MASA
LALU
“Yang
lalu biarlah berlalu”
Ferdi dan Suci menatap
duduk di bibir pantai. Menatap ombak yang sedang bermesraan, saling mengejar.
Ada kelegahan ketika melihat laut lepas, sesaat semua beban hidup terbang
bersama angin laut yang membelai.
Beban
tentang masa lalu yang kadang mengusik nafas bebas. Beban tentang masa lalu
yang harus dibiarkan berlalu.
“Masa
lalu biarlah hanya menjadi sejarah. Jadikan pelajaran untuk masa depan lebih
baik pun tak mengulangi kesalahan.”
“Kamu
sungguh baik Suci. Sebenarnya aku merasa sangat tidak pantas dekat denganmu.
Bahkan sekalipun melihatmu. Aku terlalu banyak membuatmu menderita, menangis,
merasakan siksaan. Sekalipun tak ada dendam di hatimu ataupun telah memaafkan,
sebenarnya aku belum bisa memaafkan diriku sendiri. Mungkin ini adalah sebuah
konsekuensi pendosa dan aku hanya bisa berharap Tuhan akan selalu menjagamu,
memberikan kebahagiaan yang berlimpah ruah untukmu.”
Suci
menarik nafas. “Sudahlah, bukankah aku sudah bilang lupakan masa lalu?”
“Tapi……”
ada keraguan yang menguap di bibir Ferdi.
Suci
menggeleng lembut.
Menjalani
hari dengan harapan-harapan baik, bukan malah membuat diri tersungkur pada
kesalahan-kesalahan di masa lampau. Percaya di masa depan lebih baik asalkan
menjaga hati mulai dari sekarang.
Keduanya
masih menatap laut lepas dan di sambar angin pantai. Ida dan Ayu masih sibuk
dengan layang-layangnya.
Selepas
bermain layang-layang di lapangan, kemudian pintah tempat ke pantai. Ferdi dan
Suci mengantar Ida dan Ayu pulang. Setelah itu keduanya kembali ke rumah,
sambil melambaikan tangan dan mengucapkan salam, Ferdi pun pamit juga untuk
pulang. Namun, sebelum ia benar-benar pergi, Suci memanggilnya.
“Lupakan
masa lalu ya?” tersenyum.
Ferdi
memberikan jempolnya dan membalas senyuman ringan.
***
Suci
berjalan mencari-cari beberapa makanan dan buah-buahan yang dibutuhkan di
rumah, hampir kulkasnya kosong dan butuh diisi. Oleh karena itu, setelah sholat
Asyar, ia cepat-cepat ke supermarket terdekat pun tanpa memberitahu Ferdi untuk
mengantarnya. Dan, tanpa sengaja ia menabrak seorang wanita paru baya yang
memiliki mata elok sepertinya.
“Maaf
bu. Maaf bu. Aku tidak sengaja.”
“Harusnya
ibu yang minta maaf nak, sudah menabrakmu,” Ibu mengambil makanan-makanan Suci
yang jatuh ke lantai dan ikut menaruhnya di keranjang Suci kembali.
“Tidak
usah bu, biar aku aja.”
“Tidak
apa-apa nak. Ini memang salah ibu.”
“Kalau
begitu makasih ya bu,” Suci menatap wajah ibu itu.
Ada
sesuatu di sana. Ada kehangatan menyeruak. Persis ketika menatap wajah ibu Nini
dan ibu yang menolongnya dulu. Sama seperti Suci, ibu yang tadi ditabraknya
menikmati sentuhan mata Suci. Seolah penawar rindu yang selama ini tertanam
sudah menemukan jalannnya sendiri. Spontan ibu itu memeluk Suci.
Dalam
dekapan sang ibu itu, Suci merasa begitu hangat pun terheran-heran sendiri
dengan perasaannya. Siapa sebenarnya ibu
ini? Dan pertanyaan itu belum terjawab, Karen ternyata gadis yang sangat
membencinya datang, Rini.
“Kenapa
kamu meluk-meluk ibu aku? Apakah kamu mau mengambil lagi orang yang aku sayangi
dariku?” sangat ketus.
Suci
hanya menganga.
“Nak,
jangan begitu dong! Ibu yang salah padanya. Sudah menabraknya,” Ibu Rini
mencoba memberikan penjelasan.
“Sudahlah
bu, mending kita pulang saja,” Rini menarik ibunya pergi.
Sementara
Suci masih penasaran dengan hatinya yang begitu tenang ketika bersama ibu Rini.
Ada apa dengannya? Siapa sebenarnya ibu itu? Apa hubungannya dengannya? Apakah
dia adalah……….?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar