post-thumbnail{float:left;margin-right:20px}

YUDHA

Sabtu, 09 Desember 2017

Surga Hati




“Tak Serupa Matahari, tetap Menerangimu sepanjang Hari.
Aku hidup untuk hidupku.”

Keajaiban waktu.
Hidup di istana megah, bersama sang pangeran berkuda putih, pangeran impian yang sampai kapanpun melindungi. Hanya saja berbeda dengan cinderella, tetapi tentang cinta gadis berhijab.

Bahagia, Yuri terbawa pada alunan mimpi-mimpi berkepanjangan di lelap tidur. Penaka tidur panjang yang tak pernah merasakan bangun. Kelembutan hidup, kasih sayang dan memang semuanya didapatkan dengan mudah.
Ayah, lelaki yang selalu mengabulkan doanya ditambah ibu tak pernah lekang membaca sendiri apa yang dimau. Tuhan pun sepertinya selalu merestui, mungkin karena sifat buruk yang enggan tinggal di hati.
“Bagaimana dengan pasangan hidupmu nanti.............”
Yuri mendongak, melihat lembut pemilik suara. Sejenak berpikir perjalanan hidupnya bak putri kerajaan. Tidak akan pacaran sebelum menikah, melainkan datang dilamar oleh pangeran impian dengan sopan, tidak usah rupawan di wajah yang penting hati dan ikrar menjadi imam sejati. Ah, sungguh indah.
“Koq jadi bengong sih?”
Sudah menemukan jawaban ramah, Yuri menyipitkan mata. Pandangannya berserobok dengan sepasang mata milik sahabatnya, Rini. Kemudian merekahkan senyuman, wajah ayunya selalu tersampul riang.
“Insya Allah kalau Tuhan membolehkan aku akan berjodoh dengan orang yang baik, yang pastinya muslim dan bisa menjadi imam baik di masa depan.”
Tidak baik kalau terlalu bermimpi tinggi, sampai-sampai tak bisa mengartikan hidup sesungguhnya. Tak ada kehidupan yang selalu mulus, senang akan selalu bergadengan kesedihan.
            Ada waktunya di mana kesedihan itu menghadang, meskipun tak ada persiapan sama sekali. Hanya Tuhan yang tahu apa skenario hidup  nanti. Mungkin saja nampak hidup bahagia, harta melimpah ruah hari ini, besok, lusa atau kapanpun saja, semua itu bisa enyah dari kehidupan kita.
            Yuri bukan pula sosok kufur nikmat. Tidak tahu bahwa apa yang dimiliki asalnya dari Tuhan. Bahkan nafas yang dihirup pun dari-Nya, sama sekali bukan layak disebut manusia jika tak tahu itu semua. Yuri gadis yang suka sekali mengenakan hijab, tidak masalah baginya jika diantara kelima sahabatnya hanya dirinya yang mencoba melakukan kewajiban seorang muslimah. Sholatnya jangan ditanya, selalu mengingatkan pula orang-orang yang disayanginya.
            Ah, hanya satu kekurangannya, hidupnya selalu ingin seperti dongeng bahagia, tanpa merenungi sebelum seorang putri di dongeng itu bahagia, ada penderitaan yang harus dihadapi silih berganti, termasuk masalah hati.
***
Kepulan debu dari motor ninja biru yang memutar arah. Meraung. Suasana kisruh. Sosok siswa baru itu membuat sensasi di pagi hari. Banyak yang penasaran, dari style rapi, jangkung dan badan yang tidak terlalu kurus dan tidak pula gendut itu sepertinya elok dipandang mata, padahal belum juga membuka helmnya. Termasuk Yuri sekalipun, ingin sekali tahu sosok pemuda itu.
Untung saja penasaran itu tak bertahan lama, hingga sesaat dan semua mata seolah terperanjat dalam keindahan ciptaan Tuhan. Subuhanallah. Sungguh rupawan pemuda itu. Banyak sekali yang melototinya.
Qidra tampan. Apalagi lesung pipinya yang manis, oh, seperti tersihir untuk selalu menatap. Buru-buru istigfhar, bukan muhrimnya. Yuri tidak habis pikir bagaimana bisa ia terperanjat pada pandangan pertama seperti ini, padahal banyak sudah laki-laki yang ingin mendekat, hanya saja ditolak begitu saja tanpa memberikan kesempatan. Semoga hanya hari ini, esok perasaan semacam itu akan enyah, bahkan tanpa ada sepercik pikiran tentangnya. Berharap dalam hati.
“Assalamualaikum....” merekah senyuman.
Oh, seperti ingin pingsan saja. Masih banyak kursi kosong, tapi kenapa memilih duduk di depan Yuri, membuatnya makannya menjadi tak konsentrasi. Gila.
“Waalaikumsalam.....” membalas sunggingan menawan.
Dan, masih beruntung bisa menyembunyikan aneka perasaan yang terbit ketika dekat dengannya. Tapi tidak mudah, mengatur ekspresi wajah saat dia menatap dengan teduhan lembut. Sambil terus berusaha menundung, jangan sampai saling menantang mata. Walaupun dari gerak-geriknya sendiri seperti juga tahu syaria berhubungan antar lawan jenis. Sosoknya begitu mengagumkan. Sangat jarang ditemui pemuda seperti ini, langka dan bagaikan bunga yang tersiram air segar, perlahan memekarkan bunga cantik.
“Oh, ya nama kamu siapa? Aku Qidra Sitohang.”
“Aku, Yuri Anggraini.”
Sebenarnya ingin bertanya banyak hal. Apalagi senyuman mautnya seolah ramah, membuat siapa saja yang bercengkarama dengannya senang dan sampai terlupa waktu. Dan, kedekatan mulai menghelai di setiap pemuda impiannya merasa kesulitan dalam pelajaran. Sigap, cepat dan tepat mencoba membantu. Tapi dengan cepat sisi hati Qidra membaca keadaan, sepertinya ada rasa lain selain menolong. Perasaan selain seorang teman, bahkan lebih daripada teman.
Tak cukup lama memainkan waktu. Pemuda itu benar-benar menaklukkan gadis pintar dan sholehah itu, banyak sekali gadis atau pemuda iri kepada keduanya. Selama ini banyak yang ingin mendekati mereka, nyatanya dipertemukan dengan takdirnya sendiri.
Hari-hari berlalu, dan Yuri masih saja bahagia dengan pemilik hati. Dongeng dalam layangan pikiran masih terus beterbangan di langit, sampai akhirnya muncul layangan baru dan membuat layangannya putus. Hah. Akhirnya menyadari di mana ada limbung kebahagiaan, di saat itu pula akan ada kesedihan mengintai. Mengerti dan sadar. Mulai membaca lagi situasi dalam dongeng yang disukainya. Benar saja ditemukan penderitaan.
Semula ingin melabrak Qidra. Mencaci maki, memukul, bahkan menamparnya kalau perlu. Sudah menyakit hati, mencabik-cabiknya dan membuatnya berdarah. Tapi dia seorang gadis yang punya akal pikiran. Dan sejak kecil Yuri tahu bagaimana harus menghormati orang lain sesuai dengan yang diajarkan kedua orang tuanya selama ini.
Menikmati saja kesedihan.
Buat apa diterbangkan ke langit tujuh, walau pada akhirnya dihempaskan sampai ke dasar bumi. Terlalu dalam menyakiti.
Benar-benar tersadar, roda kehidupan ini berputar. Tak selamanya hanya muara bahagia, pasti disitu ada gelembungan kesedihan, layaknya siang dan malam, panas dan dingin. Sebuah pelajaran berharga dan tidak mesti disesali, toh mencintainya adalah pilihannya sendiri. Walaupun tak tahu ada penghianatan setelahnya. Marah dan menyesal tak akan menyelesaikan masalah. Apapun yang terjadi ke depannya, hadapi saja dengan senyuman. Bukan pula jerah mencinta, karena ada hal baru yang diketahui.
“Yang baik pasti dipertemukan dengan sosok yang baik pula, begitupula sebaiknya.”
***
Yuri ingat, betapa seminggu setelah berpisah sulit mengatur langkah dan membingkis senyuman palsu. Berat. Tak seperti matahari yang selalu siap menyinari, bahkan meski ada waktu dihalau oleh hujan, kesempatan Tuhan diberikan kepadanya tak akan dibuang begitu saja. selalu siap menghindupkan menyinari makhluk di muka bumi.
Ya, Yuri ingin seperti matahari. Menebarkan cahaya kebaikan meskipun di depan ada banyak cerita silih berganti datang. Dan, pada waktunya akan indah dengan sendirinya. Dipertemukan sosok pemuda pilihan orang tua, dari keluarga yang sudah diketahui asal-usulnya dan paling penting muslim, yang tak bisa ditimbang-timbang lagi.
Irhas, nama pemuda itu. Hubungan yang diakui syar’i pun terlaksana, pacaran setelah menikah. Sungguh indah kehidupan.
Selesai


Profil Penulis:
Muhdar Silang, nama pena Yudha Kidholics. Alamat: Campalagian, Polman, Sulawesi Barat.
Sudah pernah menulis novel di salah satu penerbit Indie, yakni Chemistry Cinta Kimia dan Novel Islami Penyambung Nyawa (Penerbit Aria Mandiri). Beberapa karya puisi dan cerpen yang sudah pula dibukukan. Email: yudhawilliam.william@gmail.com, no. Hp: 085242752697.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar