post-thumbnail{float:left;margin-right:20px}

YUDHA

Sabtu, 26 Mei 2018

Still Hoping (23)


MUSIM HUJAN
“Aku tidak ingin kalau kamu sampai sakit.”
Awan kelabu bergelantungan di atas langit. Tidak seperti biasa warna kuning yang mendominasi bumi. Orang-orang sudah keluar dari rumahnya, Nampak cepat-cepat takut kalau-kalau hujan akan menghadang sebelum sampai di tempat kerja ataupun kampus seperti Digta dan Cantik. Ada yang menggunakan mobil, motor, sepeda, bahkan jalan kaki yang Nampak sangat mempercepat langkah.

Guntur di ujung barat mulai berbunyi. Tanda-tanda akan turunnya air langit seolah benar saja.
“Cantik ayo cepat ke kampusnya nanti keburu hujan,” kata Digta, suara yang keras.
“Ini sudah siap,” wajah Cantik merengut.
Waw. Masya Allah, sungguh cantik. Pakaian sederhana dan polesan make up seadanya menampakkan inner beauty dalam dirinya. Tak dapat disangkal di lubuk hati terdalam Digta, istrinya adalah salah satu makhluk Allah yang cantik.
“Kamu ni lama banget dandannya,” menghilangkan rasa gerogi dengan sikap pura-pura kesal.
Ada apa dengan Digta? Padahal kemarin sangat jaim dan akan berbicara saat yang penting. Sudahkah dilupakan persoalan kemarin? Batin Cantik.
“Kamu lagi mikirin apa?” Digta mengganggu rasa penasarannya.
Cantik tersenyum manis padanya.
Yang berlalu biarlah berlalu. Toh lebih baik berbaikan dari pada terus-terusan kesal satu sama lain.
Cantik mendongak ke atas langit. Ia mengamati awan-awan hitam yang menggelantung indah memanggil hujan membasahi bumi. Sudah dirasakan bagaimana angin ikut memanggil yang daun-daun pepohonan seolah lepas dari batangnya. Matanya membulat.
Ya, lebih baik mereka berangkat sekarang juga. Segera menyuruh Digta untuk mengambil motornya di garasi. Wajah Cantik terpancar senang bercampur takut, ketika berada di belakang suaminya yang membawa motor dengan lanju di atas rata-rata.
Beberapa kali saling meneriaki.
“Kamu hati-hati dong bawa motornya! Kamu mau cari mati ya?”
“Kalau tidak begini. Nanti hujan akan membasahi kita. Aku tidak mau kalau kamu sampai sakit.”
Meskipun suaranya terdengar bercampur dengan angin yang berderai. Namun mampu membuat Cantik tersenyum sendiri dan dilihat Digta di dalam kaca spion.
Tersenyum setelah menyadari bahwa musim hujan seolah member warna pada hidupnya. Itu artinya usia pernikahannya memasuki musim hujan yang pertama.
***
Perasaan aneh. Perasaan yang bisa membuatnya jumpalitan. Senyam-senyum sendiri yang kata orang penaka orang gila atau tidak waras. Bahkan lupa makan dan pusat pikirannya hanya ingin melihatnya selalu baik-baik saja. Perasaan aneh itu sudah merebah ke dalam aliran darah Digta maupun Cantik, meskipun masih ada singgungan perasaan hati lain yang menggelantung.
Seperti saat mereka berteduh di depan perpustakaan. Hujan keras seolah menulikan telinga. Gemuruh angin membawa hujan menerpa mahasiswa yang berteduh di pinggir atap perpustakaan. Mau tidak mau memaksa harus masuk ke dalam, untungnya penjaga perpustakaan sudah datang.
Di lantai dua, Cantik dan Digta menatap hujan turun bermesraan membalai bumi. Cantik merasa kedinginan, ia menggosok kedua tangannya lalu meniupnya. Ingin memberi aroma hangat pada dirinya sendiri.
Ingin sekali Digta melakukannya tapi tidak mungkin. Ia ingat, bahwa ada jacket di dalam lokernya di perpustakaan. Buru-buru ia mengambilnya tanpa sepatah kata meninggalkan Cantik. Ia berjalan menuruni beberapa anak tangga, nyaris saja terjatuh. Untungnya ada Luna yang menariknya. Hanya mengucapkan terimakasih, ia kembali berlari dan membuka lokernya untuk mengambil jacket merahnya. Hah. Kecewa, ketika jacket Hiro sudah dipakai Cantik sambil menatap hujan bersama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar