Ikhlas? Sejauh mana
hatiku ingin ikhlas, melepaskan sesuatu yang nyatanya memang bukan milikku.
Sejatinya, semua hanya milik-Nya. Lantas kenapa aku masih bersi keras untuk
menggenggamnya, padahal aku tahu sebaik apapun berusaha memiliki pada akhirnya tak
akan pernah kumiliki. Aku pernah mencoba memilih jalur langit, aku pernah
berusaha ingin menjadi Nabi Ibrahim, mempunyai ketaatan kepada Allah , tapi apa
daya ketika diri ini yang hanya manusia biasa, terlalu mencintai sesuatu bahkan
takut kehilangan.
Cerita ini dimulai pada siang hari di awal bulan tujuh tahun 2022. Tepatnya pada kegiatan MATSAMA (Masa Taaruf Siswa Madrasah) MA Atthahiriyah Lapeo. Matahari sudah sepenggalah siang itu, kutatap sepasang mata yang teduh, bibirnya tersungging manis. Aku mengenal anak itu, Abdul Qadir Balta.
Bagiku, momen itu biasa
saja sebab tidak ada yang istimewa, seperti halnya melakukan penerimaan berkas
dari pengembalian formulir lengkap bersama semua persyaratan calon siswa baru
MA Atthahiriyah Lapeo.
Anak itu ditemani laki-laki
setengah baya, Bapaknya, pak Usman yang membawanya mendaftar di MA Atthahiriyah
Lapeo sekaligus akan mendaftarkannya di pondok tahfidz, yang juga lembaga satu
yayasan dengan MA Attthahiriyah Lapeo.
***
Semester Ganjil dimulai
seperti biasanya, dengan mewajibkan semua siswa baru mengikuti banyak kegiatan
pengenalan madrasah yakni MATSAMA, kemudian berselang waktu memberikan jadwal
pelajaran kepada siswa. Tidak lupa selalu memotivasi siswa untuk mengikuti
banyak kegiatan ekstrakurikuler, baik pramuka, PMR, BTQ, pelatihan ceramah, dan
masih banyak kegiatan madrasah yang lain.
Rutinitas setiap hari,
mengajar di kelas, membimbing kegiatan eskul di sore hari, dan malamnya
menyiapkan kegiatan pembelajaran dan administrasi mengajar.
Belum ada yang istimewa
dari anak itu, selain saat mengajar, dia selalu aktif dan banyak membantu
menghidupkan suasana di kelas supaya pembelajaran bisa khidmat dan tujuan
pembelajaran tercapai.
Sederhana, tapi perlahan
aku mulai memerhatikan anak itu. Sebagaimana lazimnya, beberapa siswa yang juga
menjadi tahfidz tidak memperlihatkan kepiawaiannya dalam belajar, anak itu
berbeda, beberapa kali dinasehati, akan menganggukan kepala dan tersenyum.
“Nak, kalau yang lain
biasanya jadi tahfidz dan juga jadi siswa akan kesulitan belajar, akan merasa
lebih fokus untuk menghafal Quran daripada mengikuti pelajaran. Tidak apa-apa
nak, fokus menghafal Quran, tapi ingat juga kalau bisa pelajaranmu tetap
diperhatikan, supaya dua-duanya bisa bagus hasilnya,” kataku padanya, setelah
memberikan nilai di buku tugasnya.
“Insya Allah pak,” Qadir
tersenyum
“Nak, kalau tidak
keberatan, kalau ada waktu luang boleh ke rumah belajar, kalau misalnya kamu
ada waktu libur.”
“Ia pak. Terimakasih,”
ucapnya.
Percakapan pendek itu,
sederhana tetapi bermakna. Qadir menjalani hari-harinya di sekolah juga sebagai
santri tahfidz dengan sangat baik. Entah itu karena memang anaknya cerdas atau
nasehatku didengarnya. Sebisa mungkin, saat berbicara dengannya, tak pernah
lari dari motivasi untuk menjadi siswa berprestasi.
Hari-hari berlalu,
pertengahan semester madrasah kami kedatangan beberapa siswa KKN, berjumlah
lima orang. Mereka terbilang mahasiswa aktif dan sangat berperan besar dalam
kegiatan di madrasah. Salah satu kegiatan yang mereka lakukan adalah peringatan
Sumpah Pemuda. Mereka mengadakan lomba pembacaan sumpah pemuda, teks proklamasi,
dan pidato kepemudaan.
“Insya Allah, aku akan
mengantarkan anak ini jadi juara I di salah satu lomba itu,” batinku. Kemudian
bergegas menemui anak itu, yang sedang duduk di depan kelasnya, memerhatikan
beberapa temannya yang sedang main takraw di bawah terik matahari yang seakan
membakar.
“Apa yang kamu pikirkan
nak?”
Dia menoleh, memberikan
senyumannya seperti biasa kemudian menjawab, “Lagi liat teman-teman olahraga
saja pak. Ada yang bisa saya bantu pak?”
Aku duduk di sampingnya.
Tak lupa tersenyum tipis kemudian menawarkan lomba kepadanya, “Nak, kamu mau ikut
lomba pembacaan sumpah pemuda atau pidato atau juga teks proklamasi?”
Sejenak ia melihat ke
arah teman-temannya yang masih sibuk dengan bola kemudian menjawab, “Tapi
setiap sore saya harus mengaji pak.”
“Apakah tidak ada waktu
istirahatmu?”
“Ada pak, Jumat dan
Minggu.”
“Oh itu, Jumat saja
latihannya. Kan pecan depan lombanya dimulai.”
Ia tersenyum kembali dan
mengangguk.
Matahari semakin tinggi.
Silaunya menyapu semua halaman sekolah. Jam pelajaran terakhir akan dimulai.
Qadir permisi masuk di kelasnya.
Sebagai guru yang selalu
berusaha berbuat baik kepada setiap siswanya, tidak hanya menawarkan kepada
Qadir tentang lomba, tetapi juga siswa lain, bahkan juga akan siap membantu
mencarikan teks pidato dan teks proklamasi.
***
Jumat sore datang, aku
melatih Qadir dan meminta bantuan teman-temannya agar ikut berpartisipasi pada
penampilannya bagus dan berbeda dengan peserta lain, yakni menampilkan atraksi
pengibaran dan penghormatan kepada bendera merah putih. Tak hanya itu, meminta
kepada teman kelasnya juga agar ikut bernyanyi sebelum dan sesudah Qadir
membacakan pidato kepemudaannya.
Beberapa kali melihat ke
langit-langit kelasnya yang berwarna putih kusam, sambil mengeluarkan suara
yang sedikit tertahan.
“Dek, dalam membacakan
teks proklamasi harus tegas dan suaramu harus keluar semua dek. Supaya hasil
bagus,” ucap salah satu anak KKN, yang kutahu bernama Bel-Bel, turut membantu
Qadir akan memberikan penampilan terbaiknya saat lomba nanti.
Qadir agak ragu-ragu mengeluarkan
suaranya dengan sigap, aku berdiri memberikan tangan jempol, “Kamu pasti bisa
nak.” Batinku.
Ia mengangguk dan mulai
berusaha. Persis yang dikatakan oleh Bel-bel, sebisa tegas membacakan teks
proklamasi. Dan, tidak hanya sampai disitu usaha Qadir, yang kata siswa-siswa
lain, sudah jadi anakku, ia selalu berusaha menghafal setiap paragraph yang ada
di dalam naskah pidatonya.
Waktu mengalun. Terlihat
empat orang siswa memakai pakaian putih, seperti paskibraka ditemani dua siswa
perempuan yang memakai pakaian adat Mandar sedang membawa bendera. Backsound
lagu 17 Agustus memenuhi sudut ruangan kelas XI, yang menjadi tempat perlombaan
dalam rangka memperingati sumpah pemuda. Attas, salah satu teman Qadir yang
menjadi pemimpin barisan itu memerintahkan temanny untuk mulai mengambil
langkah dan menggerakkan bendera lambing negara Indonesia. Semua terpana,
penampilan apik, berbeda dengan yang lainnya. Tidak hanya sekedar membacakan
teks proklamasi, akan tetapi kembali mengingatkan bahwa Indonesia merdeka,
butuh perjuangan dari para pahlawan, salah satunya, sang proklamator, Ir.
Soekarno.
“Kami Bangsa Indonesia,
dengan ini menyatakan kemerdakaan Indonesia. Hal-hal yang mengenai pemindahan
kekuasaan dan lain-lain., diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo
yang sesingkat-singkatnya,” Qadir membaca dengan penuh khidmat.
Tepuk tangan bergemuruh
memenuhi ruangan. Pembawaan dan cara membacanya begitu lugas. Ketiga dewan juri
yang memberikan penilaian tersenyum dan juga memberikan tepuk tangan. Bukan
hanya lomba pembacaan naskah proklamasi, Qadir menuai pujian tetapi juga untuk
lomba pembacaan pidato kepemudaan.
Kedua lomba yang diikuti
Qadir membawanya meraih juara I. Senyum banggaku terukir tak kala melihatnya
meraih penghargaan di atas panggung aula yang sudah didekor bernuansa putih dan
penuh dengan balon berwarna kuning.
Aku terus menaiki waktu
dan tetap berusaha memberikan motivasi kepada Qadir agar senantiasa belajar
dengan baik, menanamkan firman Allah ke dalam dadanya tetapi juga mencetak
namanya di langit. Qadir bukan hanya siswa bagiku, tetapi sudah menjadi anak,
adik, dan keluargaku yang selalu mendengarkanku, sebab matanya kuarahkan
melihat dari segala sudut, memberikan pandangan yang semuanya bisa datang dari
arah mana saja. Menyisakan masa yang harus dijejaki dengan sederhana tetapi
bermakna.
Qadir selalu berusaha
memberikan yang terbaik, sebisanya dalam melakukan apa yang ia bisa untuk masa
depannya. Tatapan teduh matanya menyiratkan, bahwa langit yang tinggi di sana
memberikan banyak kesempatan bagi setiap orang yang ingin berusaha. Qadir
berhasil menghafal 5 juz dan menduduki peringkat dua di semester pertamanya di
MA Atthahiriyah Lapeo juga berhasil memenangkan beberapa lomba di ajang porseni
madrasah, beberapa lombanya juara I Tartil dan juara I memimpih sholat jenazah.
Peluit angin melengking,
menerpa apa saja yang dilalui. Tanda bahwa apapun itu, selalu mengenai ujian.
Semua hal, apalagi keberhasilan selalu menemui masalah dan tantangan. Qadir
yang layaknya anak bagiku, dalam setiap kesempatan akan saya ikut sertakan
disetiap kegiatan di madrasah, sehingga membuatnya keteteran. Apalagi semenjak
naik kelas XI, anakku Qadir sudah menghafal 8 Juz dan mempunyai tanggungjawab
untuk mempertahankan predikatnya yang bukan lagi Rangking II, tetapi Rangking I
sejak semester dua.
“Kalau boleh, Abdul Qadir
Balta lebih difokuskan lagi untuk menghafal, mengingat hafalannya sudah semakin
banyak,” Kesimpulan yang aku tangkap dari chatku bersama Guru Qadir di
pondoknya.
Puluhan kekhawatiran
mememuhi kepalaku. Qadir bukan hanya sekedar siswa bagiku, tetapi anak yang
ingin kudampingi terus sampai lulus dan bisa kuliah di Mesir, seperti ucapannya
lalu ketika kutanya akan impiannya.
“Hidup Qadir adalah
Alquran, jadi mau tak mau memang harus difokuskan kepada firman Allah. Adapun
urusan sekolahnya, sebaiknya dinomorduakan,” batinku, “Kalau begitu, bagaimana
kalau ia tidak juara kelas lagi? Bagaimana kalau ia tidak bisa mengikuti banyak
kegiatan eskul lagi? Ia tidak akan lagi menghabiskan hari Minggunya belajar di
rumahku,” penuh kecamuk.
Qadir berdiri di gerbang
masuk madrasah, di sampingnya aku menatap teduh. “Anak ini, tidak akan sering
lagi ke rumahku. Aku tidak akan sering lagi bicara padanya mengenai pelajaran.
Ia harus difokuskan kepada Alquran,” batinku yang menyeruakkan akan jarak dan
rindu diantara kami.
Aku menengadah ke
langit-langit atap gerbang, kemudian berpindah ke langit yang berwarna biru.
Aku begitu menyayangi anak ini. Aku ingin terus membimbingnya belajar, bukan
hanya di madrasah, tetapi juga di rumah, sepekan sekali. Hanya saja, sepertinya
egois kalau mengabaikan impian anak itu. Bagiku, Qadir memang anakku, Ismailku,
yang harus aku ikhlaskan. Tidak apa, tidak lagi banyak menghabiskan waktu
bersamanya, terpenting impiannya yang sangat membanggakan itu tercapai.
Mengenai pelajaran di madrasah dan eskulnya memang harus dinomorduakan.
“Nak, tidak apa kita
tidak bisa lagi menghabiskan hari Minggu bersama. Tidak apa untuk tak melihatmu
mencatat dan belajar di samping bapak. Tidak apa untuk tidak berdebat lagi
masalah pelajaran, yang penting ikhtiarmu menghafal Alquran nomor satu. Ingat
nak. Namamu selalu terselip di doa bapak dalam shalat,” mataku berkaca-kaca
menatapnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar