"Datang Bersama"
Irwan Budianto
menghembuskan nafas berat tertahan. Hujan sudah berhenti sejak tengah malam dan
pencarian tak kunjun dilanjutkan, alasannya gelap. Lantas bagaimana dengan
sahabat dan orang yang baru disukainya? Apakah berada di dalam lingkaran yang
penuh dengan cahaya terang benderang. Deret pikiran ke sana ke mari, buruk,
nyaris tak ada pikiran baik. Semoga
baik-baik saja. Hanya itu.
Sudah
pukul 6.30. Irwan tidak bisa tidur lagi seperti lainnya. Keluar dari tenda dan
memilih pergi sendiri. Cukup. Ini lebih dari terlambat. Kalau tak ditemukan
secepatnya akan buruk.
Pandangan
jauh menerawang, terdengar pula langkah kaki berat dari arah kejauhan. Sedikit
demi sedikit sudah mulai mendekat. Alhamdulillah.
Selamat. Yang dicari-cari pun datang jua. Situasi di mana harus
menyampingkan perasaannya dulu. Memeluk sang sahabat dan berterima kasih.
Seandainya saja bisa menolong lebih cepat dan mencari tanpa takut gelap dan air
langit, pasti tidak akan selama ini. Itu saja di pikiran pemuda berpostur
tinggi itu.
Semuanya
terjaga. Hhhhhh. Tersenyum, berterima kasih dan minta maaf sekaligus. Tak apa,
kan sudah selamat, bukannya itu yang paling penting. Ihsan dan Fitri senyum
setelahnya. Malah justru karena telah membuat khawatir.
“Tapi
kenapa hal ini bisa terjadi sama kalian?” tanya Bu Helma, wajah penasaran dan
tak ingin melepas tangan siswa yang baru datang itu.
Tersesat.
Ya, hanya itu jawabannya. Kepulan debu di wajah keduanya lebih baik dibersihkan
sekarang. Daripada mencermati keadaan kemarin yang sudah jelas-jelas bahaya.
Oh.... di sudut, Sakinah mendengus legah. Kejahatannya tak dipermasalahkan.
Padahal Tina dan Ramlah sempat gemetaran. Permsalahannya sekarang adalah saiber semakin dekat dengan yang
dicinta.
Dan,
bagaimana dengan Ihsan? Apa benar sudah tahu bahwa dibalik semua ini adalah
ulah mereka.
Bagaimana ini? Dia
pasti membenciku? Tidak akan mau lagi dekat-dekat denganku, dengan cewek yang
hatinya busuk dan jahat. Oh, dunia akan runtuh , sama saja tak bisa menghirup
oksigen.
Bisa
membayangkan amukan keras dan lantangnya suara Ihsan ketika mengetahui
kebenarannya. Tidak. Tidak ada tanda-tanda tentang hal itu. Ya, jelas sekali.
Bahkan tidak mempermasalahkannya ketika Bu Helma mencoba menanyakan.
“Tenang
aja Sakinah, kita tidak akan ketahuan koq.”
“Tapi
aku takut.”
“Kalau
kamu takut begitu, justru akan membuat teman-teman curiga.”
Tina
menjelaskan, “Kita bersikap santai dan tidak terjadi apa-apa saja, seperti
biasanya. Lebih baik sekarang, kamu dekati Ihsan, mungkin dia ada luka dan kamu
harus memanfaatkan kesempatan itu.”
Gadis
berwajah bulat itu mengernyit.
“Maksud
kamu Tin?”
“Maksudnya,
kamy bisa memanfaatkan kesempatan untuk dekat dengannya, ya supaya dapat
simpatinya,” Ramlah menambahkan.
Tersenyum
dan mengangguk bahagia. “Benar kata kalian.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar