TANDA
KUPING
“Aku
berharap akan ada keajaiban”
Malam itu hujan lebat
menyambut kelahirannya. Sang ayah terus menerus mondar-mandir di depan pintu,
hampir dua jam lamanya. Sampai ia mendengar, raungan bayi merah dnegan semburat
senyum ia masuk langsung ke kamar persalinan.
“Anak
kita sudah lahir ma…..” ucap Dinand sangat senang.
Dini
hanya melihat dengan sampulan yang tidak kalah senangnya.
“Terima
kasih ma sudah memberikanku dua anak kembar,” lanjut Dinand kemudian mencium
kening istrinya.
Sang
dokter yang mengurusi Dini ikut terharu. Melihat keluarga kecil yang semakin
bahagia dengan kehadiran bayi putri kembar.
Hari-hari
berlalu, serupa hidup di taman permadani. Selalu ada sengatan matahari, hanya
saja tak sepanas di bumi yang semakin mengalor saja di setiap harinya.
Keluarga
Dinand dan Dini yang membuat orang lain iri harus mendapatkan malapetaka yang
sampai tujuh belas tahun berikutnya menyisakkan kesedihan. Hari itu, hujan
kembali menyelimuti kepergian Rani, salah satu bayi mungil mereka. Bu Marni,
pembantu mereka berhasil dicurinya, pun tidak bisa berbuat apa-apa termasuk
bantuan polisi.
Flash back. Dini
mengingat jelas derita yang tidak akan pernah bisa dilupakannya.
“Kalau
kamu di sini nak, pasti kamu sudah sebesar gadis cantik itu,” pekik Dini.
Air
matanya terjatuh.
“Jangan
menangis ma! Apakah kamu tahu, aku juga akan sedih, kalau mama menangis,” Rini
menghapus air mata di pipinya Dini.
“Apa
mama ingat sama ade Rini yang dulu hilang?” matanya menyentuh palung hati sang
ibu.
Hanya
anggukan, setelahnya dipeluk.
“Apa
masih ada harapan kita akan menemukan adikmu nak?”
“Tentu
bu. Akan ada keajaiban bagi mereka yang terus berharap kebaikan,” kalimat
mutiara yang hanya bisa diberikannya.
***
“Mba
aku pesan ice pinknya satu ya?” kata Dini kepada mas penjual minuman dingin di pinggir jalan.
“Maaf
bu, ice pinknya tinggal satu. Pesanan mba yang ada di sana,” tunjuk mas itu
kepada gadis berhijab yang duduk di kursi panjang sambil memandang bunga-bunga
indah bermekaran. Begitu asri, menghirup udara sore di taman kota.
Suci
sadar ada yang melihatnya, pun Ferdi yang duduk di sampingnya. Buru-buru
keduanya menghampiri penjual ice drink.
“Mas
sudah jadi pesanan kami?” tanya Ferdi.
“Ia
mas, ini…” memberikan kedua minuman itu.
“Ibu.
Ibu kan yang kemarin di supermarket dengan Dini?” saat Suci melihat wajah ibu
yang sekarang ada di sampingnya.
“Ia
nak,” tersenyum.
“Ibu
mau beli ice drink juga?”
“Ia,
tapi ice pinknya juga sudah habis.”
“Kalau
gitu ambil punyaku saja nak,” Suci menyodorkan minuman miliknya.
“Tidak
usah nak!” Dini menolak.
“Tidak
apa-apa bu. Aku akan sangat senang kalau ibu mau menerimanya,” tersenyum
ringan.
Dini
mendengus nafas panjang. “Baiklah nak, ibu akan terima pemberianmu.”
Ada
kelegahan begitu mencuat ketika berada satu sama lain – Suci dan Dini, seolah
mimpi yang selama ini ada dalam buaian, akan tergambar jelas di langit. Apalagi
episode berikutnya, membawa mereka bertemu lagi di tempat wudhu masjid sekolah.
Dini
ingin menjemput putrinya, hanya saja sudah masuk waktu dhuhur lebih baik ia
melaksanakan sholat dulu. Dan, alangkah terkejutnya ketika melihat tanda
kelahiran di daun telinga Suci. Air matanya meleleh begitu saja, tidak
memperdulikan air pancuran yang sudah dibuka kerangnya. Ia memeluk erat Suci,
seolah tak ingin lepas dan Suci merasakan kehangatan yang begitu dalam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar