post-thumbnail{float:left;margin-right:20px}

YUDHA

Rabu, 16 Mei 2018

Baiduri (28)


TANDA KUPING
“Aku berharap akan ada keajaiban”

Malam itu hujan lebat menyambut kelahirannya. Sang ayah terus menerus mondar-mandir di depan pintu, hampir dua jam lamanya. Sampai ia mendengar, raungan bayi merah dnegan semburat senyum ia masuk langsung ke kamar persalinan.
“Anak kita sudah lahir ma…..” ucap Dinand sangat senang.
Dini hanya melihat dengan sampulan yang tidak kalah senangnya.

“Terima kasih ma sudah memberikanku dua anak kembar,” lanjut Dinand kemudian mencium kening istrinya.
Sang dokter yang mengurusi Dini ikut terharu. Melihat keluarga kecil yang semakin bahagia dengan kehadiran bayi putri kembar.
Hari-hari berlalu, serupa hidup di taman permadani. Selalu ada sengatan matahari, hanya saja tak sepanas di bumi yang semakin mengalor saja di setiap harinya.
Keluarga Dinand dan Dini yang membuat orang lain iri harus mendapatkan malapetaka yang sampai tujuh belas tahun berikutnya menyisakkan kesedihan. Hari itu, hujan kembali menyelimuti kepergian Rani, salah satu bayi mungil mereka. Bu Marni, pembantu mereka berhasil dicurinya, pun tidak bisa berbuat apa-apa termasuk bantuan polisi.
Flash back. Dini mengingat jelas derita yang tidak akan pernah bisa dilupakannya.
“Kalau kamu di sini nak, pasti kamu sudah sebesar gadis cantik itu,” pekik Dini.
Air matanya terjatuh.
“Jangan menangis ma! Apakah kamu tahu, aku juga akan sedih, kalau mama menangis,” Rini menghapus air mata di pipinya Dini.
“Apa mama ingat sama ade Rini yang dulu hilang?” matanya menyentuh palung hati sang ibu.
Hanya anggukan, setelahnya dipeluk.
“Apa masih ada harapan kita akan menemukan adikmu nak?”
“Tentu bu. Akan ada keajaiban bagi mereka yang terus berharap kebaikan,” kalimat mutiara yang hanya bisa diberikannya.
***
“Mba aku pesan ice pinknya satu ya?” kata Dini kepada mas penjual  minuman dingin di pinggir jalan.
“Maaf bu, ice pinknya tinggal satu. Pesanan mba yang ada di sana,” tunjuk mas itu kepada gadis berhijab yang duduk di kursi panjang sambil memandang bunga-bunga indah bermekaran. Begitu asri, menghirup udara sore di taman kota.
Suci sadar ada yang melihatnya, pun Ferdi yang duduk di sampingnya. Buru-buru keduanya menghampiri penjual ice drink.
“Mas sudah jadi pesanan kami?” tanya Ferdi.
“Ia mas, ini…” memberikan kedua minuman itu.
“Ibu. Ibu kan yang kemarin di supermarket dengan Dini?” saat Suci melihat wajah ibu yang sekarang ada di sampingnya.
“Ia nak,” tersenyum.
“Ibu mau beli ice drink juga?”
“Ia, tapi ice pinknya juga sudah habis.”
“Kalau gitu ambil punyaku saja nak,” Suci menyodorkan minuman miliknya.
“Tidak usah nak!” Dini menolak.
“Tidak apa-apa bu. Aku akan sangat senang kalau ibu mau menerimanya,” tersenyum ringan.
Dini mendengus nafas panjang. “Baiklah nak, ibu akan terima pemberianmu.”
Ada kelegahan begitu mencuat ketika berada satu sama lain – Suci dan Dini, seolah mimpi yang selama ini ada dalam buaian, akan tergambar jelas di langit. Apalagi episode berikutnya, membawa mereka bertemu lagi di tempat wudhu masjid sekolah.
Dini ingin menjemput putrinya, hanya saja sudah masuk waktu dhuhur lebih baik ia melaksanakan sholat dulu. Dan, alangkah terkejutnya ketika melihat tanda kelahiran di daun telinga Suci. Air matanya meleleh begitu saja, tidak memperdulikan air pancuran yang sudah dibuka kerangnya. Ia memeluk erat Suci, seolah tak ingin lepas dan Suci merasakan kehangatan yang begitu dalam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar