
perlahan mendekat dengan sendirinya. Mungkin ini yang dinamakan takdir.
Tidak usah tanyakan bagaimana hubungan Irma dan
Ferli, semakin lengket saja seperti perangko. Setiap pulang-pergi kampus,
belajar di perpustakaan, persiapan diri mengikuti kompetisi muslim dan muslimah
kampus bahkan hampir semua kegiatan kampus selalu bersama. Banyak yang mengira
mereka sudah jadian, padahal mereka masih status sahabat.
Irma sendiri semakin hari semakin kesemsem, perhatian
yang terulur untuknya dari pemuda pujaan mengalir tiada henti, bagaikan air di
derasnya sungai. Cinta pun semakin menetes bahkan melaut. Benaknya penasaran,
apakah ada perasaan sama? Ataukah hanya sebatas teman yang menurut Kirana itu
mustahil.
“Dia itu suka kamu. Sekarang, dia hanya butuh waktu
untuk mengungkapkannya.”
Perkataan yang menguap di bibir sahabatnya memberi
harapan. Sampai hari di mana air langit turun, membuat impiannya buyar hanya
dengan sentuhan mata yang tajam.
Seperti biasanya, kalau bukan Ferli yang menunggunya
di depan kelas, pasti dia yang akan menghampirinya di kelas pemuda itu. Hanya
saja berbeda kali ini, tidak ada tanda-tanda kemunculannya, bahkan meskipun
hanya batang hidungnya. Mencoba menghubungi handpohone via line pun tak ada respon.
“Kamu sebenarnya di mana sih?” pekiknya dalam batin.
Satu-satunya cara adalah bertanya kepada salah satu
teman kelasnya.
“Ferli di mana ya? Koq aku dari tadi tidak lihat.”
“Tadi dia ke luar duluan dengan seorang gadis.”
Terciduk. Hatinya tidak enak. Entah siapa gadis yang
sedang bersama Ferli sekarang dan entah di mana? Hah. Pertanyaan itu membuntut
di benaknya.
Benar saja, setelahnya retina mata Irma menyentuh
lantai dasar Departemen Pendidikan Biologi, Ferli sedang berbicara serius
kepada Luna. Buru-buru ia mengambil langkah seribu setelah sebelumnya berterima
kasih kepada teman kelas pemuda yang dicarinya.
“Aku sebenarnya cinta sama kamu, maafkan aku selama
ini tidak berani mengungkapnya. Namun aku punya alasan, aku hanya takut kamu
akan menolakku.”
Kalimat pengakuan Ferli kepada Luna.
Tiba-tiba kakinya seakan lumpuh, sakit dan ingin
saja tumbang. Muncul kaca-kaca di wajah ayunya. Hah. Ia menahan tangis yang
ingin membuncah. Jangan sampai jatuh apalagi banjir pasti akan menjadi bahan
perbincangan. Di balik tiang gedung, Irma mengatur nafas meskipun pada akhirnya
tidak mampu. Bendungan air mata itu jatuh bukan hanya di pipinya, juga di
jiwanya.
Lebih baik pergi.
Dan, brum. Kakinya menabrak pot, membuat Ferli
tersadar kehadirannya.
“Irma,” matanya melotot seolah tak percaya, ia
mengangkat bahu dan menghampirinya.
Irma berlari menjauh. Ia tidak boleh nampak lemah,
apalagi kalau dikira cinta sepihak. Ia harus nampak kuat. Ya, gadis tegar.
“Irma... Irma....” teriak Ferli dari gedung atas
fakutasnya.
“Irma kamu di mana? Maafkan aku,” tambahnya.
Tetap saja tak membuat rasa sakitnya secepat itu
pudar dan mau keluar dari persembunyiannya.
Hujan datang, suara bising menghalangi suara Ferli
yang mencarinya.
Sakit
luar biasa, ketika merasakan cinta yang dimiliki adalah sepihak.
Namun,
ketika cinta mulai bicara maka sudah kepastian hatinya seutuhnya telah
diberikan. Tak pandang sepihak atau terbalaskan. Cinta adalah anugerah hati
yang tak pernah diduga.
Pict source: gambarzoom.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar