post-thumbnail{float:left;margin-right:20px}

YUDHA

Jumat, 01 Desember 2017

Special Love (12)



HUJAN
“Terkadang aku sadar, akan hati yang tidak boleh banyak berharap.”


Perjalana ke pantai dalam rangka acara Thanks to Seniors mengisahkan cerita indah, bukan hanya mengabrakkan satu sama lain, melainkan ada perasaan terkhusus yang menguak. Seolah bintang yang selama ini hanya dilihat dari jauh, perlahan mendekat dengan sendirinya. Mungkin ini yang dinamakan takdir.

Tidak usah tanyakan bagaimana hubungan Irma dan Ferli, semakin lengket saja seperti perangko. Setiap pulang-pergi kampus, belajar di perpustakaan, persiapan diri mengikuti kompetisi muslim dan muslimah kampus bahkan hampir semua kegiatan kampus selalu bersama. Banyak yang mengira mereka sudah jadian, padahal mereka masih status sahabat.
Irma sendiri semakin hari semakin kesemsem, perhatian yang terulur untuknya dari pemuda pujaan mengalir tiada henti, bagaikan air di derasnya sungai. Cinta pun semakin menetes bahkan melaut. Benaknya penasaran, apakah ada perasaan sama? Ataukah hanya sebatas teman yang menurut Kirana itu mustahil.
“Dia itu suka kamu. Sekarang, dia hanya butuh waktu untuk mengungkapkannya.”
Perkataan yang menguap di bibir sahabatnya memberi harapan. Sampai hari di mana air langit turun, membuat impiannya buyar hanya dengan sentuhan mata yang tajam.
Seperti biasanya, kalau bukan Ferli yang menunggunya di depan kelas, pasti dia yang akan menghampirinya di kelas pemuda itu. Hanya saja berbeda kali ini, tidak ada tanda-tanda kemunculannya, bahkan meskipun hanya batang hidungnya. Mencoba menghubungi handpohone via line pun tak ada respon.
“Kamu sebenarnya di mana sih?” pekiknya dalam batin.
Satu-satunya cara adalah bertanya kepada salah satu teman kelasnya.
“Ferli di mana ya? Koq aku dari tadi tidak lihat.”
“Tadi dia ke luar duluan dengan seorang gadis.”
Terciduk. Hatinya tidak enak. Entah siapa gadis yang sedang bersama Ferli sekarang dan entah di mana? Hah. Pertanyaan itu membuntut di benaknya.
Benar saja, setelahnya retina mata Irma menyentuh lantai dasar Departemen Pendidikan Biologi, Ferli sedang berbicara serius kepada Luna. Buru-buru ia mengambil langkah seribu setelah sebelumnya berterima kasih kepada teman kelas pemuda yang dicarinya.
“Aku sebenarnya cinta sama kamu, maafkan aku selama ini tidak berani mengungkapnya. Namun aku punya alasan, aku hanya takut kamu akan menolakku.”
Kalimat pengakuan Ferli kepada Luna.
Tiba-tiba kakinya seakan lumpuh, sakit dan ingin saja tumbang. Muncul kaca-kaca di wajah ayunya. Hah. Ia menahan tangis yang ingin membuncah. Jangan sampai jatuh apalagi banjir pasti akan menjadi bahan perbincangan. Di balik tiang gedung, Irma mengatur nafas meskipun pada akhirnya tidak mampu. Bendungan air mata itu jatuh bukan hanya di pipinya, juga di jiwanya.
Lebih baik pergi.
Dan, brum. Kakinya menabrak pot, membuat Ferli tersadar kehadirannya.
“Irma,” matanya melotot seolah tak percaya, ia mengangkat bahu dan menghampirinya.
Irma berlari menjauh. Ia tidak boleh nampak lemah, apalagi kalau dikira cinta sepihak. Ia harus nampak kuat. Ya, gadis tegar.
“Irma... Irma....” teriak Ferli dari gedung atas fakutasnya.
“Irma kamu di mana? Maafkan aku,” tambahnya.
Tetap saja tak membuat rasa sakitnya secepat itu pudar dan mau keluar dari persembunyiannya.
Hujan datang, suara bising menghalangi suara Ferli yang mencarinya.
Sakit luar biasa, ketika merasakan cinta yang dimiliki adalah sepihak.
Namun, ketika cinta mulai bicara maka sudah kepastian hatinya seutuhnya telah diberikan. Tak pandang sepihak atau terbalaskan. Cinta adalah anugerah hati yang tak pernah diduga.

Pict source: gambarzoom.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar