post-thumbnail{float:left;margin-right:20px}

YUDHA

Jumat, 05 Juli 2019

Gelang (21)


JARAK KITA
“Aku hanya ingin membuatmu belajar”

Sebenarnya ini bukan pertama kalinya aku mengambil jarak dengan Sing. Bukan pertama kalinya aku marah dengannya. Karena dalam setiap hubungan sudah pasti memiliki bumbu-bumbu marah dan saying-sayangan. Aku tahu dia mencintaiku utuh dan akupun sama, hanya saja terkadang aku sendiri merasa kekanak-kanakkan. Entahlah, aku masih saja menghiraukan perasaan itu.
Seperti malam ini. Sing terus mencoba bicara dengannku. Entah berapa ia berdiri di depan kosku. Kulihat dari celah pintu yang sedikit berlubang. Kadang, aku ingin segera memegang knop pintu lalu membukanya. Tetapi tertahan lagi dengan keegoisan. Aku hanya ingin membuatnya belajar.

***
Pagi-pagi sekali aku bangun. Aku hanya tidur beberapa jam dan terbangun pada jam subuh untuk menunaikan kewajiban sebagai umat muslim. Dalam doa aku berhajat pada-Nya. Memohon ampun atas segala sikap kepada orang yang mencintaiku dengan utuh. Dan, semoga ini tidak butuh waktu yang lama.
Sebelum membuka pintu, aku memeriksa keadaan di luar. Dari celah kecil itu tidak Nampak bayangan Sing. Segera aku mengambil langkah seribu meskipun rasa bersalah dalam hati menguak.
“Maafkan aku Sing. Maafkan aku,” kemudian berlalu segera mencari taxi atau ojek.
Sambil menunggu kendaraan lewat, aku selalu melihat belakang. Jangan sampai Sing langsung berlari mengejarku. Aku masih harus membuat jarak dengannya. Aku masih harus membuatnya belajar. Alhamdulillah, sudah tiga menit berdiri ada angkot biru yang nyaris meninggalkanku. Aku tidak fokus menghentikannya karena hati yang kacau. Untung sang sopir yang sadar akan diriku langsung menghentikan mobilnya, meskipun dua meter dariku. Aku segera berlari  masuk ke dalam angkot itu.
Setelah berjalan beberapa menit, kulihat Sing dari kaca angkot yang sedang memberikan uang kepada seorang penjual roti bakar. Biasanya, ia selalu menjemputku dan akan membawakan makanan kesukaanku itu ke kos. Ha… Aku merindukannya.
Aku juga tidak bisa memungkiri hati yang ada. Tersiksa ketika membuat ini semakin rumit dengan alasan membuat belajar. Belajar untuk selalu terbuka dengan pasangan.
Aku hanya memperhatikannya dari belakang, dari jauh walau hanya melihat kepalanya, kemudian punggungnya dan semakin mengecil lalu hilang.
“Semoga dia selalu sabar menghadapiku,” batinku.
Waktu berselang, angkot berhenti di depan kantor. Aku langsung merogoh kantong bajuku dan memberikan uang sepuluh ribu. Sang sopir tersenyum kepadaku, aku mencoba membalasnya walaupun rasanya kecut.
Aku merasakan sesuatu yang salah dengan perutku. Ha. Keroncongan. Cacing-cacing di dalam sana seolah menagih jatahnya. Pantas saja, dari semalam aku tidak makan atau minum apapun. aku melihat jam yang melingkar di lengan kananku. Masih ada waktu sekitar sepuluh menit sebelum jam kantor. Lebih aku mencari sarapan dulu. Aku berjalan mencari nasi kuning, roti atau apapun itu untuk mengganjal isi dalam perutku. Hanya saja hasilnya nihil. Aku beruntung hari itu.
Aku kembali berjalan menuju kantor. Pasti ada minuman di sana. Dan, benar ada segelas pink milk, minuman kesukaanku. Jeni dan Jon yang ternyata sudah datang pun menjadi tempatku berterima kasih. Mungkin saja, salah satu dari mereka telah memberikan minuman itu apalagi ada roti kesukaanku.
“Minuman itu bukan dariku,” kata Jeni yang mengernyit.
“Sepertinya junior Sing,” jelas Jon.
Aku langsung meletakkan minuman itu. Kemudian, mengambilnya lagi lalu menyeruput pipetnya.
“Terima kasih sudah perhatian padaku meskipun ada jarak di antara kita,” batinku bergerilya.
***
SPECIAL
Dulu ketika di kampus dan tinggal di asrama, aku sangat suka naik sepeda. Ya, karena memang itu adalah hobbyku. Pagi-pagi sekali saat matahari sudah condong ke barat dan aku yang harus mengisi kelas pagi, setelah mandi dan siap-siap ke kampus langsung berjalan kea rah parkiran asrama untuk mengambil sepeda.
Di sana, aku melihat Sing sedang memperbaiki sepedanya. Ya, kami memiliki hobby yang sama. Pun sekitar lima menit tidak ada tanda-tanda ia menghentikkan aktivitasnya. Seperti sepedanya harus dibawa ke bengkel.
“Bagaimana kalau kita pergi bersama?” aku menawarinya.
Langung ia mengangguk senang. Dan, pagi itu menjadi salah satu kenangan termanis dengannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar