KEBENCIAN
Suci sudah berada di
dalam mobil setelah berbicara dengan Rini. Ferdi hanya melihatnya dari kaca
spion, nampak sangat bingung namun tidak ada suara yang menguap ke udara.
Sempat beberapa kali bertanya hanya saja tak ada respon. Setelah membunyikan
klakson baru gadis itu kaget dan wajahnya berubah menjad teduh. Ferdi kembali
bertanya.
“Apa
yang sedang kamu pikirkan kenapa kamu seolah memikirkan sesuatu yang sangat
berat.”
Lagi-lagi
hanya tatapan teduh.
Mobilpun
terus dilajukan Ferdi sampai berada di depan rumah gadis yang sudah satu bulan
menjadi majikannya. Sekali mencoba menerawang apa yang dipikirkan Suci, tetapi
bagaimanapun ia memikirkan dan memandangnya dengan seksama ia tidak akan pernah
tahu kecuali diberi penjelasan.
Jangan
sampai berlarut-larut. Toh sebelumnya sudah pernah disampaikan masalahnya
adalah masalah bagi Ferdi juga. Tidak ingin ia sendiri memikul kepenatan dalam
hidup.
“Tolong
katakan! Apa yang sedang mengganjal di hatimu sekarang?” penasaran di mata
Ferdi begitu menyala.
Suci
mendengus nafas panjang. Beberapa menit yang lalu, ia sudah memutuskan hal yang
sangat berat. Berat untuk dikatakan apalagi untuk dilakoni.
“Mulai
sekarang, aku ingin kamu menjauhiku,” katanya kemudian bergegas pergi.
Sebelum
sempat mengejar, pintu rumahnya sudah ditutup.
Ah, siapa yang sudah mencuci otakmu
Suci? Kenapa kamu tiba-tiba berubah hari ini? Padahal tadi pagi semuanya
baik-baik saja. Lantas kenapa kamu berubah? Pasti ada yang telah terjadi? Batin
Ferdi kemudian mengambil ponsel di saku celananya.
“Assalam.
Kamu di mana?”
“Waalaikumsalam.
Kenapa kamu nanya-nanya? Apakah kamu sudah sadar bahwa kamu hanya membutuhkanku,
bukan Suci?”
“Jangan
pernah bermimpi indah di siang hal yang mustahil akan terjadi.”
“Terus
untuk apa kamu mencariku?”
“Katakan
saja kamu di mana?”
“Aku
sekarang masih di sekolah. Di perpustakaan.”
“Okay.
Aku akan ke sana sekarang juga. Wassalam”
Sebelum
sempat menjawab. Ferdi sudah memutuskan sambungnya ponselnya membuat Rini
sedikit kesal, namun ada kebahagiaan tersirat. Baru pertama kali, pemuda yang
disayanginya datang menemuinya.
“Apa
yang sudah kamu katakana pada Suci?”
Padahal
baru saja merasa sedikit senang dan pemuda itu baru duduk beberapa detik lantas
langsung bersikap seperti pengacara di pengadilan.
“Apa
maksud kamu?”
“Jangan
pura-pura tidak tahu atau pura-pura bodoh. Aku tahu kamu yang mencuci otak Suci
kan, sehingga ia tiba-tiba berubah seperti ini,” suara Ferdi sediki lebih
lantang. Untungnya mereka berdua berada di lantai dua perpustakaan, yang
penjaganya berada di pojok dekat tangga turun sehingga tidak mendengar
percakapan di antara mereka.
“Aku
benar-benar tidak tahu apa yang kamu katakana? Kamu jangan pernah menuduh saya
tanpa bukti.”
“Ah,
sudahlah. Aku tahu kamu. Aku tahu kamu itu cewek seperti apa.”
Muncul
kaca-kaca di mata Rini. Pemuda yang begitu dicintainya rela berkata kasar
padanya hanya demi Suci, membuat kemarahan di hatinya semakin menyala.
“Pokoknya
kalau sampai aku menemukan bukti bahwa kamu yang sudah mencuci otak gadis yang
aku sayangi maka aku tidak akan segan-segan melakukan sesuatu hal yang buruk
kepadamu. Camkan itu,” Ferdi lalu dengan amarah yang masih meledak-ledak.
Dan,
sekarang air matanya mengalir ke pipinya. Sungguh berat menghadapi kenyataan
yang terjadi. Rini mengusap air matanya.
“Aku
tidak boleh lemah. Aku tidak boleh cengeng. Hah. Mereka harus merasakan apa
yang aku rasakan,” katanya dengan kebencian yang berapi-api.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar