“Biarkan
hatimu yang bicara”
Cantik menengok kesana-kemari.
Retinanya berhenti pada bangku pojok di sebelah kanan perpustakaan. Ia tercengang.
Padahal ia juga sudah menunggu dari tadi. Kalau bukan Hiro mungkin saja ia akan
terus kedinginan. Ia berdendang dengan hatinya. Rupanya Digta akan selalu mengutamakan
Luna. Dirinya bukanlah apa-apa. Nampak matanya berkaca-kaca menyadari hal itu, apalagi
sepintas Digta dari jauh melihat dengan wajah tidak senang kemudian membuang muka.
Cantik mengepal tangannya sendiri. Jangan sampai kaca-kaca di wajahnya retak. Perasaan
cemburu yang semakin jelas dirasakan tidak boleh merusak harinya bahkan ketahuan.
Toh hubungan yang mengikat mereka selama ini
hanya sebuah kepalsuan belaka. Dia harus bisa mengemas hatinya lebih pintar
lagi. Walaupun butuh waktu, karena perlahan ia sadar bahwa Digta adalah cinta pertamanya,
bukan Hiro yang hanya dikaguminya sebagai salah satu makhluk ciptaan Allah yang
rupawan. Ya, perlahan ia merasakan sendiri degupan jantung saat berada di dekat
Digta lebih meremangkan kebahagiaan sejati, sangat berbeda dengan pemuda yang
sekarang tersenyum ringan kepadanya.
Cantik
mencoba membalas dengan senyuman serupa, pun Hiro meras. Sangat jelas terpampang
di wajah imutnya saat tak ada pembicaraan setelahnya.
“Kamu
baik-baik saja kan?”
Karena
khawatir Hiro bertanya. Sebelumnya ia merasa gadis ayu di sampingnya nampak baik-baik
saja. Cantik menikmati hujan yang sedang berlarian mesra ke bumi. Hiro juga menyadari
setelah Cantik melihat ke arah Digta dan Luna, wajahnya berubah mendung.
“Apakah
ini karena mereka berdua?” menerka-nerka.
Astagfirullah. Jangan sampai Hiro tahu,
pun akan terbongkar hubungan yang selama ini dirasahasiakan.
Batin Cantik.
“Ah,
tidak ada apa-apa koq. Aku hanya senang saja melihat hujan yang datang pagi ini.
Mengingatkan aku sebuah great moments.”
Ya,
Flash back. Great moments. Di mana hujan
yang telah membawa dirinya dan Digta menikah di usia muda. Sebenarnya ia senang
walaupun sekarang diserang perasaan yang sebenarnya tidak perlu ada.
Ah pasti ada sesuatu di sini. Tidak
mungkin Cantik menangis begitu saja. Hati Digta menelusuri keanehan
yang terjadi pada Cantik, pun pada Digta dan Luna. Haruskah ia bertanya pada Luna? Lanjutnya berpikir apa yang harus dilakukan.
***
Cantik melangkah ringan
menuruni tangga ke lantai satu perpustakaan. Hujan sudah reda dan sebentar lagi
ia akan masuk kelas. Tapi karena tidak memperhatikan licinnya jalan, ia nyaris terjatuh
dan untung ditahan kuat oleh Hiro.
“Hati-hati
dong Cantik.Jangan sampai kamu jatuh,” nampak sangat khawatir.
Digta
dan Luna yang juga ingin menuruni tangga, melihat mereka. Digta merasakan perasaan
sama ketika Cantik melihat dirinya dengan Luna. Mendadak kakinya seakan lumpuh.
Perhatiannya ingin dialihkan tapi tidak semudah itu. Ia terus memandang dengan wajah
memerah kepada keduanya.
“Makasih
ya,” buru-buru Cantik melepaskan pegangan tangan Hiro dan kemudian kembali berjalan
menuruni tangga.
***
Di sebuahserambi gedung
fakultas pendidikan, terlihat deretan pot-pot bunga yang tersusun rapi di
setiap sisinya. Namun di antaranya ada beberapa kusri yang disediakan untuk mahasiswa,
sekedar duduk menunggu teman ataupun internetan gratis. Berbeda dengan Hiro, ia
tengah menunggu Luna untuk memberikan serbuan pertanyaan. Untungnya tidak menunggu
lama, yang dimaksud pun terlihat.
“Boleh
bicara sebentarkan?” lembut bertanya.
Jujur
ada perasaan senang melirik Luna ketika pemuda pujaan kampus itu datang menemuinya,
namun justru membuat khawatir Digta ketika melihatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar