JARAK
KITA
“Aku
hanya ingin membuatmu belajar”
Sebenarnya
ini bukan pertama kalinya aku mengambil jarak dengan Sing. Bukan pertama
kalinya aku marah dengannya. Karena dalam setiap hubungan sudah pasti memiliki
bumbu-bumbu marah dan saying-sayangan. Aku tahu dia mencintaiku utuh dan akupun
sama, hanya saja terkadang aku sendiri merasa kekanak-kanakkan. Entahlah, aku
masih saja menghiraukan perasaan itu.
Seperti malam ini. Sing terus mencoba bicara
dengannku. Entah berapa ia berdiri di depan kosku. Kulihat dari celah pintu
yang sedikit berlubang. Kadang, aku ingin segera memegang knop pintu lalu
membukanya. Tetapi tertahan lagi dengan keegoisan. Aku hanya ingin membuatnya
belajar.
***
Pagi-pagi
sekali aku bangun. Aku hanya tidur beberapa jam dan terbangun pada jam subuh
untuk menunaikan kewajiban sebagai umat muslim. Dalam doa aku berhajat
pada-Nya. Memohon ampun atas segala sikap kepada orang yang mencintaiku dengan
utuh. Dan, semoga ini tidak butuh waktu yang lama.
Sebelum membuka pintu, aku memeriksa keadaan di
luar. Dari celah kecil itu tidak Nampak bayangan Sing. Segera aku mengambil
langkah seribu meskipun rasa bersalah dalam hati menguak.
“Maafkan aku Sing. Maafkan aku,” kemudian berlalu
segera mencari taxi atau ojek.
Sambil menunggu kendaraan lewat, aku selalu melihat
belakang. Jangan sampai Sing langsung berlari mengejarku. Aku masih harus
membuat jarak dengannya. Aku masih harus membuatnya belajar. Alhamdulillah, sudah tiga menit berdiri
ada angkot biru yang nyaris meninggalkanku. Aku tidak fokus menghentikannya
karena hati yang kacau. Untung sang sopir yang sadar akan diriku langsung
menghentikan mobilnya, meskipun dua meter dariku. Aku segera berlari masuk ke dalam angkot itu.
Setelah berjalan beberapa menit, kulihat Sing dari
kaca angkot yang sedang memberikan uang kepada seorang penjual roti bakar.
Biasanya, ia selalu menjemputku dan akan membawakan makanan kesukaanku itu ke
kos. Ha… Aku merindukannya.
Aku juga tidak bisa memungkiri hati yang ada.
Tersiksa ketika membuat ini semakin rumit dengan alasan membuat belajar.
Belajar untuk selalu terbuka dengan pasangan.
Aku hanya memperhatikannya dari belakang, dari jauh
walau hanya melihat kepalanya, kemudian punggungnya dan semakin mengecil lalu
hilang.
“Semoga dia selalu sabar menghadapiku,” batinku.
Waktu berselang, angkot berhenti di depan kantor.
Aku langsung merogoh kantong bajuku dan memberikan uang sepuluh ribu. Sang
sopir tersenyum kepadaku, aku mencoba membalasnya walaupun rasanya kecut.
Aku merasakan sesuatu yang salah dengan perutku. Ha.
Keroncongan. Cacing-cacing di dalam sana seolah menagih jatahnya. Pantas saja,
dari semalam aku tidak makan atau minum apapun. aku melihat jam yang melingkar
di lengan kananku. Masih ada waktu sekitar sepuluh menit sebelum jam kantor.
Lebih aku mencari sarapan dulu. Aku berjalan mencari nasi kuning, roti atau
apapun itu untuk mengganjal isi dalam perutku. Hanya saja hasilnya nihil. Aku
beruntung hari itu.
Aku kembali berjalan menuju kantor. Pasti ada
minuman di sana. Dan, benar ada segelas pink
milk, minuman kesukaanku. Jeni dan Jon yang ternyata sudah datang pun
menjadi tempatku berterima kasih. Mungkin saja, salah satu dari mereka telah
memberikan minuman itu apalagi ada roti kesukaanku.
“Minuman itu bukan dariku,” kata Jeni yang
mengernyit.
“Sepertinya junior Sing,” jelas Jon.
Aku langsung meletakkan minuman itu. Kemudian,
mengambilnya lagi lalu menyeruput pipetnya.
“Terima kasih sudah perhatian padaku meskipun ada
jarak di antara kita,” batinku bergerilya.
***
SPECIAL
Dulu
ketika di kampus dan tinggal di asrama, aku sangat suka naik sepeda. Ya, karena
memang itu adalah hobbyku. Pagi-pagi sekali saat matahari sudah condong ke barat
dan aku yang harus mengisi kelas pagi, setelah mandi dan siap-siap ke kampus
langsung berjalan kea rah parkiran asrama untuk mengambil sepeda.
Di sana, aku melihat Sing sedang memperbaiki
sepedanya. Ya, kami memiliki hobby yang sama. Pun sekitar lima menit tidak ada
tanda-tanda ia menghentikkan aktivitasnya. Seperti sepedanya harus dibawa ke
bengkel.
“Bagaimana kalau kita pergi bersama?” aku
menawarinya.
Langung ia mengangguk senang. Dan, pagi itu menjadi salah
satu kenangan termanis dengannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar