post-thumbnail{float:left;margin-right:20px}

YUDHA

Minggu, 03 Desember 2017

Still Hoping (5)



TAWARAN
“Apakah Kamu Mau Menjadi Istriku?”

Kesalahpahaman besar dan sama sekali tidak ada yang mau mendengarkan.
Ibu kos yang selama ini baik kepadanya pun meragukannya. Lantas bagaimana dengan yang lain? Mereka pun diberikan waktu untuk memberitahu kedua orang tua masing-masing untuk datang secepatnya karena akan digelar pernikahan. Dengan mimik pucat, Cantik menangis dan tetap pada pendiriannya, “saya tidak pernah berbuat apapun dengannya.”

Tangisan? Percuma saja. Digta sendiri mencoba marah pun hasilnya hampir babak belur dikeroyok, untungnya masih ada orang baik di antara mereka yang melarang keras perbuatan main hakim sendiri. Cantik tahu betul, sosok gadis yang selalu buang muka ketika bertemu di hari-hari sebelumnya.
Mungkinkah ini yang dinamakan sudah jatuh tertimpa tangga? Orang tua Cantik dan Digta justru sigap datang, tak marah dengan apa yang terjadi, seolah memberi restu ketika sudah berada di kantor urusan agama. Hingga akhirnya......
“Saya terima nikah dan kawinnya, Cantika binti Silang dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai,” jelas Digta tanpa perlu mengulang, seolah pernah terlatih sebelumnya.
“Sah?” kata Penghulu yang diiikuti oleh para saksi.
Alhamdulillah. Kesalapahaman benar-benar bisa mengakibatkan perkara besar yang tak dapat dijangkau.
Cantik tidak pernah berhenti menitikan air mata.
Dirinya sekarang sudah menjadi nyonya Digta, pemuda yang baru ditemuinya kemarin dan berkelahi di trotoar jalan. Bagaimana mungkin semua ini bisa terjadi? Beberapa kali mencubit diri sendiri, berharap hanya mimpi dan terbangun dari bunga tidur yang bernuansa malapetaka. Hanya saja hasilnya langit masih secerah lampu kamar pasangan muda yang selesai menikah.
Begitupula dengan Digta, baru kemarin begitu kesal kepada sosok gadis yang menimpuknya dengan kaleng bekas, adu mulut bukan hanya di jalan tetapi juga di kos barunya. Sekarang, sudah menjadi istrinya. Ah.... Sungguh tidak bisa dipercaya. Hanya Tuhan memang yang tahu apa yang akan terjadi setelahnya, masa lalu dan masa depan manusia.
Di dalam kamar kosnya, keduannya terpaku pada kediaman seratus derajat. Entah siapa yang ingin berbicara duluan, apakah sekarang waktunya sekarang saling menyalahkan? Hhh... Tetap saja tidak akan bisa mengembalikan keadaan seperti semula. Pekik Cantik dan Digta dalam batin.
Hampir dua jam terpaku dalam kesunyian, setelah sebelumnya kedua orang tua mereka berpamitan untuk menginap di penginapan yang sudah mereka sewa bersama.
“Hei, gadis aneh. Apa yang sedang kamu pikirkan?” mata yang menyidik.
“Kamu sendiri?” membalas.
“Ditanya koq malah tanya balik.”
“Hello, terserah aku dong. Mulut-mulut aku,” bibir Cantik mengembung.
Digta memegang dada. Mulai sekarang ia harus bersabar menghadapi gadis yang sudah menjadi istrinya sampai hari itu tiba.
Ya, sebelum pernikahan tergelar mereka meminta kesempatan untuk berbicara empat mata.
“Sekarang saya mau membuat perjanjian sebelum ketika menikah,” tawar Digta.
“Ok, tapi aku yang menawarkan perjanjian dulua,” usul Cantik.
“Baiklah.”
Mereka berdua bertukar pikiran tentang apa-apa saja aturan mereka setelah menikah sampai memutuskan batas waktu berumah tangga.
“Bagaimana kalau enam bulan saja?”
“Tidak-tidak. Tiga bulan?”
“Deal,” Cantik mengulurkan tangan.
“Deal,” Digta membalas.
Sampai aturan berikutnya, tidak boleh tidur berdekatan apalagi sampai berhubungan, haru saling menghargai, menghormati dan tidak boleh mencampuri urusa masing-masing, selama tiga bulan harus tampil seperti pasangan muda yang telah menikah di hadapan keluarga maupun orang lain.
Saling melemparkan senyum, tanda setuju.

pict source: www.anakcemerlang.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar