TAWARAN
“Apakah
Kamu Mau Menjadi Istriku?”
Ibu kos yang selama ini baik
kepadanya pun meragukannya. Lantas bagaimana dengan yang lain? Mereka pun
diberikan waktu untuk memberitahu kedua orang tua masing-masing untuk datang
secepatnya karena akan digelar pernikahan. Dengan mimik pucat, Cantik menangis
dan tetap pada pendiriannya, “saya tidak pernah berbuat apapun dengannya.”
Tangisan? Percuma saja. Digta
sendiri mencoba marah pun hasilnya hampir babak belur dikeroyok, untungnya
masih ada orang baik di antara mereka yang melarang keras perbuatan main hakim
sendiri. Cantik tahu betul, sosok gadis yang selalu buang muka ketika bertemu
di hari-hari sebelumnya.
Mungkinkah ini yang dinamakan sudah
jatuh tertimpa tangga? Orang tua Cantik dan Digta justru sigap datang, tak
marah dengan apa yang terjadi, seolah memberi restu ketika sudah berada di
kantor urusan agama. Hingga akhirnya......
“Saya terima nikah dan kawinnya,
Cantika binti Silang dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai,”
jelas Digta tanpa perlu mengulang, seolah pernah terlatih sebelumnya.
“Sah?” kata Penghulu yang diiikuti
oleh para saksi.
Alhamdulillah.
Kesalapahaman
benar-benar bisa mengakibatkan perkara besar yang tak dapat dijangkau.
Cantik tidak pernah berhenti
menitikan air mata.
Dirinya sekarang sudah menjadi
nyonya Digta, pemuda yang baru ditemuinya kemarin dan berkelahi di trotoar
jalan. Bagaimana mungkin semua ini bisa terjadi? Beberapa kali mencubit diri
sendiri, berharap hanya mimpi dan terbangun dari bunga tidur yang bernuansa
malapetaka. Hanya saja hasilnya langit masih secerah lampu kamar pasangan muda
yang selesai menikah.
Begitupula dengan Digta, baru
kemarin begitu kesal kepada sosok gadis yang menimpuknya dengan kaleng bekas,
adu mulut bukan hanya di jalan tetapi juga di kos barunya. Sekarang, sudah
menjadi istrinya. Ah.... Sungguh tidak bisa dipercaya. Hanya Tuhan memang yang
tahu apa yang akan terjadi setelahnya, masa lalu dan masa depan manusia.
Di dalam kamar kosnya, keduannya
terpaku pada kediaman seratus derajat. Entah siapa yang ingin berbicara duluan,
apakah sekarang waktunya sekarang saling menyalahkan? Hhh... Tetap saja tidak
akan bisa mengembalikan keadaan seperti semula. Pekik Cantik dan Digta dalam
batin.
Hampir dua jam terpaku dalam
kesunyian, setelah sebelumnya kedua orang tua mereka berpamitan untuk menginap
di penginapan yang sudah mereka sewa bersama.
“Hei, gadis aneh. Apa yang sedang
kamu pikirkan?” mata yang menyidik.
“Kamu sendiri?” membalas.
“Ditanya koq malah tanya balik.”
“Hello, terserah aku dong.
Mulut-mulut aku,” bibir Cantik mengembung.
Digta memegang dada. Mulai sekarang
ia harus bersabar menghadapi gadis yang sudah menjadi istrinya sampai hari itu
tiba.
Ya, sebelum pernikahan tergelar
mereka meminta kesempatan untuk berbicara empat mata.
“Sekarang saya mau membuat perjanjian
sebelum ketika menikah,” tawar Digta.
“Ok, tapi aku yang menawarkan
perjanjian dulua,” usul Cantik.
“Baiklah.”
Mereka berdua bertukar pikiran
tentang apa-apa saja aturan mereka setelah menikah sampai memutuskan batas
waktu berumah tangga.
“Bagaimana kalau enam bulan saja?”
“Tidak-tidak. Tiga bulan?”
“Deal,” Cantik mengulurkan tangan.
“Deal,” Digta membalas.
Sampai aturan berikutnya, tidak
boleh tidur berdekatan apalagi sampai berhubungan, haru saling menghargai,
menghormati dan tidak boleh mencampuri urusa masing-masing, selama tiga bulan
harus tampil seperti pasangan muda yang telah menikah di hadapan keluarga
maupun orang lain.
Saling melemparkan senyum, tanda
setuju.
pict source: www.anakcemerlang.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar