“Macoa panawarna lembong pole
di sasi, mimbura di naunna lopimu.
Salili tamma’pa sa’bi”
Mirrabung naung di boyang, melamba di lita mapaccinna
Puang. Nandiang urang nandiang iri, masessa batanna mappikkiri namala bandi
siola to mappenaqdingi nyawa.
Gamang,
Yuri terbawa pada suasan hati yang terasa amat manis. Keteduhan mata Asri,
senyuman maut, sikap yang selalu romantis menerka-nerka perasan baru, tak
pernah di rasa sebelumnya. Sittengngangi
kapang pimbue na allo, marasana mata allo mitundang pole di pappparundung na
salili.
“Kandi Yuri....”
Yuri
menyembunyikan muara kebahagiaan, jangan sampai nampak konyol di hadapan pemuda
yang sudah memikat hatinya. Asal tahu saja, seperti ingin lompat-lompat takkala
merindu dan sesaat setelahnya Tuhan menakdirkan retina menangkapnya. Penaka
terbang di atas awan.
“Assalamualaikum.....
kenapa cuma bengong?”
Suara
lembut, mana mungkin bisa langsung berpikir normal. Butuh waktu sekitar dua
ratus detik. Dan, dengan cepat menundukkan wajah. Bukan muhrimnya, meskipun
hati suka jangan sampai melanggar hukum syari’at. Ah. Yuri memang bukan juga
gadis biasa.
“He
eh, maaf,” singkat, sambil membingkai senyuman menawan. Sambil kembali
menelusuri gang-gang jalan menuju musholla. Berjalan berisian seperti biasanya.
Hah. Sweet. Banyak yang bilang pasangan serasi, padahal belum ada kejelasan.
Entahlah, mungkin karena tahu kalau pacaran itu hukumnya haram.
Hanya
saja jujur satu sama lain apakah sebuah dosa? Tak ayal, hanya mengakui perasaan
sebenarnya. Bukankah Tuhan mengakui kebenaran dan kejujuran? Dan, sampai kapan
harus menunggu, jangan sampai dia yang mengatakan suka terlebih. Ah. Gila.
Pekik Yuri.
“Koq
cuma bengong dari tadi, padahal aku mau bilang sesuatu,” Asri mencoba
menetralisir suasana kikuk.
Tuhan, apakah sekarang Engkau menjawab doaku barusan?
“Ia,
ucapkan saja,” gadis berhijab itu menerka-nerka.
“Hmmmm.
Aku mau pergi berlayar sebulan dik. Bantu bapak untuk mencari nafkah. Kebetulan
juga lagi libur semester.”
Rondong.
Nyatanya yang diharapkan belum kesampaian.
Oh,
dia akan bertamu mata beberapa hari. Bukan! Bukan tak ingin dia selalu berusaha
mencari rezeki Allah dengan halal, bukan itu yang terpatri dalam pikirannya.
Yuri lebih dulu menemukan batin melepuh jikalau tak memandangnya bahkan
walaupun hanya sedetik dalam sehari. Rautan wajah memendung coba disembunyikan,
dikemas dalam diam. Keteduhan di retinanya bak awan menghalau dari terik
matahari. Hm.... sepasang matanya! Mengapa begitu merusuk di jantung hati. Saat
berbicara dihadapan ombak dan karang. Seperti hujan tebal membasahi, pasti akan
kuyub jua.
Sesekali
mendengarkan kerasnya ombak menghempas karang. Mungkin seperti itulah rindunya.
Biar saja angin membisikan padanya? Apalagi ketika kuningnya dunia mulai
nampak. Beberapa menit langkah kakinya sudah berpijak di atas kapal, nampak
mata berbinar-binar. Jangan sampai tumpah ruah. Setiap kali bibir ingin
mengucap sesuatu, sebisa mungkin menahan berat air sungai yang akan mengalir.
Saat menjauh, sepasang matanya mulai menyipit sambil memegang mulutnya dengan
keras. Jangan sampai berteriak. Hah. Terlalu labil.
Tulisa di sanggilangmu, tekenga digulingmu
Asari allo, gisir salili boma.
Bait
lagu mandar, yang menyayat hati. Apalagi rindu yang belum bertaut. Sehari
seperti setahun. Kira-kira adakah perasaan sama dimiliki pemuda bermata teduh
itu? Apakah ada rindu yang terbungkus rapi juga tersemat di batinnya? Dan,
melayangkan kenangan indah bersama dan kembali ingin diukir jika berjumpa?
Pertanyaan yang berkelindan. Yuri sangat ingin tahu. Apakah kalau ia menyatakan
hasrat relung hati duluan tidak keterlaluan? Oh, tidak. tidak mungkin. Memang
jaman emansipasi wanita, tak ada
salahnya jika jujur duluan. Hanya saja hati tak mengenakan, meskipun hati pula
yang memilih.
***
Ketika
matahari melintar di garis khatulistiwa beberapa kali. Tak pernah terbersit ide
mengatakan duluan, meskipun pada akhirnya menyesal.
“Hi,
salam kenal. Kamu temannya Yuri kan?”
“Ia,
aku Äsri.”
“Aku
Melly, kakaknya Yuri,” menyunggingkan senyuman menawan.
Kacau.
Sebuah rasa baru bergandengan dengan perasaan bahagia cinta sudah menyipit.
Yuri sesak melihat dari balik gorden dapur.
“Koq
aku baru lihat kamu?” Asri penasaran. Memang sudah pernah diceritakan oleh Yuri
tentang kakaknya itu, hanya saja tak tahu kalau dia memiliki paras wajah
memikat.
“Oh,
aku kuliah di Makassar. Sekarang aku lagi liburan semester,” merekah senyum.
Yuri
terpaku dibalik gorden bercorak bunga-bunga. Ada kemendungan di retina. Hah.
Perasaaan aneh. Sama sekali tidak suka. Jangan sampai berlarut-larut, lagipula
kalau teh yang masih panas di tangannya belum juga diantarkan akan dingin.
Tidak hangat lagi masuk di dalam mulut.
“Silahkan
dinikmati kopinya” Yuri meletakkan segelas teh manis itu di meja, tepat
dihadapan kakak dan Asri. Hanya menoleh sebentar dengan senyuman. Setelah itu
keduanya seolah tak merasakan ada kehadirannya.
Yuri
membuka mata lebar-lebar, waktu yang dilalui sangatlah berharga bersama pemuda
hitam manis itu. Kalau ada rasa tertinggal, mungkin hanya sepihak merasakan.
Memang tidak mudah melekaskan, seperti novel favoritnya, Penyambung Nyawa karya Muhdar Silang, yang baru-baru ini terbit.
Tidak mudah melekaskan halaman ke halaman lainnya, tidak kuat terus menerus
mengairkan kebeningan dari hati juga jiwa. Hah. Cinta terlalu rumit. Nyatanya.
Asri.
Terletak pada perasaan yang sama dengan sahabatnya, hanya saja berbeda kepada
pemilik. Asri melululantahkan batinnya di depan Melly. Apakah berarti selama
ini dengan sang adik memang sebatas teman? Tak ada perasaan lebih? Entahlah,
Yuri hanya bisa berkata dan berdoa “Asal dia bahagia.”
***
“Makasih
atas bunga mawarnya,” ucap Melly lembut, menyipitkan mata dengan nada tawa
senang.
Hari-hari
serupa pengembara yang sudah menemukan apa yang dicari. Sudah di ujung kelana.
Tanpa menengok ke esokkannya. Siang selalu berganti malam. Penaka kesedihan
dengan kegembiraan.
Menjelang
siang. Di luar sudah terik. Sudah waktunya makan. Biasanya keluarga Yuri harus
berkumpul di ruang makan. Gemerlap air bening terpasang di wajahnya muncul.
Sudah beberapa hari ini tidak dihubungi, layaknya orang jauh atau bahkan sudah
putus kontak, sekarang tiba-tiba muncul dan bukan untuknya.
Mengurungkan
niat untuk memangil kakaknya makan siang bersama. Lagi-lagi terpaku di balik
gorden, dengan tatapan lepas.
Kembali
ia merapikan hati. tidak ada harapan kepada cinta nelayang itu. salili di asar lalo, mimbura di se’de
lopinna mua karambo ambana’. Ndang toi na’sa’ding. Cinta bertepuk sebelah
tangan. Sebuah kenyataan tentang cinta, ada pahitnya. Sittengang paria. Masse na amme.
Kalau
sudah begini harus apa? Melupakan pun tidak mungkin, semakin berusaha semakin
bertambah rasanya.
Yuri
berharap kebaikan. Bukan, bukan tentang hubungan mereka yang kandas di tengah,
selama keduanya bahagia. Memandang peluh mereka yang duduk di kursi panjang
halaman rumah. Di bawah teduhan pepohonan. Angin semilir pun sama sekali tak
dihiraukan. Seperti tereka ulang kejadian kemarin. Berat. Penaka matahari
menyala terang. Senyum pahit tereka. Sekali lagi, asalkan mereka bahagia. Hanya
jejakan kaki yang terdengar menemani. Perasaan Yuri juga campur aduk. Ada bunyi
kegaduhan. Seperti diguncang gempa.
Yuri
memilih bungkam dalam perasaan.
***
“Aku
mau tanya sesuatu sama kamu Asri, tapi kamu jangan marah ya? Soalnya aku sudah
lama penasaran.”
“Tanya
saja, apasih yang tidak buat kamu,” Asri menjawab pendek. Bukti nyata tak apik.
“Kalau
kamu udah besar nanti, kamu mau kerja apa sih? Apakah jadi Polisi atau Tentara,
atau paling tidak dokter?” mata bulat kakak Yuri itu menyala.
“Aku
mau jadi nelayan,” dengan mantap melanjutkan, “Soalnya aku suka sekali
berlayar, menangkap ikan. Entah mengapa ada perasaan bahagia tak kala berada di
atas perahu, di mana ombak sedang berkejaran, sementara kita sendiri sedang
asyik menangkap ikan,” merekah senyum.
Melly
membalas sunggingan, tapi terasa beda. Membuat cowok di sampingnya memiliki
perasaan tidak enak. Terbukti, hari-hari setelahnya muncul perubahan berarti.
Menghilang sesaat. Pergi tanpa ada sepatah kata. Ah, hubungan macam apa yang
tak dihargai sama sekali. Tak adakah kerinduan tersemai atau kenangan manis
muncul di benak ketika merasakan manisnya cinta pertama.
“Saya
kirakak Melly udah pamit sama kamu. Kalian ketemu kemarin, masa dia tidak
ngomong kalau dia harus pergi Ke Makassar hari ini, soalnya dia sudah mau aktif
kuliah lagi.”
Yuri
tidak mendengar jawaban atau respon apapun dari Asri.
“Kamu
baik-baik saja kan Asri?” seolah mengerti, raut wajah sahabat yang dulunya
menjauh darinya karena cinta sekarang memiliki perasaan buyar.
Lagi-lagi
seutas senyuman pahit.
“Bicara
dong sama aku Asri! Kita kan sudah lama jadi sahabat, seorang sahabat tidak
mungkin acuh ketika melihat sahabatnya sedih,” Yuri memastikan.
Berarti.
Sangat tidak tahu diri. Apalagi sudah membuat kesalahan fatal. Melupakannya
dengan mudah ketika ditimbun aneka perasaan cinta.
“Aku
tidak apa-apa koq Yuri,” berusaha menyembunyikan dengan membentuk garis tipis
di bibir. Menyiratkan ketegasan yang sebenarnya masih bisa terbantahkan.
Setelah hari-hari sebelumnya, penaka kacang lupa kulitnya. Bahkan lupa bahwa
dua haru lalu sempat janjian dengannya, malah langsung mengingkari hanya untuk
bertemu sang kakak.
Asri
mengulurkan tangan, meskipun Yuri hanya menyedekapkan tangan di dadanya. Sangat
beda dengan gadis-gadis yang dikenalnya, termasuk Melly. Kenapa baru menyadari?
Betapa keindahan selama ini telah berada mengelilingi.
Betul
bahwa masih ada rasa yang tersemat untuk dia yang hanya memandang sebelah mata
seorang nelayan. Lamban laun perasaan itu enyah dan lebih terasa sebagai kagum.
Tak ada cinta yang sebentar. Meski sudah disakiti berulang-ulang kaki, hanya
akan ada namanya terukir. Sekali lagi, hubungan memang itu relathionship, tapi tania cinna. Cinna atau cinta adalah kebiasaan,
kebiasaan merindu, menyayangi dan mencintai. Yuri, gadis yang selalu menjadi
sahabat baik, nyatanya mampu mengenalkan perasaan cinta sesungguhnya.
Bodoh!
Barangkali
mata buta sampai-sampai tidak bisa menemukan emas di antara perak-perak yang
bertebaran.
“Kamu
kenapa sih selama ini mau menjadi sahabat aku?”
Suara
Asri lembut, hanya saja pertanyaan aneh. Entah benar-benar sadar, selama ini
yang ada untuknya, senang atau sedih, percaya padanya dalam situasi apapun,
menyemangatinya padahal sedang terjatuh. Itu hanyalah Yuri.
Pemuda
jangkung itu semakin bisa membaca perasaannya. Toh, waktu sudah mengalun cepat.
Cerita dengan kakaknya sudah setengah tahun berlalu. Tidak ada lagi hiruk pikuk
perasaan kepadanya, walau setitik rindu.
Asri
menatap dari area laki-laki di dalam masjid, yang dihijab oleh kain yang
tertiup oleh kipas angin. Terlihat khusyu gadis berhijab itu mengaji. Begitu
tenang setiap ayat Allah yang dilantunkannya.
“Apakah
dia memiliki perasaan sama?”
Bertanya
dalam batin dan mengingat ulang waktu yang terlewat. Yuri memang gadis yang
sangat sulit ditebak, memiliki hati bak berlian, tak ada yang sepertinya mampu
bersahabat dengan laki-laki yang memiliki mimpi menjadi seorang nelayang
sukses. Dia memang beda. Semoga Allah mempertemukan jikalau jodoh menyurati,
kalaupun tak sampai maka jauhkanlah. Pintanya dalam doa.
***
Terdengar
derum ombak berkejaran ke bibir pantai.
Yuri
menatap pemuda di sampingnya. Sosok tak pernah mengeluh akan beratnya
kehidupan. Tidak kebanyakan orang lain, hanya mau enak saja tanpa berpikir
usaha keras tak akan pernah menghianati hasil.
Jauh.
seperti tereka ulang. Tapi ada perbedaan. Keduanya sudah menjadi suami istri
sekarang. Ketika dengan gagah berani, datang bersama kedua orang tuanya
meminang di kediaman rumah Yuri. Larut dalam kebahagiaan. Begitu menerbangkan
ke langit tujuh. Himpitan rasa yang hampir setiap detik menyinggung batin, kini
terlepas erat jua. Melly turut bahagia.
Asri
menghapus air mata sang istri yang meluncur cepat di pipi.
“Aku
tidak akan pergi lama. Insya Allah aku akan kembali dengan cepat,” merekah
senyum.
Yuri
mengangguk pelan.
Tulisa di sanggilangmu. Mua na diang bodi bura manus,
tanda salilimo tu’u.
.................................................................................
Selesai
Tidak ada komentar:
Posting Komentar