KASIH
SAYANG
“Aku
pernah mendapatkanya, darinya yang tulus menyayangiku”
Malam
semakin larut. Jam dinding di tangannya sudah menunjuk ke angka 12. Harusnya ia
tertidur beberapa jam kemudian bangun lagi untuk sholat lail. Pekiknya dalam batin. Beberapa kali berusaha memejamkan mata
tetapi beberapa kali juga gagal dan terbangun lagi.
Allah.
Apa yang harus aku lakukan? Ia bangkit menuju
jendela kamarnya. Nampak bintang menghiasi langit malam. Ia mendengus nafas
panjang. Ada sedikit kelegahan ketika melihat langit lepas.
Kurang lebih lima menit seperti itu sampai matanya
menyentuh foto yang berbingkai bintang di dinding kamarnya. Sosok wanita
parubaya yang menyelematkannya di kebakaran setahun silam.
Wanita memang mempunyai kekuatan misterius yang
tidak bisa ditebak. Kalau sudah bertekad maka akan dilakukan, sekalipun itu
membahayakan nyawanya sendiri.
Dian, dengan berlari terbirit-birit tanpa perduli
panasnya api berkobar ia merengkuh gadis yang sedang pingsan. Ia membopong sekuat
tenaga sampai ia bisa terlepas dari hotel yang hancur dan tinggal
keping-keping. Dirawatnya gadis yang ditolong, sampai ia kembali sehat dan
bahkan melupakan masa lalunya.
Hanya satu yang Suci sesali, belum bisa membalas
jasa-jasa Ibu Dian, ibunya sampai ia dipanggil oleh Tuhan. Dan, kembali larut
dalam kesedihan pun bersama doa yang menyemai.
“Ya Allah, tolong berikan tempat terindah untuknya
di pangkuan-Mu. Hanya itu yang hamba minta.”
Waktu terulur. Akhirnya Suci bisa tertidur dua jam
lebih sampai ia terbangun dan menunaikan sholat tahajjud.
***
“Assalamualaikum,”
suara seseorang di balik pintu rumahnya di pagi buta.
Suci bangkit membukakan pintu.
“Waalaikumsalam,” ucapnya dan kaget.
Apa
yang dilakukan Ferdi hari libur di rumahnya? Dengan pakaian bak supir. Batin
Suci.
“Boleh tidak aku masuk?” Ferdi tersenyum.
Suci hanya mengangguk dan beberapa menit kemudian bi
Ija datang menjelaskan bahwa Ferdi adalah supir baru di rumahnya.
“Apa?” Suci shock.
“Bagaimana mungkin? Kamu sedang bercanda kan?”
katanya sambil terus menggelengkan kepala.
“Aku serius. Mulai hari ini, aku akan jadi supirmu
yang siap mengantarmu ke manapun,” katanya tegas.
Bagaimana
mungkin seperti ini? Apa yang harus aku lakukan? Bukankah dia anak orang kaya?
Lantas kenapa ia harus bekerja? Bukankah orang tuanya akan marah kalau ia tahu
ia bekerja? Dan pertanyaan-pertanyaan tertimbung di
benaknya.
“Oh ya, kamu mau ke mana hari ini? Aku siap
antarin?”
Ferdi begitu siap di hari pertamanya kerja.
Sambil mendengus nafas berat, mau tak mau kali ini
ia harus diantar segera. Ia sudah berjanji dengan anak-anak di panti asuhan
yang sering dikunjunginya.
“Baiklah, aku mau sekarang ke panti asuhan cahaya
melati.”
“Okay,” kemudian bergegas dengan langkah semangat.
Kikuk. Sungguh dirasakan dan tidak berani memulai
pembicaraan duluan selama di dalam mobil. Ferdi juga merasakan hal yang sama,
hanya saja semangatnya sangat fantastis, selalu muncul senyum di parasnya yang
rupawan. Saking semangatnya sampai-sampai lupa sarapan pagi dan sekarang
perutnya berbunyi, mengundang tawa Suci.
Allah,
kenapa bodoh sekali aku di kala itu? Tidak bisa melihat kecantikan di wajahnya?
Harusnya menjaga dan menyayanginya. Penyesalan yang masih
terngiang-ngiang di telinganya.
“Ini, aku tadi bawa roti. Kamu makan ya?” kata Suci
dengan pandangan teduh.
“Makasih ya,” membalas sambil tersenyum maut.
Tuhan.
Semakin ingin menjauh, semakin mendekat pula perasaan itu. Mungkinkah ini
pertanda akan ada.... Ah, Suci menggelengkan kepala yang
hanya dilihat Ferdi dari kaca spion.
Pict source: imgrug.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar