post-thumbnail{float:left;margin-right:20px}

YUDHA

Senin, 04 Juni 2018

Still Hoping (24)


“Biarkan hatimu yang bicara”

Cantik menengok kesana-kemari. Retinanya berhenti pada bangku pojok di sebelah kanan perpustakaan. Ia tercengang. Padahal ia juga sudah menunggu dari tadi. Kalau bukan Hiro mungkin saja ia akan terus kedinginan. Ia berdendang dengan hatinya. Rupanya Digta akan selalu mengutamakan Luna. Dirinya bukanlah apa-apa. Nampak matanya berkaca-kaca menyadari hal itu, apalagi sepintas Digta dari jauh melihat dengan wajah tidak senang kemudian membuang muka. Cantik mengepal tangannya sendiri. Jangan sampai kaca-kaca di wajahnya retak. Perasaan cemburu yang semakin jelas dirasakan tidak boleh merusak harinya bahkan ketahuan.
Toh hubungan yang mengikat mereka selama ini hanya sebuah kepalsuan belaka. Dia harus bisa mengemas hatinya lebih pintar lagi. Walaupun butuh waktu, karena perlahan ia sadar bahwa Digta adalah cinta pertamanya, bukan Hiro yang hanya dikaguminya sebagai salah satu makhluk ciptaan Allah yang rupawan. Ya, perlahan ia merasakan sendiri degupan jantung saat berada di dekat Digta lebih meremangkan kebahagiaan sejati, sangat berbeda dengan pemuda yang sekarang tersenyum ringan kepadanya.
Cantik mencoba membalas dengan senyuman serupa, pun Hiro meras. Sangat jelas terpampang di wajah imutnya saat tak ada pembicaraan setelahnya.
“Kamu baik-baik saja kan?”
Karena khawatir Hiro bertanya. Sebelumnya ia merasa gadis ayu di sampingnya nampak baik-baik saja. Cantik menikmati hujan yang sedang berlarian mesra ke bumi. Hiro juga menyadari setelah Cantik melihat ke arah Digta dan Luna, wajahnya berubah mendung.
“Apakah ini karena mereka berdua?” menerka-nerka.
Astagfirullah. Jangan sampai Hiro tahu, pun akan terbongkar hubungan yang selama ini dirasahasiakan. Batin Cantik.
“Ah, tidak ada apa-apa koq. Aku hanya senang saja melihat hujan yang datang pagi ini. Mengingatkan aku sebuah great moments.”
Ya, Flash back. Great moments. Di mana hujan yang telah membawa dirinya dan Digta menikah di usia muda. Sebenarnya ia senang walaupun sekarang diserang perasaan yang sebenarnya tidak perlu ada.
Ah pasti ada sesuatu di sini. Tidak mungkin Cantik menangis begitu saja. Hati Digta menelusuri keanehan yang terjadi pada Cantik, pun pada Digta dan Luna. Haruskah ia bertanya pada Luna? Lanjutnya berpikir apa yang harus dilakukan.
***
Cantik melangkah ringan menuruni tangga ke lantai satu perpustakaan. Hujan sudah reda dan sebentar lagi ia akan masuk kelas. Tapi karena tidak memperhatikan licinnya jalan, ia nyaris terjatuh dan untung ditahan kuat oleh Hiro.
“Hati-hati dong Cantik.Jangan sampai kamu jatuh,” nampak sangat khawatir.
Digta dan Luna yang juga ingin menuruni tangga, melihat mereka. Digta merasakan perasaan sama ketika Cantik melihat dirinya dengan Luna. Mendadak kakinya seakan lumpuh. Perhatiannya ingin dialihkan tapi tidak semudah itu. Ia terus memandang dengan wajah memerah kepada keduanya.
“Makasih ya,” buru-buru Cantik melepaskan pegangan tangan Hiro dan kemudian kembali berjalan menuruni tangga.
***
Di sebuahserambi gedung fakultas pendidikan, terlihat deretan pot-pot bunga yang tersusun rapi di setiap sisinya. Namun di antaranya ada beberapa kusri yang disediakan untuk mahasiswa, sekedar duduk menunggu teman ataupun internetan gratis. Berbeda dengan Hiro, ia tengah menunggu Luna untuk memberikan serbuan pertanyaan. Untungnya tidak menunggu lama, yang dimaksud pun terlihat.
“Boleh bicara sebentarkan?” lembut bertanya.
Jujur ada perasaan senang melirik Luna ketika pemuda pujaan kampus itu datang menemuinya, namun justru membuat khawatir Digta ketika melihatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar