“Jangan
pernah menangis di hadapanku. Aku sungguh tidak tega melihatnya”
Saat tengah malam tiba,
setelah beberapa kali menerima telepon dari Ferli bahkan tidak mau sama sekali
membukakannya pintu. Hah. Sakit yang diberikan mengalahkan cinta indah yang
juga sudah diberikannya. Irma memilih memanjatkan doa pada Tuha tentang segala
isi hatinya.
“Allah,
kalau dia memang jodohku maka dekatkanlah. Pun kalau bukan takdirku, maka buat
ia jauh dariku.”
Ia
menikmati tangisannya yang menderu setelahnya merasa lebih. Benar apa yang
dikatakan orang, ketika isakan itu selesai maka akan sedikit menemukan
kelegahan meskipun nyeri di jantungnya masih terasa.
Hari
berlalu. Ia melihat dirinya di dalam cermin, khususnya matanya yang sedikit
membengkak. Ah. Benar-benar ia menangis semalaman hanya karena seorang pemuda.
Sebenarnya ia juga tidak ingin melakukan, tetapi air mata itu meleleh sendiri.
Dan sekarang apa yang harus dilakukan? Ia bingung. Untungnya beberapa detik
setelahnya, ia menemukan kaca mata yang sering dipakainya ketika menatap layar
laptop. Segera diambilnya, kemudian memakainya dan berkaca.
Ia
mengangguk pelan. “Ternyata tidak buruk juga,” katanya kemudian mengambil tas
ranselnya. Dan alangkah terkejutnya, ketika mendapati Ferli tertidur di
pintunya dan tersungkur jatuh ketika ia membuka.
Ferli
terbangun dan langsung tersenyum kepadanya. Buru-buru Irma mendorong Ferdi dan
ingin menutupkannya pintu, hanya saja Ferli
bertahan sampai tangannya terjepit. Terpaksa pun ia membuka kembali
pintu.
“Apakah
kamu gila?”
“Ia,
aku memang sudah gila.”
Irma
melihatnya dengan khawatir, langsung saja memegang tangannya.
“Ini
harus segera diobati.”
“Tidak
usah. Yang paling terpenting adalah kamu harus mendengarkan penjelasanku.”
Irma
meleguhkan nafas panjang.
“Baiklah.
Aku akan mendengarkan penjelasanmu tetapi sambil mengobati tanganmu ini.”
Ferli
tersenyum menang.
Keduanya
berjalan menuju serambi asrama lantai yang telah disediakan beberapa kursi bagi
para penyewa untuk melihat pemandangan dari atas asrama. Ferli menatap lepas
pemandangan yang disuguhkan, laut yang bisa dilihat dan kendaraan yang berlalu
lalang, juga atap rumah warga. Sementara Irma sibuk memberikan betadine di
tangannya.
“Irma.
Aku memang dijodohkan dengan Intan, tapi apakah kamu tahu bahwa aku tidak akan
pernah menerima perjodohan ini.”
Irma
kemudian mengambil perban dan menempelkannya di luka pemuda yang mencoba
menjelaskan keadaan sebenarnya.
“Ayahku
dan ayah Intan menjodohkan kami hanya karena satu alasan.”
Mata
Irma menyala penasaran.
“Mereka
ingin menyatukan perusahaan tetapi menyampingkan perasaan anaknya.”
Dan,
mendadak wajah Ferli mendung.
“Irma.
Apakah kamu mau percaya padaku?” Kali ini ia melihat mata Irma penuh dengan
harapan.
Tanpa
berpikir Irma mengangguk.
“Kalau
begitu ikut aku sekarang juga,” sekonyong-konyongnya Ferli menariknya.
Buru-buru
gadis itu menarik tangannya.
“Tidak
usah berpegangan, kita belum halal.”
“Maaf.”
“Aku
juga minta maaf tadi menyentuh tanganmu saat mengobati lukamu.”
“Itukan
mendesak.”
“Ayo
kita pergi,” Irma mengambil tasnya dan siap pergi entah kemana bersama Ferli.
***
Seketika perasaan
senang terganti dengan rasa was-was. Ferli ternyata membawanya ke rumahnya
untuk bertemu orang tuanya. Hah. Apa yang harus dilakukan? Tidak ada persiapan
sama sekali. Tidak ada latihan sama sekali. Bagaimana kalau sampai ia salah
bicara? Bagaimana kalau ia bertingkah konyol?
“Kamu
tidak usah takut. Aku ada di sini koq!” Ferli tersenyum manis.
Kekuatan
yang tersimpan di dasar hati sekarang terbit seperti matahari yang menyinari
bumi. Memberi penerangan setelah kegelapan menguasai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar