post-thumbnail{float:left;margin-right:20px}

YUDHA

Kamis, 28 Desember 2017

Baiduri (20)

KASIH SAYANG
“Aku pernah mendapatkanya, darinya yang tulus menyayangiku”


Malam semakin larut. Jam dinding di tangannya sudah menunjuk ke angka 12. Harusnya ia tertidur beberapa jam kemudian bangun lagi untuk sholat lail. Pekiknya dalam batin. Beberapa kali berusaha memejamkan mata tetapi beberapa kali juga gagal dan terbangun lagi.
Allah. Apa yang harus aku lakukan? Ia bangkit menuju jendela kamarnya. Nampak bintang menghiasi langit malam. Ia mendengus nafas panjang. Ada sedikit kelegahan ketika melihat langit lepas.

Kurang lebih lima menit seperti itu sampai matanya menyentuh foto yang berbingkai bintang di dinding kamarnya. Sosok wanita parubaya yang menyelematkannya di kebakaran setahun silam.
Wanita memang mempunyai kekuatan misterius yang tidak bisa ditebak. Kalau sudah bertekad maka akan dilakukan, sekalipun itu membahayakan nyawanya sendiri.
Dian, dengan berlari terbirit-birit tanpa perduli panasnya api berkobar ia merengkuh gadis yang sedang pingsan. Ia membopong sekuat tenaga sampai ia bisa terlepas dari hotel yang hancur dan tinggal keping-keping. Dirawatnya gadis yang ditolong, sampai ia kembali sehat dan bahkan melupakan masa lalunya.
Hanya satu yang Suci sesali, belum bisa membalas jasa-jasa Ibu Dian, ibunya sampai ia dipanggil oleh Tuhan. Dan, kembali larut dalam kesedihan pun bersama doa yang menyemai.
“Ya Allah, tolong berikan tempat terindah untuknya di pangkuan-Mu. Hanya itu yang hamba minta.”
Waktu terulur. Akhirnya Suci bisa tertidur dua jam lebih sampai ia terbangun dan menunaikan sholat tahajjud.
***
“Assalamualaikum,” suara seseorang di balik pintu rumahnya di pagi buta.
Suci bangkit membukakan pintu.
“Waalaikumsalam,” ucapnya dan kaget.
Apa yang dilakukan Ferdi hari libur di rumahnya? Dengan pakaian bak supir. Batin Suci.
“Boleh tidak aku masuk?” Ferdi tersenyum.
Suci hanya mengangguk dan beberapa menit kemudian bi Ija datang menjelaskan bahwa Ferdi adalah supir baru di rumahnya.
“Apa?” Suci shock.
“Bagaimana mungkin? Kamu sedang bercanda kan?” katanya sambil terus menggelengkan kepala.
“Aku serius. Mulai hari ini, aku akan jadi supirmu yang siap mengantarmu ke manapun,” katanya tegas.
Bagaimana mungkin seperti ini? Apa yang harus aku lakukan? Bukankah dia anak orang kaya? Lantas kenapa ia harus bekerja? Bukankah orang tuanya akan marah kalau ia tahu ia bekerja? Dan pertanyaan-pertanyaan tertimbung di benaknya.
“Oh ya, kamu mau ke mana hari ini? Aku siap antarin?”
Ferdi begitu siap di hari pertamanya kerja.
Sambil mendengus nafas berat, mau tak mau kali ini ia harus diantar segera. Ia sudah berjanji dengan anak-anak di panti asuhan yang sering dikunjunginya.
“Baiklah, aku mau sekarang ke panti asuhan cahaya melati.”
“Okay,” kemudian bergegas dengan langkah semangat.
Kikuk. Sungguh dirasakan dan tidak berani memulai pembicaraan duluan selama di dalam mobil. Ferdi juga merasakan hal yang sama, hanya saja semangatnya sangat fantastis, selalu muncul senyum di parasnya yang rupawan. Saking semangatnya sampai-sampai lupa sarapan pagi dan sekarang perutnya berbunyi, mengundang tawa Suci.
Allah, kenapa bodoh sekali aku di kala itu? Tidak bisa melihat kecantikan di wajahnya? Harusnya menjaga dan menyayanginya. Penyesalan yang masih terngiang-ngiang di telinganya.
“Ini, aku tadi bawa roti. Kamu makan ya?” kata Suci dengan pandangan teduh.
“Makasih ya,” membalas sambil tersenyum maut.
Tuhan. Semakin ingin menjauh, semakin mendekat pula perasaan itu. Mungkinkah ini pertanda akan ada.... Ah, Suci menggelengkan kepala yang hanya dilihat Ferdi dari kaca spion.

Pict source: imgrug.org


Tidak ada komentar:

Posting Komentar