FAMILY
“Bukankah
kebersamaan dengan keluarga adalah satu kesempatan emas yang sangat berarti di
dunia ini?”
Alhamdulillah.
Benar-benar
ia rindukan dipeluk oleh seorang ibu yang pernah didapatkan dari seorang wanita
parubaya yang tak mengenal kematian diri sendiri, hanya memikirkan orang lain
yang ditolong. Ah, mengingat itu membuatnya menangis. Nini memeluk erat Suci
sekarang. Memeluk hangat seperti anak sendiri.
“Kamu
kenapa nangis nak?”
“Aku
mengingat ibu angkatku bu….,” mata Suci sudah meleleh dengan air mata.
“Kita
doaian aja. Semoga dia diberikan tempat yang terbaik di sisinya,” Nini mengusap
air mata di wajahnya.
“Ia
bu,” ia menundukkan kepalanya.
Hanya
doa yang bisa dikirimnya kepada orang-orang terkasih yang sudah mendahuluinya.
***
Setiap pagi, Nini pasti
datang membawakan sarapan nasi goreng kecap kesukaannya. Kerap ia mencoba
melarang supaya jangan terlalu bersikap berlebihan, ia tidak akan menyusahkan
hidupnya apalagi Nini tidak mau menerima uang yang diberikan, satu-satunya yang
dilakukannya hanyalah memaksa.
“Bu,
aku mohon terima uang ini,” Suci memelas.
“Tidak
nak. Ibu melakukan semua ini tanpa ingin membalas. Ibu melakukannya tanpa
pamrih,” Nini menggelengkan kepala.
“Aku
tahu bu. Tapi aku hanya ingin ibu menerimanya karena ibu adalah ibu aku. Ibu
sendiri yang bilang kan, kalau ibu adalah ibu Suci, Ibu Kirana,” matanya
kembali berkaca-kaca.
Dalam-dalam
Nini memikirkan dan akhirnya menerima dengan terpaksa.
“Baiklah
nak. Ibu terima karena kamu adalah anak ibu,” tersenyum.
‘Makasih
bu,” Suci kembali mendekapnya.
Ah,
begitu sweet. Membuat Ferdi dan bu Ija seakan ikut merasakan. Selama ini yang
namanya kebersamaan dengan keluarga adalah hal yang paling membahagiakan di
dunia ini. Sangat istimewa dan pasti kesyukuran ketika dirasakan.
***
Desember musim hujan.
Hawa dingin begitu menusuk, namun ada kesenangan yang tidak bisa digambarkan
dengan kata-kata ketika melihat kaki-kaki hujan membasahi bumi, seolah air
langit membasahi hati yang panas karena kemarau berkepanjangan. Ah, ia
menenngadah memasuki setiap lorong dalam hujan. Tak basah sama sekali. Ia perlu
menilik lebih dalam bagaimana dalamnya perasaan yang dimilikinya sekarang untuk
seseorang. Dan, ketika berada di dalamnya lebih dalam, secangkir teh hangat
menyinggung, memalingkannya apalagi ditambah suara lembut gadis itu.
“Ini
the kamu. Minum ya!,” Suci tersenyum.
Allah, dia tersenyum. Tidakkkah ia
tahu, bahwa senyumnya sungguh berarti. Menambah kesejukkan hujan yang
dirasakan. Ah, tabik hujan. Batin Ferdi.
“Makasih,”
ia membalas dengan sunggingan menawan.
Suci
ingin pergi, buru-buru ia memanggil.
“Boleh
tidak aku meminta waktumu sebentar?”
Suci
menoleh. Tidak bisa disangkal hatinya juga berdegup kencang. Akhir-akhir ini
Ferdi selalu bersikap manis padanya. Perempuan yang tidak akan merasa istimewa
ketika diistimewakan?
“Mau
ngomong apa?” ia menunduk.
“Mmmm,
tapi kamu duduk dulu sebelumnya,” matanya mengarah kepada kursi kosong di
sampingnya, di antaranya ada kursi.
“Baiklah.”
Dan,
hening sesaat. Seolah bingung memulai pembicaraan seperti sebelumnya. Harus
bagaimana menyiasati darah yang berdesir kencang? Seolah badan tidak mampu
menopang tubuh hingga harus runtuh dan mengemis akan diterima perasaannya. Ah,
jangan. Pekik Ferdi di batinnya.
“Aku
mau nanya sama kamu tentang….” Berhenti sesaat. Ada keraguan yang tersemat.
Suci
penasaran, Nampak dari mata bulatnya yang melihat.
“Apa
kamu sudah memaafkan aku?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar