SEMANGAT
“Sebagian
besar senyawa suka cita itu dari senyummu”

Latihan keras bukan berarti sangat mengharapkan
juara, pun tidak akan menerima kalau sampai tak mendapatkannya. Tidak begitu,
memang tidak bisa bohong ingin mendapatkan kemenangan di antaranya banyaknya
peserta dari masing-masing program studi di masing-masing departemen di Kampus
Hasan.
Berharap menampilkan yang terbaik dan tidak membuat kecewa para
pendukung, hanya itu.
Latihan pun dilakukan sepadat mungkin, namun tetap
nomor satu ikut kelas dan perhatian Ferli yang tak henti terulur. Seolah-olah
dia yang sangat mengingkan Irma tampil terbaik, namun tak perlu menjadikan
kompetisi sebagai beban, justru memacu diri.
“Ini ni, aku tadi beliin kamu nasi kuning kesukaan
kamu. Ada telur masaknya,” katanya sambil memberikan bungkusan berwarna
cokelat.
“Sebenarnya kamu tidak perlu repot-repot sih. Tapi
ini dua bungkus kan?” alis Irma terangkat.
Ferli mengernyit.
“Kamu jangan salah paham ya, satunya lagi untuk
Karin yang tadi ke toilet sebentar.”
“Oh, tapi aku memang beli dua sih. Aku dan kamu.”
Aku
dan kamu. Lagi-lagi perasaan salah tingkah itu nyaris
melayangkan ke langit ke tujuh. Ah, jangan sampai terlihat jelas di dahinya.
Irma cepat-cepat menetralisir.
“Nanti aku bagi dua aja dengan Karin,” tersenyum
tipis.
“Tidak usah, mending Karin makan sendiri dan kita
yang makan sepiring berdua.”
Sepiring
berdua. Oh my God, aliran darahnya semakin deras saja.
Apakah mungkin usahanya kemarin-kemarin untuk tidak kikuk dan keluh ketika
berada dalam suasana romantis hilang begitu saja saat digoda lagi. Tidak boleh.
Batin Irma.
“Apaan sih,” memalingkan pandangan sambil
mengenduskan nafas.
“Please berhenti deh romantisan! Jangan selalu
membuat aku jadi obat nyamuk,” Karin datang sekonyong-konyongnya memberi
komentar.
“Ini lagi, juga aneh,” kemudian menyembunyikan
kemerahan wajahnya dengan menutup muka.
Ferdi dan Karin hanya saling melempat tawa ringan.
Hahahahahaha......
***
Usaha dan kerja keras tidak akan pernah menghianati
hasil. Percaya pula bahwa apapun hasilnya yang penting sudah melakukan yang
terbaik. Kalimat-kalimat itu selalu terngiang di telinganya, yang didapatkan
dari ibunya via telepon, dari sahabat setianya, Karin dan tak lupa seorang
pemuda yang menempati relung hatinya, Ferli.
Lantas perasaan deg-deg-gan dan
gemetar seolah menghantui setelah berada di kursi panas, menunggu giliran
tampil di depan semuanya. Sebelumnya santai-santai saja ketika di awal penampil
dengan semua peserta, namun kini.....
“Kamu deg-deg-gan ya?” Ferli membaca
keadaannya dengan mata teduh.
Irma mengangguk pelan.
“Sekarang ikuti aku. Tarik nafas
pelan-pelan, kemudian buang juga dengan pelan. Lakukan beberapa kali,” intruksi
Ferli.
Serta merta Irma mengikut.
“Aku kasih tahu juga nih, jangan
tatap mata penonton saat kamu tampil nanti dan anggap mereka itu seperti semut
atau apapun. Anggap mereka tidak ada. Bahkan dewan juri sekalipun,” sambil
mengangguk.
“Satu lagi, eh. Apapun dan
bagaimanapun kamu tampil, bagiku kamu sudah menampilkan yang terbaik. Aku tidak
akan perduli apapun hasilnya, yang aku tahu kamu sudah melakukan yang terbaik,
saat latihan maupun sampai kamu tampil nanti.”
Dan, semangat itu timbur membuat
ada tetesan bening mengalir di pipinya.
“Terima kasih.”
Ferli hanya tersenyum dan memberikan
sapu tangan untuk menyeka air mata gadis yang begitu dicintainya.
Pict source: gambarzoom.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar