“Tak Serupa Matahari, tetap Menerangimu sepanjang Hari.
Aku hidup untuk hidupku.”
Keajaiban
waktu.
Hidup
di istana megah, bersama sang pangeran berkuda putih, pangeran impian yang
sampai kapanpun melindungi. Hanya saja berbeda dengan cinderella, tetapi tentang cinta gadis berhijab.
Bahagia,
Yuri terbawa pada alunan mimpi-mimpi berkepanjangan di lelap tidur. Penaka
tidur panjang yang tak pernah merasakan bangun. Kelembutan hidup, kasih sayang
dan memang semuanya didapatkan dengan mudah.
Ayah,
lelaki yang selalu mengabulkan doanya ditambah ibu tak pernah lekang membaca
sendiri apa yang dimau. Tuhan pun sepertinya selalu merestui, mungkin karena
sifat buruk yang enggan tinggal di hati.
“Bagaimana
dengan pasangan hidupmu nanti.............”
Yuri
mendongak, melihat lembut pemilik suara. Sejenak berpikir perjalanan hidupnya
bak putri kerajaan. Tidak akan pacaran sebelum menikah, melainkan datang
dilamar oleh pangeran impian dengan sopan, tidak usah rupawan di wajah yang
penting hati dan ikrar menjadi imam sejati. Ah, sungguh indah.
“Koq
jadi bengong sih?”
Sudah
menemukan jawaban ramah, Yuri menyipitkan mata. Pandangannya berserobok dengan
sepasang mata milik sahabatnya, Rini. Kemudian merekahkan senyuman, wajah
ayunya selalu tersampul riang.
“Insya
Allah kalau Tuhan membolehkan aku akan berjodoh dengan orang yang baik, yang
pastinya muslim dan bisa menjadi imam baik di masa depan.”
Tidak
baik kalau terlalu bermimpi tinggi, sampai-sampai tak bisa mengartikan hidup
sesungguhnya. Tak ada kehidupan yang selalu mulus, senang akan selalu
bergadengan kesedihan.
Ada waktunya di mana kesedihan itu
menghadang, meskipun tak ada persiapan sama sekali. Hanya Tuhan yang tahu apa
skenario hidup nanti. Mungkin saja
nampak hidup bahagia, harta melimpah ruah hari ini, besok, lusa atau kapanpun
saja, semua itu bisa enyah dari kehidupan kita.
Yuri bukan pula sosok kufur nikmat.
Tidak tahu bahwa apa yang dimiliki asalnya dari Tuhan. Bahkan nafas yang
dihirup pun dari-Nya, sama sekali bukan layak disebut manusia jika tak tahu itu
semua. Yuri gadis yang suka sekali mengenakan hijab, tidak masalah baginya jika
diantara kelima sahabatnya hanya dirinya yang mencoba melakukan kewajiban
seorang muslimah. Sholatnya jangan ditanya, selalu mengingatkan pula
orang-orang yang disayanginya.
Ah, hanya satu kekurangannya,
hidupnya selalu ingin seperti dongeng bahagia, tanpa merenungi sebelum seorang
putri di dongeng itu bahagia, ada penderitaan yang harus dihadapi silih
berganti, termasuk masalah hati.
***
Kepulan
debu dari motor ninja biru yang memutar arah. Meraung. Suasana kisruh. Sosok
siswa baru itu membuat sensasi di pagi hari. Banyak yang penasaran, dari style rapi, jangkung dan badan yang
tidak terlalu kurus dan tidak pula gendut itu sepertinya elok dipandang mata,
padahal belum juga membuka helmnya. Termasuk Yuri sekalipun, ingin sekali tahu
sosok pemuda itu.
Untung
saja penasaran itu tak bertahan lama, hingga sesaat dan semua mata seolah
terperanjat dalam keindahan ciptaan Tuhan. Subuhanallah.
Sungguh rupawan pemuda itu. Banyak sekali yang melototinya.
Qidra
tampan. Apalagi lesung pipinya yang manis, oh, seperti tersihir untuk selalu
menatap. Buru-buru istigfhar, bukan
muhrimnya. Yuri tidak habis pikir bagaimana bisa ia terperanjat pada pandangan
pertama seperti ini, padahal banyak sudah laki-laki yang ingin mendekat, hanya
saja ditolak begitu saja tanpa memberikan kesempatan. Semoga hanya hari ini,
esok perasaan semacam itu akan enyah, bahkan tanpa ada sepercik pikiran
tentangnya. Berharap dalam hati.
“Assalamualaikum....”
merekah senyuman.
Oh, seperti ingin pingsan saja. Masih banyak kursi kosong, tapi kenapa memilih duduk di
depan Yuri, membuatnya makannya menjadi tak konsentrasi. Gila.
“Waalaikumsalam.....”
membalas sunggingan menawan.
Dan,
masih beruntung bisa menyembunyikan aneka perasaan yang terbit ketika dekat
dengannya. Tapi tidak mudah, mengatur ekspresi wajah saat dia menatap dengan
teduhan lembut. Sambil terus berusaha menundung, jangan sampai saling menantang
mata. Walaupun dari gerak-geriknya sendiri seperti juga tahu syaria berhubungan
antar lawan jenis. Sosoknya begitu mengagumkan. Sangat jarang ditemui pemuda
seperti ini, langka dan bagaikan bunga yang tersiram air segar, perlahan
memekarkan bunga cantik.
“Oh,
ya nama kamu siapa? Aku Qidra Sitohang.”
“Aku,
Yuri Anggraini.”
Sebenarnya
ingin bertanya banyak hal. Apalagi senyuman mautnya seolah ramah, membuat siapa
saja yang bercengkarama dengannya senang dan sampai terlupa waktu. Dan,
kedekatan mulai menghelai di setiap pemuda impiannya merasa kesulitan dalam
pelajaran. Sigap, cepat dan tepat mencoba membantu. Tapi dengan cepat sisi hati
Qidra membaca keadaan, sepertinya ada rasa lain selain menolong. Perasaan
selain seorang teman, bahkan lebih daripada teman.
Tak
cukup lama memainkan waktu. Pemuda itu benar-benar menaklukkan gadis pintar dan
sholehah itu, banyak sekali gadis atau pemuda iri kepada keduanya. Selama ini
banyak yang ingin mendekati mereka, nyatanya dipertemukan dengan takdirnya
sendiri.
Hari-hari
berlalu, dan Yuri masih saja bahagia dengan pemilik hati. Dongeng dalam
layangan pikiran masih terus beterbangan di langit, sampai akhirnya muncul
layangan baru dan membuat layangannya putus. Hah. Akhirnya menyadari di mana
ada limbung kebahagiaan, di saat itu pula akan ada kesedihan mengintai.
Mengerti dan sadar. Mulai membaca lagi situasi dalam dongeng yang disukainya. Benar
saja ditemukan penderitaan.
Semula
ingin melabrak Qidra. Mencaci maki, memukul, bahkan menamparnya kalau perlu.
Sudah menyakit hati, mencabik-cabiknya dan membuatnya berdarah. Tapi dia
seorang gadis yang punya akal pikiran. Dan sejak kecil Yuri tahu bagaimana
harus menghormati orang lain sesuai dengan yang diajarkan kedua orang tuanya
selama ini.
Menikmati
saja kesedihan.
Buat apa diterbangkan ke langit tujuh, walau pada
akhirnya dihempaskan sampai ke dasar bumi. Terlalu dalam menyakiti.
Benar-benar
tersadar, roda kehidupan ini berputar. Tak selamanya hanya muara bahagia, pasti
disitu ada gelembungan kesedihan, layaknya siang dan malam, panas dan dingin.
Sebuah pelajaran berharga dan tidak mesti disesali, toh mencintainya adalah
pilihannya sendiri. Walaupun tak tahu ada penghianatan setelahnya. Marah dan
menyesal tak akan menyelesaikan masalah. Apapun yang terjadi ke depannya,
hadapi saja dengan senyuman. Bukan pula jerah mencinta, karena ada hal baru
yang diketahui.
“Yang
baik pasti dipertemukan dengan sosok yang baik pula, begitupula sebaiknya.”
***
Yuri
ingat, betapa seminggu setelah berpisah sulit mengatur langkah dan membingkis
senyuman palsu. Berat. Tak seperti matahari yang selalu siap menyinari, bahkan
meski ada waktu dihalau oleh hujan, kesempatan Tuhan diberikan kepadanya tak
akan dibuang begitu saja. selalu siap menghindupkan menyinari makhluk di muka
bumi.
Ya,
Yuri ingin seperti matahari. Menebarkan cahaya kebaikan meskipun di depan ada
banyak cerita silih berganti datang. Dan, pada waktunya akan indah dengan
sendirinya. Dipertemukan sosok pemuda pilihan orang tua, dari keluarga yang
sudah diketahui asal-usulnya dan paling penting muslim, yang tak bisa
ditimbang-timbang lagi.
Irhas,
nama pemuda itu. Hubungan yang diakui syar’i pun terlaksana, pacaran setelah
menikah. Sungguh indah kehidupan.
Selesai
Profil Penulis:
Muhdar
Silang, nama pena Yudha Kidholics.
Alamat: Campalagian, Polman, Sulawesi Barat.
Sudah
pernah menulis novel di salah satu
penerbit Indie, yakni Chemistry Cinta Kimia dan
Novel Islami Penyambung Nyawa (Penerbit
Aria Mandiri). Beberapa karya puisi dan cerpen yang sudah pula dibukukan. Email:
yudhawilliam.william@gmail.com, no. Hp: 085242752697.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar