post-thumbnail{float:left;margin-right:20px}

YUDHA

Kamis, 10 Mei 2018

Baiduri (23)


FAMILY
“Bukankah kebersamaan dengan keluarga adalah satu kesempatan emas yang sangat berarti di dunia ini?”

Alhamdulillah. Benar-benar ia rindukan dipeluk oleh seorang ibu yang pernah didapatkan dari seorang wanita parubaya yang tak mengenal kematian diri sendiri, hanya memikirkan orang lain yang ditolong. Ah, mengingat itu membuatnya menangis. Nini memeluk erat Suci sekarang. Memeluk hangat seperti anak sendiri.

“Kamu kenapa nangis nak?”
“Aku mengingat ibu angkatku bu….,” mata Suci sudah meleleh dengan air mata.
“Kita doaian aja. Semoga dia diberikan tempat yang terbaik di sisinya,” Nini mengusap air mata di wajahnya.
“Ia bu,” ia menundukkan kepalanya.
Hanya doa yang bisa dikirimnya kepada orang-orang terkasih yang sudah mendahuluinya.
***
Setiap pagi, Nini pasti datang membawakan sarapan nasi goreng kecap kesukaannya. Kerap ia mencoba melarang supaya jangan terlalu bersikap berlebihan, ia tidak akan menyusahkan hidupnya apalagi Nini tidak mau menerima uang yang diberikan, satu-satunya yang dilakukannya hanyalah memaksa.
“Bu, aku mohon terima uang ini,” Suci memelas.
“Tidak nak. Ibu melakukan semua ini tanpa ingin membalas. Ibu melakukannya tanpa pamrih,” Nini menggelengkan kepala.
“Aku tahu bu. Tapi aku hanya ingin ibu menerimanya karena ibu adalah ibu aku. Ibu sendiri yang bilang kan, kalau ibu adalah ibu Suci, Ibu Kirana,” matanya kembali berkaca-kaca.
Dalam-dalam Nini memikirkan dan akhirnya menerima dengan terpaksa.
“Baiklah nak. Ibu terima karena kamu adalah anak ibu,” tersenyum.
‘Makasih bu,” Suci kembali mendekapnya.
Ah, begitu sweet. Membuat Ferdi dan bu Ija seakan ikut merasakan. Selama ini yang namanya kebersamaan dengan keluarga adalah hal yang paling membahagiakan di dunia ini. Sangat istimewa dan pasti kesyukuran ketika dirasakan.
***
Desember musim hujan. Hawa dingin begitu menusuk, namun ada kesenangan yang tidak bisa digambarkan dengan kata-kata ketika melihat kaki-kaki hujan membasahi bumi, seolah air langit membasahi hati yang panas karena kemarau berkepanjangan. Ah, ia menenngadah memasuki setiap lorong dalam hujan. Tak basah sama sekali. Ia perlu menilik lebih dalam bagaimana dalamnya perasaan yang dimilikinya sekarang untuk seseorang. Dan, ketika berada di dalamnya lebih dalam, secangkir teh hangat menyinggung, memalingkannya apalagi ditambah suara lembut gadis itu.
“Ini the kamu. Minum ya!,” Suci tersenyum.
Allah, dia tersenyum. Tidakkkah ia tahu, bahwa senyumnya sungguh berarti. Menambah kesejukkan hujan yang dirasakan. Ah, tabik hujan. Batin Ferdi.
“Makasih,” ia membalas dengan sunggingan menawan.
Suci ingin pergi, buru-buru ia memanggil.
“Boleh tidak aku meminta waktumu sebentar?”
Suci menoleh. Tidak bisa disangkal hatinya juga berdegup kencang. Akhir-akhir ini Ferdi selalu bersikap manis padanya. Perempuan yang tidak akan merasa istimewa ketika diistimewakan?
“Mau ngomong apa?” ia menunduk.
“Mmmm, tapi kamu duduk dulu sebelumnya,” matanya mengarah kepada kursi kosong di sampingnya, di antaranya ada kursi.
“Baiklah.”
Dan, hening sesaat. Seolah bingung memulai pembicaraan seperti sebelumnya. Harus bagaimana menyiasati darah yang berdesir kencang? Seolah badan tidak mampu menopang tubuh hingga harus runtuh dan mengemis akan diterima perasaannya. Ah, jangan. Pekik Ferdi di batinnya.
“Aku mau nanya sama kamu tentang….” Berhenti sesaat. Ada keraguan yang tersemat.
Suci penasaran, Nampak dari mata bulatnya yang melihat.
“Apa kamu sudah memaafkan aku?”
Dan pertanyaan itu membuat gadis yang sudah tidak bersembunyi di balik cadar itu tehenyak. Pertanyaan itu sebenarnya tidak membutuhkan banyak waktu untuk menjawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar