post-thumbnail{float:left;margin-right:20px}

YUDHA

Rabu, 16 Mei 2018

Baiduri (27)


MASA LALU
“Yang lalu biarlah berlalu”

Ferdi dan Suci menatap duduk di bibir pantai. Menatap ombak yang sedang bermesraan, saling mengejar. Ada kelegahan ketika melihat laut lepas, sesaat semua beban hidup terbang bersama angin laut yang membelai.
Beban tentang masa lalu yang kadang mengusik nafas bebas. Beban tentang masa lalu yang harus dibiarkan berlalu.

“Masa lalu biarlah hanya menjadi sejarah. Jadikan pelajaran untuk masa depan lebih baik pun tak mengulangi kesalahan.”
“Kamu sungguh baik Suci. Sebenarnya aku merasa sangat tidak pantas dekat denganmu. Bahkan sekalipun melihatmu. Aku terlalu banyak membuatmu menderita, menangis, merasakan siksaan. Sekalipun tak ada dendam di hatimu ataupun telah memaafkan, sebenarnya aku belum bisa memaafkan diriku sendiri. Mungkin ini adalah sebuah konsekuensi pendosa dan aku hanya bisa berharap Tuhan akan selalu menjagamu, memberikan kebahagiaan yang berlimpah ruah untukmu.”
Suci menarik nafas. “Sudahlah, bukankah aku sudah bilang lupakan masa lalu?”
“Tapi……” ada keraguan yang menguap di bibir Ferdi.
Suci menggeleng lembut.
Menjalani hari dengan harapan-harapan baik, bukan malah membuat diri tersungkur pada kesalahan-kesalahan di masa lampau. Percaya di masa depan lebih baik asalkan menjaga hati mulai dari sekarang.
Keduanya masih menatap laut lepas dan di sambar angin pantai. Ida dan Ayu masih sibuk dengan layang-layangnya.
Selepas bermain layang-layang di lapangan, kemudian pintah tempat ke pantai. Ferdi dan Suci mengantar Ida dan Ayu pulang. Setelah itu keduanya kembali ke rumah, sambil melambaikan tangan dan mengucapkan salam, Ferdi pun pamit juga untuk pulang. Namun, sebelum ia benar-benar pergi, Suci memanggilnya.
“Lupakan masa lalu ya?” tersenyum.
Ferdi memberikan jempolnya dan membalas senyuman ringan.
***
Suci berjalan mencari-cari beberapa makanan dan buah-buahan yang dibutuhkan di rumah, hampir kulkasnya kosong dan butuh diisi. Oleh karena itu, setelah sholat Asyar, ia cepat-cepat ke supermarket terdekat pun tanpa memberitahu Ferdi untuk mengantarnya. Dan, tanpa sengaja ia menabrak seorang wanita paru baya yang memiliki mata elok sepertinya.
“Maaf bu. Maaf bu. Aku tidak sengaja.”
“Harusnya ibu yang minta maaf nak, sudah menabrakmu,” Ibu mengambil makanan-makanan Suci yang jatuh ke lantai dan ikut menaruhnya di keranjang Suci kembali.
“Tidak usah bu, biar aku aja.”
“Tidak apa-apa nak. Ini memang salah ibu.”
“Kalau begitu makasih ya bu,” Suci menatap wajah ibu itu.
Ada sesuatu di sana. Ada kehangatan menyeruak. Persis ketika menatap wajah ibu Nini dan ibu yang menolongnya dulu. Sama seperti Suci, ibu yang tadi ditabraknya menikmati sentuhan mata Suci. Seolah penawar rindu yang selama ini tertanam sudah menemukan jalannnya sendiri. Spontan ibu itu memeluk Suci.
Dalam dekapan sang ibu itu, Suci merasa begitu hangat pun terheran-heran sendiri dengan perasaannya. Siapa sebenarnya ibu ini? Dan pertanyaan itu belum terjawab, Karen ternyata gadis yang sangat membencinya datang, Rini.
“Kenapa kamu meluk-meluk ibu aku? Apakah kamu mau mengambil lagi orang yang aku sayangi dariku?” sangat ketus.
Suci hanya menganga.
“Nak, jangan begitu dong! Ibu yang salah padanya. Sudah menabraknya,” Ibu Rini mencoba memberikan penjelasan.
“Sudahlah bu, mending kita pulang saja,” Rini menarik ibunya pergi.
Sementara Suci masih penasaran dengan hatinya yang begitu tenang ketika bersama ibu Rini. Ada apa dengannya? Siapa sebenarnya ibu itu? Apa hubungannya dengannya? Apakah dia adalah……….?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar