post-thumbnail{float:left;margin-right:20px}

YUDHA

Sabtu, 16 Juni 2018

Special Love (31)


TERJEPIT
“Jangan pernah menangis di hadapanku. Aku sungguh tidak tega melihatnya”

Saat tengah malam tiba, setelah beberapa kali menerima telepon dari Ferli bahkan tidak mau sama sekali membukakannya pintu. Hah. Sakit yang diberikan mengalahkan cinta indah yang juga sudah diberikannya. Irma memilih memanjatkan doa pada Tuha tentang segala isi hatinya.
“Allah, kalau dia memang jodohku maka dekatkanlah. Pun kalau bukan takdirku, maka buat ia jauh dariku.”
Ia menikmati tangisannya yang menderu setelahnya merasa lebih. Benar apa yang dikatakan orang, ketika isakan itu selesai maka akan sedikit menemukan kelegahan meskipun nyeri di jantungnya masih terasa.

Hari berlalu. Ia melihat dirinya di dalam cermin, khususnya matanya yang sedikit membengkak. Ah. Benar-benar ia menangis semalaman hanya karena seorang pemuda. Sebenarnya ia juga tidak ingin melakukan, tetapi air mata itu meleleh sendiri. Dan sekarang apa yang harus dilakukan? Ia bingung. Untungnya beberapa detik setelahnya, ia menemukan kaca mata yang sering dipakainya ketika menatap layar laptop. Segera diambilnya, kemudian memakainya dan berkaca.
Ia mengangguk pelan. “Ternyata tidak buruk juga,” katanya kemudian mengambil tas ranselnya. Dan alangkah terkejutnya, ketika mendapati Ferli tertidur di pintunya dan tersungkur jatuh ketika ia membuka.
Ferli terbangun dan langsung tersenyum kepadanya. Buru-buru Irma mendorong Ferdi dan ingin menutupkannya pintu, hanya saja Ferli  bertahan sampai tangannya terjepit. Terpaksa pun ia membuka kembali pintu.
“Apakah kamu gila?”
“Ia, aku memang sudah gila.”
Irma melihatnya dengan khawatir, langsung saja memegang tangannya.
“Ini harus segera diobati.”
“Tidak usah. Yang paling terpenting adalah kamu harus mendengarkan penjelasanku.”
Irma meleguhkan nafas panjang.
“Baiklah. Aku akan mendengarkan penjelasanmu tetapi sambil mengobati tanganmu ini.”
Ferli tersenyum menang.
Keduanya berjalan menuju serambi asrama lantai yang telah disediakan beberapa kursi bagi para penyewa untuk melihat pemandangan dari atas asrama. Ferli menatap lepas pemandangan yang disuguhkan, laut yang bisa dilihat dan kendaraan yang berlalu lalang, juga atap rumah warga. Sementara Irma sibuk memberikan betadine di tangannya.
“Irma. Aku memang dijodohkan dengan Intan, tapi apakah kamu tahu bahwa aku tidak akan pernah menerima perjodohan ini.”
Irma kemudian mengambil perban dan menempelkannya di luka pemuda yang mencoba menjelaskan keadaan sebenarnya.
“Ayahku dan ayah Intan menjodohkan kami hanya karena satu alasan.”
Mata Irma menyala penasaran.
“Mereka ingin menyatukan perusahaan tetapi menyampingkan perasaan anaknya.”
Dan, mendadak wajah Ferli mendung.
“Irma. Apakah kamu mau percaya padaku?” Kali ini ia melihat mata Irma penuh dengan harapan.
Tanpa berpikir Irma mengangguk.
“Kalau begitu ikut aku sekarang juga,” sekonyong-konyongnya Ferli menariknya.
Buru-buru gadis itu menarik tangannya.
“Tidak usah berpegangan, kita belum halal.”
“Maaf.”
“Aku juga minta maaf tadi menyentuh tanganmu saat mengobati lukamu.”
“Itukan mendesak.”
“Ayo kita pergi,” Irma mengambil tasnya dan siap pergi entah kemana bersama Ferli.
***
Seketika perasaan senang terganti dengan rasa was-was. Ferli ternyata membawanya ke rumahnya untuk bertemu orang tuanya. Hah. Apa yang harus dilakukan? Tidak ada persiapan sama sekali. Tidak ada latihan sama sekali. Bagaimana kalau sampai ia salah bicara? Bagaimana kalau ia bertingkah konyol?
“Kamu tidak usah takut. Aku ada di sini koq!” Ferli tersenyum manis.
Kekuatan yang tersimpan di dasar hati sekarang terbit seperti matahari yang menyinari bumi. Memberi penerangan setelah kegelapan menguasai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar