post-thumbnail{float:left;margin-right:20px}

YUDHA

Senin, 04 Juni 2018

Baiduri (32)


KEBENCIAN
“Berapi-api

Suci sudah berada di dalam mobil setelah berbicara dengan Rini. Ferdi hanya melihatnya dari kaca spion, nampak sangat bingung namun tidak ada suara yang menguap ke udara. Sempat beberapa kali bertanya hanya saja tak ada respon. Setelah membunyikan klakson baru gadis itu kaget dan wajahnya berubah menjad teduh. Ferdi kembali bertanya.

“Apa yang sedang kamu pikirkan kenapa kamu seolah memikirkan sesuatu yang sangat berat.”
Lagi-lagi hanya tatapan teduh.
Mobilpun terus dilajukan Ferdi sampai berada di depan rumah gadis yang sudah satu bulan menjadi majikannya. Sekali mencoba menerawang apa yang dipikirkan Suci, tetapi bagaimanapun ia memikirkan dan memandangnya dengan seksama ia tidak akan pernah tahu kecuali diberi penjelasan.
Jangan sampai berlarut-larut. Toh sebelumnya sudah pernah disampaikan masalahnya adalah masalah bagi Ferdi juga. Tidak ingin ia sendiri memikul kepenatan dalam hidup.
“Tolong katakan! Apa yang sedang mengganjal di hatimu sekarang?” penasaran di mata Ferdi begitu menyala.
Suci mendengus nafas panjang. Beberapa menit yang lalu, ia sudah memutuskan hal yang sangat berat. Berat untuk dikatakan apalagi untuk dilakoni.
“Mulai sekarang, aku ingin kamu menjauhiku,” katanya kemudian bergegas pergi.
Sebelum sempat mengejar, pintu rumahnya sudah ditutup.
Ah, siapa yang sudah mencuci otakmu Suci? Kenapa kamu tiba-tiba berubah hari ini? Padahal tadi pagi semuanya baik-baik saja. Lantas kenapa kamu berubah? Pasti ada yang telah terjadi? Batin Ferdi kemudian mengambil ponsel di saku celananya.
“Assalam. Kamu di mana?”
“Waalaikumsalam. Kenapa kamu nanya-nanya? Apakah kamu sudah sadar bahwa kamu hanya membutuhkanku, bukan Suci?”
“Jangan pernah bermimpi indah di siang hal yang mustahil akan terjadi.”
“Terus untuk apa kamu mencariku?”
“Katakan saja kamu di mana?”
“Aku sekarang masih di sekolah. Di perpustakaan.”
“Okay. Aku akan ke sana sekarang juga. Wassalam”
Sebelum sempat menjawab. Ferdi sudah memutuskan sambungnya ponselnya membuat Rini sedikit kesal, namun ada kebahagiaan tersirat. Baru pertama kali, pemuda yang disayanginya datang menemuinya.
“Apa yang sudah kamu katakana pada Suci?”
Padahal baru saja merasa sedikit senang dan pemuda itu baru duduk beberapa detik lantas langsung bersikap seperti pengacara di pengadilan.
“Apa maksud kamu?”
“Jangan pura-pura tidak tahu atau pura-pura bodoh. Aku tahu kamu yang mencuci otak Suci kan, sehingga ia tiba-tiba berubah seperti ini,” suara Ferdi sediki lebih lantang. Untungnya mereka berdua berada di lantai dua perpustakaan, yang penjaganya berada di pojok dekat tangga turun sehingga tidak mendengar percakapan di antara mereka.
“Aku benar-benar tidak tahu apa yang kamu katakana? Kamu jangan pernah menuduh saya tanpa bukti.”
“Ah, sudahlah. Aku tahu kamu. Aku tahu kamu itu cewek seperti apa.”
Muncul kaca-kaca di mata Rini. Pemuda yang begitu dicintainya rela berkata kasar padanya hanya demi Suci, membuat kemarahan di hatinya semakin menyala.
“Pokoknya kalau sampai aku menemukan bukti bahwa kamu yang sudah mencuci otak gadis yang aku sayangi maka aku tidak akan segan-segan melakukan sesuatu hal yang buruk kepadamu. Camkan itu,” Ferdi lalu dengan amarah yang masih meledak-ledak.
Dan, sekarang air matanya mengalir ke pipinya. Sungguh berat menghadapi kenyataan yang terjadi. Rini mengusap air matanya.
“Aku tidak boleh lemah. Aku tidak boleh cengeng. Hah. Mereka harus merasakan apa yang aku rasakan,” katanya dengan kebencian yang berapi-api.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar