MUSIM
HUJAN
“Aku
tidak ingin kalau kamu sampai sakit.”
Awan kelabu bergelantungan
di atas langit. Tidak seperti biasa warna kuning yang
mendominasi bumi. Orang-orang sudah keluar dari rumahnya, Nampak cepat-cepat takut
kalau-kalau hujan akan menghadang sebelum sampai di tempat kerja ataupun kampus
seperti Digta dan Cantik. Ada yang menggunakan mobil, motor, sepeda, bahkan jalan
kaki yang Nampak sangat mempercepat langkah.
Guntur
di ujung barat mulai berbunyi. Tanda-tanda akan turunnya air langit seolah benar
saja.
“Cantik
ayo cepat ke kampusnya nanti keburu hujan,” kata Digta, suara yang keras.
“Ini
sudah siap,” wajah Cantik merengut.
Waw. Masya Allah, sungguh cantik. Pakaian
sederhana dan polesan make up seadanya menampakkan inner beauty dalam dirinya. Tak dapat disangkal di lubuk hati terdalam
Digta, istrinya adalah salah satu makhluk Allah yang cantik.
“Kamu
ni lama banget dandannya,” menghilangkan rasa gerogi dengan sikap pura-pura kesal.
Ada apa dengan Digta? Padahal kemarin
sangat jaim dan akan berbicara saat yang penting. Sudahkah dilupakan persoalan kemarin?
Batin
Cantik.
“Kamu
lagi mikirin apa?” Digta mengganggu rasa penasarannya.
Cantik
tersenyum manis padanya.
Yang
berlalu biarlah berlalu. Toh lebih baik berbaikan dari pada terus-terusan kesal
satu sama lain.
Cantik
mendongak ke atas langit. Ia mengamati awan-awan hitam yang menggelantung indah
memanggil hujan membasahi bumi. Sudah dirasakan bagaimana angin ikut memanggil
yang daun-daun pepohonan seolah lepas dari batangnya. Matanya membulat.
Ya,
lebih baik mereka berangkat sekarang juga. Segera menyuruh Digta untuk mengambil
motornya di garasi. Wajah Cantik terpancar senang bercampur takut, ketika berada
di belakang suaminya yang membawa motor dengan lanju di atas rata-rata.
Beberapa
kali saling meneriaki.
“Kamu
hati-hati dong bawa motornya! Kamu mau cari mati ya?”
“Kalau
tidak begini. Nanti hujan akan membasahi kita. Aku tidak mau kalau kamu sampai sakit.”
Meskipun
suaranya terdengar bercampur dengan angin yang berderai. Namun mampu membuat Cantik
tersenyum sendiri dan dilihat Digta di dalam kaca spion.
Tersenyum
setelah menyadari bahwa musim hujan seolah member warna pada hidupnya. Itu artinya
usia pernikahannya memasuki musim hujan yang pertama.
***
Perasaan aneh. Perasaan
yang bisa membuatnya jumpalitan. Senyam-senyum sendiri yang kata orang penaka
orang gila atau tidak waras. Bahkan lupa makan dan pusat pikirannya hanya ingin
melihatnya selalu baik-baik saja. Perasaan aneh itu sudah merebah ke dalam aliran
darah Digta maupun Cantik, meskipun masih ada singgungan perasaan hati lain
yang menggelantung.
Seperti
saat mereka berteduh di depan perpustakaan. Hujan keras seolah menulikan telinga.
Gemuruh angin membawa hujan menerpa mahasiswa yang berteduh di pinggir atap perpustakaan.
Mau tidak mau memaksa harus masuk ke dalam, untungnya penjaga perpustakaan sudah
datang.
Di
lantai dua, Cantik dan Digta menatap hujan turun bermesraan membalai bumi. Cantik
merasa kedinginan, ia menggosok kedua tangannya lalu meniupnya. Ingin memberi
aroma hangat pada dirinya sendiri.
Ingin sekali Digta melakukannya tapi
tidak mungkin. Ia ingat, bahwa ada jacket di dalam lokernya
di perpustakaan. Buru-buru ia mengambilnya tanpa sepatah kata meninggalkan Cantik.
Ia berjalan menuruni beberapa anak tangga, nyaris saja terjatuh. Untungnya ada
Luna yang menariknya. Hanya mengucapkan terimakasih, ia kembali berlari dan membuka
lokernya untuk mengambil jacket merahnya. Hah. Kecewa, ketika jacket Hiro sudah
dipakai Cantik sambil menatap hujan bersama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar