post-thumbnail{float:left;margin-right:20px}

YUDHA

Senin, 04 Juni 2018

Baiduri (31)


MASIH MARAH DENGANMU
“Aku akan meminta sama Tuhan, untuk selalu melindungimu sampai kapanpun”

Rini berlari terbirit-birit di trotor jalan bersama isakan tanpa melihat keadaan sekelilingnya. Ia nyaris terjatuh ketika berlari di antara kerumunan banyak orang, untungnya ada seorang pemuda yang menolongnya dan tidak menghiraukannya malah kembali berlari. Ia berhenti di sebuah danau bersih. Ia tersungkur duduk di depannya. Memandang kejernihan air di dalam danau membuatnya tangisannya semakin menjadi.

Apakah aku terlalu banyak dosa? Sehingga apapun yang aku miliki akan direbut olehnya? Apakah aku terlalu jahat?
Satu tahun yang lalu…. Air di danau itu memang tidak sejernih sekarang, karena belum ada yang membersihkannya. Pun setelah diperhatikan pemerintah sebagai salah satu tempat di kota Polewali, sudah ada pembersihnya maka airnya pun menjadi bersih bening. Akankah ada kesamaan pada hatinya yang dulu kotor berlumpur?
Setelah beberapa kali mendenguskan nafas panjang, ia melihat lingkaran jam di tangannya. Ia hampir terlambat, segera ia bergegas mengangkat bahu dan kembali ke sekolah. Walaupun akan berhadapan dengan satpam, ia harus rela dihukum. Diakui hatinya masih sakit, hanya saja sudah beberapa kali berlumpur dalam kesedihan jadi harus dinikmati saja, seperti udara yang membelai setiap detik.
“Kamu dari mana saja nak?” Dina yang nampak sangat khawatir sedang menunggunya di depan gerbang sekolah.
Ia menatap wajah sang ibu? Ingin memeriksa apakah masih ada rasa sayang baginya atau mmang sudah tidak ada.
“Jawab nak’, jangan buat ibu khawatir seperti ini,” mimic Dina seolah ingin menangis.
“Aku tidak kemana-mana koq bu. Aku hanya ingin menangis saja.”
“Nak’….”
Dan, sebelum sempat menjelaskan dentuman bel masuk sudah mengudara.
“Bu. Lebih baik aku masuk sekarang, nanti aku terlambat.”
“Baiklah,” senyum terpaksa.
Suci dan Ferdi sedang menunggunya di depan kelas. Suci juga nampak khawatir sementara pemuda yang disukainya lagi-lagi melihat dengan perasaan tidak suka.
“Kamu dari mana saja Rin? Kami menunggumu.”
“Tidak usah pura-pura care sama aku. Aku tahu kamu itu seperti apa.”
“Sudahlah Suci, jangan hiraukan dia. Memang dia gadis yang tidak tahu terima kasih,” sekonyong-konyongnya Ferdi membela, “Lebih baik kita masuk sekarang, Pak Latif sudah berjalan menuju kelas,” lanjutnya.
Andai bisa direngkuhnya, pasti sudah dipeluknya Rini. Suci ingin sekali mengatakan bahwa dia pernah berniat ataupun melakukan apa yang seperti dituduhkan padanya. Ia akui memang sudah menaruh perasaan pada Ferdi dan juga menyukai ibunya, hanya saja ia tidak pernah meminta justru mereka datang dengan sendiri. Haruskah ia menghindar? Sekarang perasaan itu hinggap di hatinya.
“Kamu lagi memikirkan apa Suci?” Ferdi yang sekarang merasa khawatir.
“Tidak apa-apa koq,” tersenyum tipis.
***
Suci berlari mengejar Rini menuju perpustakaan.
“Rin, aku boleh bicara sebentar?”
Rini melihat galak.
“Jangan ganggu aku. Lagian aku juga tidak akan mengganggumu lagi. Kamu boleh ambil apa saja yang sudah aku miliki.”
“Apa maksud kamu? Aku tidak pernah berniat untuk mengambil apapun darimu.”
“Ha? Kamu pikir aku percaya?”
“Ya, kamu harus percaya.”
“Bulshit. Aku tidak akan percaya.”
“Kalau begitu aku akan membuat kamu percaya.”
Rini melirik gadis di depannya. Benar-benar sudah berubah. Ada kekuatan yang sudah nampak. Secepatnya ia harus mengambil kesempatan berlian.
“Ada satu cara yang bisa membuaku percaya padamu?”
“Apa itu?”
“Jauhi ibuku dan Ferdi.”
Mendadak Suci bungkam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar