“Aku
akan meminta sama Tuhan, untuk selalu melindungimu sampai kapanpun”
Rini berlari
terbirit-birit di trotor jalan bersama isakan tanpa melihat keadaan
sekelilingnya. Ia nyaris terjatuh ketika berlari di antara kerumunan banyak orang,
untungnya ada seorang pemuda yang menolongnya dan tidak menghiraukannya malah
kembali berlari. Ia berhenti di sebuah danau bersih. Ia tersungkur duduk di depannya.
Memandang kejernihan air di dalam danau membuatnya tangisannya semakin menjadi.
Apakah aku terlalu banyak dosa?
Sehingga apapun yang aku miliki akan direbut olehnya? Apakah aku terlalu jahat?
Satu tahun yang lalu…. Air di danau
itu memang tidak sejernih sekarang, karena belum ada yang membersihkannya. Pun
setelah diperhatikan pemerintah sebagai salah satu tempat di kota Polewali,
sudah ada pembersihnya maka airnya pun menjadi bersih bening. Akankah ada
kesamaan pada hatinya yang dulu kotor berlumpur?
Setelah
beberapa kali mendenguskan nafas panjang, ia melihat lingkaran jam di
tangannya. Ia hampir terlambat, segera ia bergegas mengangkat bahu dan kembali
ke sekolah. Walaupun akan berhadapan dengan satpam, ia harus rela dihukum.
Diakui hatinya masih sakit, hanya saja sudah beberapa kali berlumpur dalam
kesedihan jadi harus dinikmati saja, seperti udara yang membelai setiap detik.
“Kamu
dari mana saja nak?” Dina yang nampak sangat khawatir sedang menunggunya di
depan gerbang sekolah.
Ia
menatap wajah sang ibu? Ingin memeriksa apakah masih ada rasa sayang baginya
atau mmang sudah tidak ada.
“Jawab
nak’, jangan buat ibu khawatir seperti ini,” mimic Dina seolah ingin menangis.
“Aku
tidak kemana-mana koq bu. Aku hanya ingin menangis saja.”
“Nak’….”
Dan,
sebelum sempat menjelaskan dentuman bel masuk sudah mengudara.
“Bu.
Lebih baik aku masuk sekarang, nanti aku terlambat.”
“Baiklah,”
senyum terpaksa.
Suci
dan Ferdi sedang menunggunya di depan kelas. Suci juga nampak khawatir
sementara pemuda yang disukainya lagi-lagi melihat dengan perasaan tidak suka.
“Kamu
dari mana saja Rin? Kami menunggumu.”
“Tidak
usah pura-pura care sama aku. Aku tahu kamu itu seperti apa.”
“Sudahlah
Suci, jangan hiraukan dia. Memang dia gadis yang tidak tahu terima kasih,”
sekonyong-konyongnya Ferdi membela, “Lebih baik kita masuk sekarang, Pak Latif
sudah berjalan menuju kelas,” lanjutnya.
Andai
bisa direngkuhnya, pasti sudah dipeluknya Rini. Suci ingin sekali mengatakan
bahwa dia pernah berniat ataupun melakukan apa yang seperti dituduhkan padanya.
Ia akui memang sudah menaruh perasaan pada Ferdi dan juga menyukai ibunya, hanya
saja ia tidak pernah meminta justru mereka datang dengan sendiri. Haruskah ia menghindar? Sekarang
perasaan itu hinggap di hatinya.
“Kamu
lagi memikirkan apa Suci?” Ferdi yang sekarang merasa khawatir.
“Tidak
apa-apa koq,” tersenyum tipis.
***
Suci berlari mengejar
Rini menuju perpustakaan.
“Rin,
aku boleh bicara sebentar?”
Rini
melihat galak.
“Jangan
ganggu aku. Lagian aku juga tidak akan mengganggumu lagi. Kamu boleh ambil apa
saja yang sudah aku miliki.”
“Apa
maksud kamu? Aku tidak pernah berniat untuk mengambil apapun darimu.”
“Ha?
Kamu pikir aku percaya?”
“Ya,
kamu harus percaya.”
“Bulshit.
Aku tidak akan percaya.”
“Kalau
begitu aku akan membuat kamu percaya.”
Rini
melirik gadis di depannya. Benar-benar sudah berubah. Ada kekuatan yang sudah
nampak. Secepatnya ia harus mengambil kesempatan berlian.
“Ada
satu cara yang bisa membuaku percaya padamu?”
“Apa
itu?”
“Jauhi
ibuku dan Ferdi.”
Mendadak
Suci bungkam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar