post-thumbnail{float:left;margin-right:20px}

YUDHA

Sabtu, 12 Mei 2018

Still Hoping (17)


KETULUSAN
“Sesak itu datang menyeruak, ketika melihatmu dengannya”


Ketulusan. Selama ini ia tidak pernah memperdulikannya. Apa-apa yang diinginkan selalu ada dan saat tidak dapat digapai, ia hanya tahu itu bukan untuknya. Tuhan pasti sudah menyiapkan yang lebih baik. Namun berbeda kali ini, meskipun bibirnya berkata yang tidak sama ataupun saat bersama dengan Luna hatinya juga akan berdegup kencang. Lantas kenapa saat Cantik tertawa bersama dengan pemuda yang ditaksirnya, muncul ketidaktulusan?

Ah, sial.Jangan bilang aku jatuh cinta padanya. Meskipun hati kecilnya mengatakan itu, ia terus mengabaikan. Tidak mungkin cintanya akan terbagi. Lebih baik ia memperjuangkan cintanya, seperti kesepakatan sebelumnya.
“Kamu lagi mikirin apa sih?” Luna terheran-heran. Padahal masih pagi, Digta sudah melamun.
“Kalau ada masalah cerita dong sama aku,” lanjut gadis itu.
“Tidak apa-apa koq,” tersenyum.
Luna membalas sunggingan menawan. Digta memegang dadanya. Degupan di jantungnya sudah tidak seperti semula. Sudah tidak kuat lagi. Ada apa sebenarnya dengan hatinya?
“Tuh kan melamun lagi,” Luna menggelengkan kepala.
“Oh. Aku mau ke kelas aja dulu ya. Bye,” mengangkat bahu dan pergi tanpa meminta persetujuan Luna.
Gadis itu mendengus nafas berat. Pun sangat heran dengan sikap Digta. Biasanya mata yang dimilikinya akan selalu berfokus kepadanya. Apa yang diinginkan pasti ditanyakan. Perduli dalam segala keadaan. Saat ingin masuk kelas ataupun ingin pergi ke mana, pasti akan pamit. Kemana Digta yang dulu? Apakah dia sudah berubah sejak dia menikah dengan Cantik? Pekik Luna.
Matanya menyentuh Cantik bersama pemuda lain. Tidak lain adalah pangeran kampus. Jujur dia juga sempat menyukai bahkan sampai sekarang mengidolakan. Hanya saja, sekarang itu tidak penting melainkan apa yang terjadi di antara mereka. Luna menghampirinya.
“Hy Cantik, Hiro.”
“Hy juga kak,” Cantik tersenyum.
“Hy.”
“Kalian akrab banget ya, seperti ada sesuatu di antara kalian,” mata Luna menelusuri.
Suasana canggung sekarang.
“Oh ya, aku mau nanya sama kamu tentang Digta. Boleh tidak?”
Cantik menetralisir dalam-dalam pikirannya. Apa maksud Luna? Bukankah tadi Digta buru-buru menemuinya.
“Baiklah. Kita bicara di mana? Mumpung aku belum masuk kak.”
“Kita di depan perpus aja.”
“Baiklah, kalau begitu aku sama kak Luna dulu ya kak,” tersenyum pada Hiro.
“Okay. Aku mau ke kelas juga,” Hiro melangkah pergi.
Baik Cantik maupun Luna, keduanya menatap pemuda itu pergi. Pemuda rupawan, memiliki senyuman misterius, berkharisma dan memang benar pesona yang tidak ada matinya.
“Yuk kak,” ajak Cantik saat terjaga.
Luna mengangguk dan berjalan berisian.
Keduanya duduk di bangku-bangku yang terbuat semen. Melingkar dan di tengah-tengahnya ada meja yang juga terbuat dari bahan yang sama. Nampak cantik karya mahasiswa-mahasiswi itu, karena diwarnai dengan warna-warna cerah.
“Kamu mau ngomong apa sih kak,” Cantik penasaran, Nampak sekali dari matanya.
“Aku mau bicara tentang Digta.”
Mendadak aliran darah Cantik berdesir cepat.
“Memangnya dia kenapa?”
“Tidak kenapa-kenapa koq. Aku hanya ingin mengajaknya dinner nanti malam. Namun, sebelumnya aku mau minta izin dulu sama kamu,”
“Oh mau dinner mau berdua.”
Luna terheran, kenapa begitu cepat Cantik membaca keinginannya. Bukankah seharusnya dia marah atau bahkan tidak mengizinkan.
“Aku setuju aja koq. Selama kak Digta juga setuju,” terdengar tulus, meskipun di sisi hatinya yang lain begitu tidak senang.
Ketidaktulusan yang dikemas dengan senyuman palsu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar