KEIRIAN
“Sebenarnya,
perlahan aku tahu kebaikanmu”
Duduk di kursi
melingkari meja bundar sambil menikmati banyak makanan yang sudah dipesan Dina.
Banyak sekali, seolah untuk porsi sepuluh orang padahal mereka hanya berlima.
“Maaf
tante, kami terlalu merepotkan,” kata Suci merasa tidak enak.
“Astagfirullah.
Jangan bilang seperti itu. Ini kemauan tante sendiri,” memegang tangan Suci.
Lagi-lagi
ada kedamaian yang tidak bisa digambarkan dengan kata-kata.
“Ini
semua untukmu nak’” kalimat itu meluncur begitu saja. Tulus dari hati paling
dalam dari seorang ibu yang merindukan anakanya. Mata Dina berlinang. Pun sama
sekali ia tidak mengerti dengan dirinya. Seperti menemukan penawar rindu ketiga
memegang tangan Suci.
“Tante
baik-baik saja kan?” Suci merasa khawatir.
Terjaga.
Buru-buru Dina mengusap air matanya. Ferdi, Ida dan Ayu hanya ikut
terheran-heran.
“Ayo
kita makan sekarang, aku tahu kalian pasti kelaparan karena dari tadi pagi
belajar,” ajak Dina yang sebenarnya hanya mengemas keharuannya dengan senyuman
ringan.
Di
tempat sama, Nabila melihat mereka sedang harmonis menyantap makan siang. Tapi,
dia tidak habis pikir bagaimana mungkin mereka makan tanpa Rini? Ah, ini tida boleh dibiarkan. Pekiknya
dalam batin, kemudian berlari mencari Rini.
Ia
melewati kelas X yang berjumlah sembilan kelas, saat berada di ujung ia
berbelok menuju halaman kantor, kemudian kelas XI. Ia mencari Rini di setiap
ruangan dan akhirnya menemukannya di muka kelas XI Ipa 2 sedang membaca novel
Dilan.
“Rin,
koq kamu malah di sini asyik baca novel dan tidak tahu apa yang sedang
terjadi,” sambil mengatur nafas yang terengah-engah.
Rini
menoleh. “Memangnya ada apa?” matanya membulat, mengisyaratkan rasa penasaran.
“Mama
kamu sedang mentraktir Suci dan teman-temannya di kantin.”
“Apa?”
Rini bangkit. Nafasnya sangat berat bersama langkah cepat ia menuju kantin yang
ditunjuk Nabila.
Tidak
habis pikir, kenapa ibunya bisa melakukannya. Padahal ia sudah menceritakan
bagaimana ia membenci Suci. Ya, memang ibunya malah menasehati agar jangan
sampai membenci orang lain, hanya saja tidak mungkin. Dia sudah merebut Ferdi,
pemuda yang paling dicintai.
Dengan
amukan ganas, ia mengambil segelas air putih di depan Suci dan menuangkan ke
wajah gadis itu.
“Kamu
belum puas ya mengambil Ferdi dariku, dan sekarang kamu juga ingin mengambol
ibuku,” wajahnya memerah.
Ferdi
langsung membalas Rini dengan memberi segelas air putih di wajahnya.
“Aku
sudah pernah bilang, jangan pernah mengganggu Suci lagi atau kamu akan selalu
berhadapan denganku.”
Oh my God. Semua
yang melihat menganga. Pembelaan Ferdi begitu terlihat.
“Nak’,
kamu kenapa seperti ini? Suci itu anak yang baik. Ibu yang akan mengajaknya
makan bersama, sekaligus dengan teman-temannya,” Dina mencoba memberi
penjelasan.
Rini
melelehkan air mata kesedihan. Terlalu dalam kesakitan yang diberikan Ferdi,
sekaligus ibunya yang sekarang ikut-ikutan membela Suci.
Rini
berlari meninggalkan ibunya yang kemudian mengejarnya. Sementara Ferdi
mengambil tiga lembar tissue dan menyeka air di wajah Suci.
“Kamu
jangan pernah takut sama perlakuan jahar Rini. Aku akan terus melindungimu.”
Hah.
Semua wanita yang mendengar pemuda yang ingin melindunginya pasti merasa paling
istimewa. Jantung Suci perlahan deg-deg-gan dan beririan rasa bersalah pada
Rini. Andai ia tidak menerima ajakan ibunya, pasti tidak akan terjadi kekacauan
seperti ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar