post-thumbnail{float:left;margin-right:20px}

YUDHA

Minggu, 20 Mei 2018

Specia Love (29)


SEBUAH PERJUANGAN
“Meski menghitung masa, aku akan tetap mencintaimu”

Pintu rumah dibukan bibi Murni, asisten rumah tangga di rumah Ferli. malam itu, Intan terlihat anggun sekali memakai gaun putih, polesan make up yang tidak tebal ditambah hijab senada, pun tetap saja hati Ferli tidak bergerak namun juga mencoba senyum terpaksa. Hatinya tidak di sana. Ia sudah melayang pada suatu hati.
Banyak makanan yang sudah tersaji di meja. Nampak mewah seperti di restoran.
Maryam dan Bram mempersilahkan kedua tamunya menyantap makanan dan memberi kode kepada anaknya agar turut mempersilahkan. Hah. Jujur dari hatinya yang terdalam, seusatu yang dibenci Ferli adalah pemaksaan.
“Silahkan makan om, Intan.”
Keduanya tersenyum dan hati Intan menyala.
Memang Ferli adalah pilihan yang cocok untukku. Kami sama-sama dari keluarga kaya, keluarga terpandang. Beda dengan Irma, yang tentunya tidak ada apa-apanya dibandingkan aku. Pekiknya dalam batin.
Makan malam mereka cukup hening, karena Bram yang meminta untuk membicarakan perjodohannya setelah menyantap makanan dan disetujui oleh semua. Setelah hampir selesai, Ferli memberi kode Intan untuk bicara sebentar di serambi rumahnya. Intan memberi jari jempolnya.
“Apa yang ingin kamu bicarakan?” suara Intan menghentikannya memandang langit yang gelap tak berbintang.
“Apakah kamu tahu soal perjodohan ini sebelumnya?”
Intan menilik hatinya. Ia jangan sampai memberitahukan bahwa sebenarnya ia ingin sekali perjodohan ini terus berlanjut meskipun menyampingkan perasaan Ferli dan Irma. Sejenak ia memikirkan sesuatu sampai lampu di kepalnya menyala terang.
“Sebenarnya aku tahu, hanya saja aku tidak mungkin menolak permintaan ayahku. Aku sangat sayang sama dia. Belum pernah aku membantah perintahnya dan aku takut kalau aku tidak menuruti keinginannya, penyakit jantungnya akan kambuh lagi. Aku tidak mau kehilangannya. Sudah cukup aku kehilangan sosok ibu. Aku tidak ingin lagi kehilangan ayah yang sangat aku cintai,” katanya lembut sambil meneteskan air mata.
Ferli sungguh tidak tega melihat perempuan nangis. Ia mengambil sapu tangan di kantung celananya dan menyodorkannya kepada Intan.
Dilema. Harus bagaimana sekarang? Apakah ia harus melanjutkan perjodohan ini untuk menolong Intan, yng sudah dianggap adik sendiri. Lantas bagaimana dengan cintanya? Tidakkah Irma akan merasa kecewa dan sakit hati?
“Aku tahu apa yang ada di pikiranmu sekarang Fer. Aku butuh waktu untuk bicara kepada ayahku. Aku juga tidak ingin kita berhubungan tanpa ada perasaan di antara dan Irma pun pasti akan terluka jika mengetahui perjodohan kita.”
“Lantas apa yang harus kita lakukan?”
“Kalau boleh untuk sementara kita pura-pura saja meneruskan perjodohan ini untuk membahagiakan orang tua kita,” alis Intan terangkat.
“Lantas bagaimana dengan Irma?”
“Kamu tidak usah memberitahukannya. Lagian kita hanyalah pura-pura.”
Ferli menetralisir perkataan Intan. Hanya saja dia sudah pernah berjanji sebelumnya tidak akan menyembunyikan apapun dari Irma. Akan selalu bersifat terbuka.
“Oh ya, bagaimana kalau sekarang kita keluar sebentar,” Intan mengalihkan pikiran Ferli.
“Memangnya kamu mau ke mana?”
“Aku mau ke rumah Dian sebentar. Mau ambil buku tugas.”
“Hmmmm. Gimana ya?”
“Tolong dong, kali ini saja,” penuh harap.
Ferli mendengus nafas panjang. “Baiklah.”
Ferli dan Intan masuk ke dalam dan meminta izin untuk keluar bersama. Sebagai orang tua yang begitu mengharapkan perjodohan ini akan mendatangkan kebahagiaan pada anak-anaknya merasa senang. Bukankah berjalan bersama dan selalu bersama akan mendatangkan cinta?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar