KESEDIHAN
“Bagaimana
aku aku tak menangis, ketika bulan bersandar pada bintang padahal selama ini
hanya pada langit”
Ferli melajukan
mobilnya dengan kecepatan maksimum sementara Intan masih berpikir entah
bagaimana membuat Irma melihatnya sehingga merasakan apa yang dirasakannya
kemarin-kemarin. Cemburu tiada tara. Sungguh menyiksa. Ingin saja dunia di mana
langit harusnya bersatu dengan bumi.
“Kamu
akan merasakan apa yang aku rasakan Irma,” pekiknya.
Astagfirullah. Nyatanya
bukan hanya ingin merebut Ferli dari Irma, melainkan juga ingin membalas rasa
sakitnya.
“Kamu
harus membayar setiap sakit yang aku alami,” pekiknya kemudian memainkan lagi
skenario palsu.
“Boleh
singgah sebentar di apotik. Aku mau minta tolong belikan aku obat sakit
kepala,” melihat ke arah pemuda yang sebenarnya pikirannya juga kemana-mana.
Ferli
tidak merespon. Hanya melajukan mobil dengan memikirkan Irma. Intan merasa
kesal.
“Fer,
kamu dengar aku kan?” katanya dengan suara lebih lantang.
“Ah.
Apa yang kamu bilang?”
“Aku
mau minta tolong, belikan aku obat di apotik.”
“Oh,
okay.”
Beberapa
menit kemudian, Ferli menghentikan mobilnya di depan Apotik Farma dan bertanya
pada Intan obat apa yang ingin dipesannya. Setelah ia keluar dari mobilnya,
gadis itu pun mengambil ponsel Ferli. Ia menulis pesan pada Irma untuk
menemuinya di Kafe Cambeq atas nama Ferli. Ia tertawa jahat layaknya tokoh
antagonis dalam sinetron.
“Mala
mini permainan akan dimulai.”
Ferli
datang. Buru-buru ia menghapus pesan yang dikirim pada Irma.
Mobil
melaju lagi dan sebelum sampai di rumah Dian. Ia berpura-pura lagi.
“Fer,
Dian tadi sms aku, katanya kita temuin dia di Kafe Cambeq aja.”
“Memangnya
kenapa kalau di rumahnya?” mengernyit.
“Hmmm.
Di sana lagi ada acara? Nanti dia akan nyusul kita.”
“Oh.
Baiklah.”
Kamu sudah masuk juga dalam
perangkapku Fer. Pekik Intan namun tidak bersuara keras,
melainkan di dalam hati.
***
“Kamu
mau pesan apa?”
Lagi-lagi
Ferli tidak menghiraukannya.
“Fer.
Kamu memikirkan apa sih? Koq dari tadi bingung begitu,” Intan kesal.
“Apa?
Kamu bilang apa?” Ferli mengernyit.
Intan
mendengus nafas panjang.
“Kamu
mau pesan apa?”
“Oh.
Aku tidak mau pesan apa-apa. Aku sudah kenyang soalnya.”
Intan
hanya mengangguk. Kemudian ia melambaikan tangan pada salah satu pelayan kafe
dan memesan orange juice.
Beberapa
menit berlalu, Irma muncul di pintu masuk kafe dengan kepala melongo
kesana-kemari. Mencari keberadaan Ferli dan sungguh terkejutnya dirinya, ketika
ia menemukan pemudanya bersama gadis yang mencintainya.
Ia
mendekat bersama ketakutan, bersama pertanyaan yang saling membentur sampai ia
mendengar percakapan perjodohan di antara mereka.
“Jadi,
kalian berdua sudah dijodohkan?” matanya penuh dengan kaca-kaca. Ia mencoba
bertahan, namun tidak bisa. Kaca itu retak, bukan hanya tergenang di pipinya
pun hatinya.
Ferli
berdiri.
“Aku
bisa jelasin semuanya. Kamu jangan salah paham dulu.”
Irma
mendengus nafas berat. Kemudian berlari meninggalkan mereka berdua. Intan
mencoba menghentikan Ferli yang ingin mengejar Irma namun tidak berhasil.
“Sialan,”
pekiknya.
Irma
terus berlari di jalan trotoar. Ia merasa Ferli mengejarnya dan benar saja
ketika ia sempat menoleh ke belakang. Untungnya ia berlari secepat mungkin dan
bersembunyi di semak-semak.
Sungguh
sakit. Kenapa ia menyembunyikan kebenaran itu darinya? Padahal hubungan cinta
mereka dibangun atas dasar saling percaya. Bagaimana mungkin tidak dipegang
sama sekali. Ia menangis tersedu-sedu sampai menuju jalan ke rumahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar