post-thumbnail{float:left;margin-right:20px}

YUDHA

Sabtu, 02 Desember 2017

TULISA DI SANGGILANGMU



“Macoa panawarna lembong pole di sasi, mimbura di naunna lopimu.
Salili tamma’pa sa’bi”

Mirrabung naung di boyang, melamba di lita mapaccinna Puang. Nandiang urang nandiang iri, masessa batanna mappikkiri namala bandi siola to mappenaqdingi nyawa.

Gamang, Yuri terbawa pada suasan hati yang terasa amat manis. Keteduhan mata Asri, senyuman maut, sikap yang selalu romantis menerka-nerka perasan baru, tak pernah di rasa sebelumnya. Sittengngangi kapang pimbue na allo, marasana mata allo mitundang pole di pappparundung na salili.
“Kandi Yuri....”
Yuri menyembunyikan muara kebahagiaan, jangan sampai nampak konyol di hadapan pemuda yang sudah memikat hatinya. Asal tahu saja, seperti ingin lompat-lompat takkala merindu dan sesaat setelahnya Tuhan menakdirkan retina menangkapnya. Penaka terbang di atas awan.
“Assalamualaikum..... kenapa cuma bengong?”
Suara lembut, mana mungkin bisa langsung berpikir normal. Butuh waktu sekitar dua ratus detik. Dan, dengan cepat menundukkan wajah. Bukan muhrimnya, meskipun hati suka jangan sampai melanggar hukum syari’at. Ah. Yuri memang bukan juga gadis biasa.
“He eh, maaf,” singkat, sambil membingkai senyuman menawan. Sambil kembali menelusuri gang-gang jalan menuju musholla. Berjalan berisian seperti biasanya. Hah. Sweet. Banyak yang bilang pasangan serasi, padahal belum ada kejelasan. Entahlah, mungkin karena tahu kalau pacaran itu hukumnya haram.
Hanya saja jujur satu sama lain apakah sebuah dosa? Tak ayal, hanya mengakui perasaan sebenarnya. Bukankah Tuhan mengakui kebenaran dan kejujuran? Dan, sampai kapan harus menunggu, jangan sampai dia yang mengatakan suka terlebih. Ah. Gila. Pekik Yuri.
“Koq cuma bengong dari tadi, padahal aku mau bilang sesuatu,” Asri mencoba menetralisir suasana kikuk.
Tuhan, apakah sekarang Engkau menjawab doaku barusan?
“Ia, ucapkan saja,” gadis berhijab itu menerka-nerka.
“Hmmmm. Aku mau pergi berlayar sebulan dik. Bantu bapak untuk mencari nafkah. Kebetulan juga lagi libur semester.”
Rondong. Nyatanya yang diharapkan belum kesampaian.
Oh, dia akan bertamu mata beberapa hari. Bukan! Bukan tak ingin dia selalu berusaha mencari rezeki Allah dengan halal, bukan itu yang terpatri dalam pikirannya. Yuri lebih dulu menemukan batin melepuh jikalau tak memandangnya bahkan walaupun hanya sedetik dalam sehari. Rautan wajah memendung coba disembunyikan, dikemas dalam diam. Keteduhan di retinanya bak awan menghalau dari terik matahari. Hm.... sepasang matanya! Mengapa begitu merusuk di jantung hati. Saat berbicara dihadapan ombak dan karang. Seperti hujan tebal membasahi, pasti akan kuyub jua.
Sesekali mendengarkan kerasnya ombak menghempas karang. Mungkin seperti itulah rindunya. Biar saja angin membisikan padanya? Apalagi ketika kuningnya dunia mulai nampak. Beberapa menit langkah kakinya sudah berpijak di atas kapal, nampak mata berbinar-binar. Jangan sampai tumpah ruah. Setiap kali bibir ingin mengucap sesuatu, sebisa mungkin menahan berat air sungai yang akan mengalir. Saat menjauh, sepasang matanya mulai menyipit sambil memegang mulutnya dengan keras. Jangan sampai berteriak. Hah. Terlalu labil.
Tulisa di sanggilangmu, tekenga digulingmu
Asari allo, gisir salili boma.
Bait lagu mandar, yang menyayat hati. Apalagi rindu yang belum bertaut. Sehari seperti setahun. Kira-kira adakah perasaan sama dimiliki pemuda bermata teduh itu? Apakah ada rindu yang terbungkus rapi juga tersemat di batinnya? Dan, melayangkan kenangan indah bersama dan kembali ingin diukir jika berjumpa? Pertanyaan yang berkelindan. Yuri sangat ingin tahu. Apakah kalau ia menyatakan hasrat relung hati duluan tidak keterlaluan? Oh, tidak. tidak mungkin. Memang jaman emansipasi wanita, tak ada salahnya jika jujur duluan. Hanya saja hati tak mengenakan, meskipun hati pula yang memilih.
***
Ketika matahari melintar di garis khatulistiwa beberapa kali. Tak pernah terbersit ide mengatakan duluan, meskipun pada akhirnya menyesal.
“Hi, salam kenal. Kamu temannya Yuri kan?”
“Ia, aku Äsri.”
“Aku Melly, kakaknya Yuri,” menyunggingkan senyuman menawan.
Kacau. Sebuah rasa baru bergandengan dengan perasaan bahagia cinta sudah menyipit. Yuri sesak melihat dari balik gorden dapur.
“Koq aku baru lihat kamu?” Asri penasaran. Memang sudah pernah diceritakan oleh Yuri tentang kakaknya itu, hanya saja tak tahu kalau dia memiliki paras wajah memikat.
“Oh, aku kuliah di Makassar. Sekarang aku lagi liburan semester,” merekah senyum.
Yuri terpaku dibalik gorden bercorak bunga-bunga. Ada kemendungan di retina. Hah. Perasaaan aneh. Sama sekali tidak suka. Jangan sampai berlarut-larut, lagipula kalau teh yang masih panas di tangannya belum juga diantarkan akan dingin. Tidak hangat lagi masuk di dalam mulut.
“Silahkan dinikmati kopinya” Yuri meletakkan segelas teh manis itu di meja, tepat dihadapan kakak dan Asri. Hanya menoleh sebentar dengan senyuman. Setelah itu keduanya seolah tak merasakan ada kehadirannya.
Yuri membuka mata lebar-lebar, waktu yang dilalui sangatlah berharga bersama pemuda hitam manis itu. Kalau ada rasa tertinggal, mungkin hanya sepihak merasakan. Memang tidak mudah melekaskan, seperti novel favoritnya, Penyambung Nyawa karya Muhdar Silang, yang baru-baru ini terbit. Tidak mudah melekaskan halaman ke halaman lainnya, tidak kuat terus menerus mengairkan kebeningan dari hati juga jiwa. Hah. Cinta terlalu rumit. Nyatanya.
Asri. Terletak pada perasaan yang sama dengan sahabatnya, hanya saja berbeda kepada pemilik. Asri melululantahkan batinnya di depan Melly. Apakah berarti selama ini dengan sang adik memang sebatas teman? Tak ada perasaan lebih? Entahlah, Yuri hanya bisa berkata dan berdoa “Asal dia bahagia.”
***
“Makasih atas bunga mawarnya,” ucap Melly lembut, menyipitkan mata dengan nada tawa senang.
Hari-hari serupa pengembara yang sudah menemukan apa yang dicari. Sudah di ujung kelana. Tanpa menengok ke esokkannya. Siang selalu berganti malam. Penaka kesedihan dengan kegembiraan.
Menjelang siang. Di luar sudah terik. Sudah waktunya makan. Biasanya keluarga Yuri harus berkumpul di ruang makan. Gemerlap air bening terpasang di wajahnya muncul. Sudah beberapa hari ini tidak dihubungi, layaknya orang jauh atau bahkan sudah putus kontak, sekarang tiba-tiba muncul dan bukan untuknya.
Mengurungkan niat untuk memangil kakaknya makan siang bersama. Lagi-lagi terpaku di balik gorden, dengan tatapan lepas.
Kembali ia merapikan hati. tidak ada harapan kepada cinta nelayang itu. salili di asar lalo, mimbura di se’de lopinna mua karambo ambana’. Ndang toi na’sa’ding. Cinta bertepuk sebelah tangan. Sebuah kenyataan tentang cinta, ada pahitnya. Sittengang paria. Masse na amme.
Kalau sudah begini harus apa? Melupakan pun tidak mungkin, semakin berusaha semakin bertambah rasanya.
Yuri berharap kebaikan. Bukan, bukan tentang hubungan mereka yang kandas di tengah, selama keduanya bahagia. Memandang peluh mereka yang duduk di kursi panjang halaman rumah. Di bawah teduhan pepohonan. Angin semilir pun sama sekali tak dihiraukan. Seperti tereka ulang kejadian kemarin. Berat. Penaka matahari menyala terang. Senyum pahit tereka. Sekali lagi, asalkan mereka bahagia. Hanya jejakan kaki yang terdengar menemani. Perasaan Yuri juga campur aduk. Ada bunyi kegaduhan. Seperti diguncang gempa.
Yuri memilih bungkam dalam perasaan.
***
“Aku mau tanya sesuatu sama kamu Asri, tapi kamu jangan marah ya? Soalnya aku sudah lama penasaran.”
“Tanya saja, apasih yang tidak buat kamu,” Asri menjawab pendek. Bukti nyata tak apik.
“Kalau kamu udah besar nanti, kamu mau kerja apa sih? Apakah jadi Polisi atau Tentara, atau paling tidak dokter?” mata bulat kakak Yuri itu menyala.
“Aku mau jadi nelayan,” dengan mantap melanjutkan, “Soalnya aku suka sekali berlayar, menangkap ikan. Entah mengapa ada perasaan bahagia tak kala berada di atas perahu, di mana ombak sedang berkejaran, sementara kita sendiri sedang asyik menangkap ikan,” merekah senyum.
Melly membalas sunggingan, tapi terasa beda. Membuat cowok di sampingnya memiliki perasaan tidak enak. Terbukti, hari-hari setelahnya muncul perubahan berarti. Menghilang sesaat. Pergi tanpa ada sepatah kata. Ah, hubungan macam apa yang tak dihargai sama sekali. Tak adakah kerinduan tersemai atau kenangan manis muncul di benak ketika merasakan manisnya cinta pertama.
“Saya kirakak Melly udah pamit sama kamu. Kalian ketemu kemarin, masa dia tidak ngomong kalau dia harus pergi Ke Makassar hari ini, soalnya dia sudah mau aktif kuliah lagi.”
Yuri tidak mendengar jawaban atau respon apapun dari Asri.
“Kamu baik-baik saja kan Asri?” seolah mengerti, raut wajah sahabat yang dulunya menjauh darinya karena cinta sekarang memiliki perasaan buyar.
Lagi-lagi seutas senyuman pahit.
“Bicara dong sama aku Asri! Kita kan sudah lama jadi sahabat, seorang sahabat tidak mungkin acuh ketika melihat sahabatnya sedih,” Yuri memastikan.
Berarti. Sangat tidak tahu diri. Apalagi sudah membuat kesalahan fatal. Melupakannya dengan mudah ketika ditimbun aneka perasaan cinta.
“Aku tidak apa-apa koq Yuri,” berusaha menyembunyikan dengan membentuk garis tipis di bibir. Menyiratkan ketegasan yang sebenarnya masih bisa terbantahkan. Setelah hari-hari sebelumnya, penaka kacang lupa kulitnya. Bahkan lupa bahwa dua haru lalu sempat janjian dengannya, malah langsung mengingkari hanya untuk bertemu sang kakak.
Asri mengulurkan tangan, meskipun Yuri hanya menyedekapkan tangan di dadanya. Sangat beda dengan gadis-gadis yang dikenalnya, termasuk Melly. Kenapa baru menyadari? Betapa keindahan selama ini telah berada mengelilingi.
Betul bahwa masih ada rasa yang tersemat untuk dia yang hanya memandang sebelah mata seorang nelayan. Lamban laun perasaan itu enyah dan lebih terasa sebagai kagum. Tak ada cinta yang sebentar. Meski sudah disakiti berulang-ulang kaki, hanya akan ada namanya terukir. Sekali lagi, hubungan memang itu relathionship, tapi tania cinna. Cinna atau cinta adalah kebiasaan, kebiasaan merindu, menyayangi dan mencintai. Yuri, gadis yang selalu menjadi sahabat baik, nyatanya mampu mengenalkan perasaan cinta sesungguhnya.
Bodoh!
Barangkali mata buta sampai-sampai tidak bisa menemukan emas di antara perak-perak yang bertebaran.
“Kamu kenapa sih selama ini mau menjadi sahabat aku?”
Suara Asri lembut, hanya saja pertanyaan aneh. Entah benar-benar sadar, selama ini yang ada untuknya, senang atau sedih, percaya padanya dalam situasi apapun, menyemangatinya padahal sedang terjatuh. Itu hanyalah Yuri.
Pemuda jangkung itu semakin bisa membaca perasaannya. Toh, waktu sudah mengalun cepat. Cerita dengan kakaknya sudah setengah tahun berlalu. Tidak ada lagi hiruk pikuk perasaan kepadanya, walau setitik rindu.
Asri menatap dari area laki-laki di dalam masjid, yang dihijab oleh kain yang tertiup oleh kipas angin. Terlihat khusyu gadis berhijab itu mengaji. Begitu tenang setiap ayat Allah yang dilantunkannya.
“Apakah dia memiliki perasaan sama?”
Bertanya dalam batin dan mengingat ulang waktu yang terlewat. Yuri memang gadis yang sangat sulit ditebak, memiliki hati bak berlian, tak ada yang sepertinya mampu bersahabat dengan laki-laki yang memiliki mimpi menjadi seorang nelayang sukses. Dia memang beda. Semoga Allah mempertemukan jikalau jodoh menyurati, kalaupun tak sampai maka jauhkanlah. Pintanya dalam doa.
***
Terdengar derum ombak berkejaran ke bibir pantai.
Yuri menatap pemuda di sampingnya. Sosok tak pernah mengeluh akan beratnya kehidupan. Tidak kebanyakan orang lain, hanya mau enak saja tanpa berpikir usaha keras tak akan pernah menghianati hasil.
Jauh. seperti tereka ulang. Tapi ada perbedaan. Keduanya sudah menjadi suami istri sekarang. Ketika dengan gagah berani, datang bersama kedua orang tuanya meminang di kediaman rumah Yuri. Larut dalam kebahagiaan. Begitu menerbangkan ke langit tujuh. Himpitan rasa yang hampir setiap detik menyinggung batin, kini terlepas erat jua. Melly turut bahagia.
Asri menghapus air mata sang istri yang meluncur cepat di pipi.
“Aku tidak akan pergi lama. Insya Allah aku akan kembali dengan cepat,” merekah senyum.
Yuri mengangguk pelan.
Tulisa di sanggilangmu. Mua na diang bodi bura manus, tanda salilimo tu’u.
.................................................................................
Selesai

Tidak ada komentar:

Posting Komentar