post-thumbnail{float:left;margin-right:20px}

YUDHA

Minggu, 20 Agustus 2023

DEMI FIRMAN ALLAH DI HATI

 

Ikhlas? Sejauh mana hatiku ingin ikhlas, melepaskan sesuatu yang nyatanya memang bukan milikku. Sejatinya, semua hanya milik-Nya. Lantas kenapa aku masih bersi keras untuk menggenggamnya, padahal aku tahu sebaik apapun berusaha memiliki pada akhirnya tak akan pernah kumiliki. Aku pernah mencoba memilih jalur langit, aku pernah berusaha ingin menjadi Nabi Ibrahim, mempunyai ketaatan kepada Allah , tapi apa daya ketika diri ini yang hanya manusia biasa, terlalu mencintai sesuatu bahkan takut kehilangan.

Cerita ini dimulai pada siang hari di awal bulan tujuh tahun 2022. Tepatnya pada kegiatan MATSAMA (Masa Taaruf Siswa Madrasah) MA Atthahiriyah Lapeo. Matahari sudah sepenggalah siang itu, kutatap sepasang mata yang teduh, bibirnya tersungging manis. Aku mengenal anak itu, Abdul Qadir Balta.

Bagiku, momen itu biasa saja sebab tidak ada yang istimewa, seperti halnya melakukan penerimaan berkas dari pengembalian formulir lengkap bersama semua persyaratan calon siswa baru MA Atthahiriyah Lapeo.

Anak itu ditemani laki-laki setengah baya, Bapaknya, pak Usman yang membawanya mendaftar di MA Atthahiriyah Lapeo sekaligus akan mendaftarkannya di pondok tahfidz, yang juga lembaga satu yayasan dengan MA Attthahiriyah Lapeo.

***

Semester Ganjil dimulai seperti biasanya, dengan mewajibkan semua siswa baru mengikuti banyak kegiatan pengenalan madrasah yakni MATSAMA, kemudian berselang waktu memberikan jadwal pelajaran kepada siswa. Tidak lupa selalu memotivasi siswa untuk mengikuti banyak kegiatan ekstrakurikuler, baik pramuka, PMR, BTQ, pelatihan ceramah, dan masih banyak kegiatan madrasah yang lain.

Rutinitas setiap hari, mengajar di kelas, membimbing kegiatan eskul di sore hari, dan malamnya menyiapkan kegiatan pembelajaran dan administrasi mengajar.

Belum ada yang istimewa dari anak itu, selain saat mengajar, dia selalu aktif dan banyak membantu menghidupkan suasana di kelas supaya pembelajaran bisa khidmat dan tujuan pembelajaran tercapai.

Sederhana, tapi perlahan aku mulai memerhatikan anak itu. Sebagaimana lazimnya, beberapa siswa yang juga menjadi tahfidz tidak memperlihatkan kepiawaiannya dalam belajar, anak itu berbeda, beberapa kali dinasehati, akan menganggukan kepala dan tersenyum.

“Nak, kalau yang lain biasanya jadi tahfidz dan juga jadi siswa akan kesulitan belajar, akan merasa lebih fokus untuk menghafal Quran daripada mengikuti pelajaran. Tidak apa-apa nak, fokus menghafal Quran, tapi ingat juga kalau bisa pelajaranmu tetap diperhatikan, supaya dua-duanya bisa bagus hasilnya,” kataku padanya, setelah memberikan nilai di buku tugasnya.

“Insya Allah pak,” Qadir tersenyum

“Nak, kalau tidak keberatan, kalau ada waktu luang boleh ke rumah belajar, kalau misalnya kamu ada waktu libur.”

“Ia pak. Terimakasih,” ucapnya.

Percakapan pendek itu, sederhana tetapi bermakna. Qadir menjalani hari-harinya di sekolah juga sebagai santri tahfidz dengan sangat baik. Entah itu karena memang anaknya cerdas atau nasehatku didengarnya. Sebisa mungkin, saat berbicara dengannya, tak pernah lari dari motivasi untuk menjadi siswa berprestasi.

Hari-hari berlalu, pertengahan semester madrasah kami kedatangan beberapa siswa KKN, berjumlah lima orang. Mereka terbilang mahasiswa aktif dan sangat berperan besar dalam kegiatan di madrasah. Salah satu kegiatan yang mereka lakukan adalah peringatan Sumpah Pemuda. Mereka mengadakan lomba pembacaan sumpah pemuda, teks proklamasi, dan pidato kepemudaan.

“Insya Allah, aku akan mengantarkan anak ini jadi juara I di salah satu lomba itu,” batinku. Kemudian bergegas menemui anak itu, yang sedang duduk di depan kelasnya, memerhatikan beberapa temannya yang sedang main takraw di bawah terik matahari yang seakan membakar.

“Apa yang kamu pikirkan nak?”

Dia menoleh, memberikan senyumannya seperti biasa kemudian menjawab, “Lagi liat teman-teman olahraga saja pak. Ada yang bisa saya bantu pak?”

Aku duduk di sampingnya. Tak lupa tersenyum tipis kemudian menawarkan lomba kepadanya, “Nak, kamu mau ikut lomba pembacaan sumpah pemuda atau pidato atau juga teks proklamasi?”

Sejenak ia melihat ke arah teman-temannya yang masih sibuk dengan bola kemudian menjawab, “Tapi setiap sore saya harus mengaji pak.”

“Apakah tidak ada waktu istirahatmu?”

“Ada pak, Jumat dan Minggu.”

“Oh itu, Jumat saja latihannya. Kan pecan depan lombanya dimulai.”

Ia tersenyum kembali dan mengangguk.

Matahari semakin tinggi. Silaunya menyapu semua halaman sekolah. Jam pelajaran terakhir akan dimulai. Qadir permisi masuk di kelasnya.

Sebagai guru yang selalu berusaha berbuat baik kepada setiap siswanya, tidak hanya menawarkan kepada Qadir tentang lomba, tetapi juga siswa lain, bahkan juga akan siap membantu mencarikan teks pidato dan teks proklamasi.

***

Jumat sore datang, aku melatih Qadir dan meminta bantuan teman-temannya agar ikut berpartisipasi pada penampilannya bagus dan berbeda dengan peserta lain, yakni menampilkan atraksi pengibaran dan penghormatan kepada bendera merah putih. Tak hanya itu, meminta kepada teman kelasnya juga agar ikut bernyanyi sebelum dan sesudah Qadir membacakan pidato kepemudaannya.

Beberapa kali melihat ke langit-langit kelasnya yang berwarna putih kusam, sambil mengeluarkan suara yang sedikit tertahan.

“Dek, dalam membacakan teks proklamasi harus tegas dan suaramu harus keluar semua dek. Supaya hasil bagus,” ucap salah satu anak KKN, yang kutahu bernama Bel-Bel, turut membantu Qadir akan memberikan penampilan terbaiknya saat lomba nanti.

Qadir agak ragu-ragu mengeluarkan suaranya dengan sigap, aku berdiri memberikan tangan jempol, “Kamu pasti bisa nak.” Batinku.

Ia mengangguk dan mulai berusaha. Persis yang dikatakan oleh Bel-bel, sebisa tegas membacakan teks proklamasi. Dan, tidak hanya sampai disitu usaha Qadir, yang kata siswa-siswa lain, sudah jadi anakku, ia selalu berusaha menghafal setiap paragraph yang ada di dalam naskah pidatonya.

Waktu mengalun. Terlihat empat orang siswa memakai pakaian putih, seperti paskibraka ditemani dua siswa perempuan yang memakai pakaian adat Mandar sedang membawa bendera. Backsound lagu 17 Agustus memenuhi sudut ruangan kelas XI, yang menjadi tempat perlombaan dalam rangka memperingati sumpah pemuda. Attas, salah satu teman Qadir yang menjadi pemimpin barisan itu memerintahkan temanny untuk mulai mengambil langkah dan menggerakkan bendera lambing negara Indonesia. Semua terpana, penampilan apik, berbeda dengan yang lainnya. Tidak hanya sekedar membacakan teks proklamasi, akan tetapi kembali mengingatkan bahwa Indonesia merdeka, butuh perjuangan dari para pahlawan, salah satunya, sang proklamator, Ir. Soekarno.

“Kami Bangsa Indonesia, dengan ini menyatakan kemerdakaan Indonesia. Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain., diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya,” Qadir membaca dengan penuh khidmat.

Tepuk tangan bergemuruh memenuhi ruangan. Pembawaan dan cara membacanya begitu lugas. Ketiga dewan juri yang memberikan penilaian tersenyum dan juga memberikan tepuk tangan. Bukan hanya lomba pembacaan naskah proklamasi, Qadir menuai pujian tetapi juga untuk lomba pembacaan pidato kepemudaan.

Kedua lomba yang diikuti Qadir membawanya meraih juara I. Senyum banggaku terukir tak kala melihatnya meraih penghargaan di atas panggung aula yang sudah didekor bernuansa putih dan penuh dengan balon berwarna kuning.

Aku terus menaiki waktu dan tetap berusaha memberikan motivasi kepada Qadir agar senantiasa belajar dengan baik, menanamkan firman Allah ke dalam dadanya tetapi juga mencetak namanya di langit. Qadir bukan hanya siswa bagiku, tetapi sudah menjadi anak, adik, dan keluargaku yang selalu mendengarkanku, sebab matanya kuarahkan melihat dari segala sudut, memberikan pandangan yang semuanya bisa datang dari arah mana saja. Menyisakan masa yang harus dijejaki dengan sederhana tetapi bermakna.

Qadir selalu berusaha memberikan yang terbaik, sebisanya dalam melakukan apa yang ia bisa untuk masa depannya. Tatapan teduh matanya menyiratkan, bahwa langit yang tinggi di sana memberikan banyak kesempatan bagi setiap orang yang ingin berusaha. Qadir berhasil menghafal 5 juz dan menduduki peringkat dua di semester pertamanya di MA Atthahiriyah Lapeo juga berhasil memenangkan beberapa lomba di ajang porseni madrasah, beberapa lombanya juara I Tartil dan juara I memimpih sholat jenazah.

Peluit angin melengking, menerpa apa saja yang dilalui. Tanda bahwa apapun itu, selalu mengenai ujian. Semua hal, apalagi keberhasilan selalu menemui masalah dan tantangan. Qadir yang layaknya anak bagiku, dalam setiap kesempatan akan saya ikut sertakan disetiap kegiatan di madrasah, sehingga membuatnya keteteran. Apalagi semenjak naik kelas XI, anakku Qadir sudah menghafal 8 Juz dan mempunyai tanggungjawab untuk mempertahankan predikatnya yang bukan lagi Rangking II, tetapi Rangking I sejak semester dua.

“Kalau boleh, Abdul Qadir Balta lebih difokuskan lagi untuk menghafal, mengingat hafalannya sudah semakin banyak,” Kesimpulan yang aku tangkap dari chatku bersama Guru Qadir di pondoknya.

Puluhan kekhawatiran mememuhi kepalaku. Qadir bukan hanya sekedar siswa bagiku, tetapi anak yang ingin kudampingi terus sampai lulus dan bisa kuliah di Mesir, seperti ucapannya lalu ketika kutanya akan impiannya.

“Hidup Qadir adalah Alquran, jadi mau tak mau memang harus difokuskan kepada firman Allah. Adapun urusan sekolahnya, sebaiknya dinomorduakan,” batinku, “Kalau begitu, bagaimana kalau ia tidak juara kelas lagi? Bagaimana kalau ia tidak bisa mengikuti banyak kegiatan eskul lagi? Ia tidak akan lagi menghabiskan hari Minggunya belajar di rumahku,” penuh kecamuk.

Qadir berdiri di gerbang masuk madrasah, di sampingnya aku menatap teduh. “Anak ini, tidak akan sering lagi ke rumahku. Aku tidak akan sering lagi bicara padanya mengenai pelajaran. Ia harus difokuskan kepada Alquran,” batinku yang menyeruakkan akan jarak dan rindu diantara kami.

Aku menengadah ke langit-langit atap gerbang, kemudian berpindah ke langit yang berwarna biru. Aku begitu menyayangi anak ini. Aku ingin terus membimbingnya belajar, bukan hanya di madrasah, tetapi juga di rumah, sepekan sekali. Hanya saja, sepertinya egois kalau mengabaikan impian anak itu. Bagiku, Qadir memang anakku, Ismailku, yang harus aku ikhlaskan. Tidak apa, tidak lagi banyak menghabiskan waktu bersamanya, terpenting impiannya yang sangat membanggakan itu tercapai. Mengenai pelajaran di madrasah dan eskulnya memang harus dinomorduakan.

“Nak, tidak apa kita tidak bisa lagi menghabiskan hari Minggu bersama. Tidak apa untuk tak melihatmu mencatat dan belajar di samping bapak. Tidak apa untuk tidak berdebat lagi masalah pelajaran, yang penting ikhtiarmu menghafal Alquran nomor satu. Ingat nak. Namamu selalu terselip di doa bapak dalam shalat,” mataku berkaca-kaca menatapnya.

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar