(Cinta dan keegoisan membuat lemah
tak berdaya, yang akhirnya pisah menjadi jalan mengejar mimpi yang sudah lama
tertunda)
Keluh
Lian, dalam batin merutuki diri.
“
Lian, ada apa?”
Pertanyaan
Benny, suaminya menambahkan kejenuhan yang lalu dikemasnya dengan wajah cemberut.
Dua bulan telah menikah dengannya dan menyia-nyiakan waktu muda hanya untuk
cinta ternyata bukanlah kebahagiaan yang abadi. Manisnya hanya datang di awal
dan sekarang semuanya hambar.
Benny
mengenal istrinya dengan baik, sebagaimana dia bisa tahu hanya dengan memandang
roman wajah Berlian. Jika istrinya lagi-lagi menyalahkannya.
Dan
suasana ganjil sekarang.
Mendadak
seperti tak terima kata-kata yang dipenuhi dengan amarah menguap begitu saja,
mengungkap kekesalan yang sudah lama tertahan.
Namun,
tidak ada cara yang lebih baik selain mendiamkannya, Benny tahu memang ini
semua salahnya.
“Seandainya
saja aku tidak termakan gombalan manismu dulu, aku pasti bisa merasakan
indahnya kisah putih abu-abu.”
Lelaki
itu menundukkan wajah dengan kemuaraman. Membentuk rasa bersalah yang
menjemukkan.
“Maafkan
aku Lian, aku tahu ini salahku.”
Gadis
di depan bersuara lantang. Dia semakin menyalahkan suaminya. Sosok Berlian
memang termasuk keras kepala. Terkenal ketika direnggut kemarahan akan
membutuhkan waktu lama untuk meredamkannya.
Dulu,
Benny sempat bertanya-tanya kenapa dirinya begitu sangat mencintai Berlian,
teman SMP yang terkenal sombong. Itulah cinta, tidak bisa ditebak dan
menuntunnya ke jalannya sendiri.
“Aku
mau pulang aja ke rumah Ibuku, aku bosan di sini lihat muka kamu terus.”
Apakah Berlian berniat
mau meninggalkanku.
Batin
Benny punya fiarasat buruk.
Dari
info teman-teman sepertinya – tentu saja mereka yang menikah muda – seorang
istri yang pulang ke rumah orang tuanya sudah pasti mengaduh, dan bagaimana
juga memintanya untuk bercerai?
Pikirannya
berkecamuk.
***
Awalnya,
Berlian juga tak ingin berlakon buruk terhadap suaminya. Lagi pula mereka atas
kemauan bersama. Bahkan saat kedua orang tuanya meminta berpikir jernih sebelum
mengambil keputusan itu, tak ada kepedulian dan mengikuti nafsu yang ada di
hatinya. Segera ingin bersatu dengan Benny dalam bahtera rumah tangga.
Perubahan
baru terjadi sejak setiap pagi ketika membuka jendela kamar kebetulan melihat
sekelompok anak-anak berseragam berjalan bersama. Sosok kekerasan hatinya yang
meminta menikah dulu perlahan meleleh, seakan membuat dirinya jenuh dan ingin
kembali sekali melanjutkan sekolah.
Berlian
bicara pada ibunya dengan hati, curahan demi curahan, keiginannya yang ingin
bersekolah lagi.
MENYESAL,
dilontarkannya. Meskipun, ibunya lalu terheran-heran setelah sebelum itu
terjadi. Andai saja dia mau mendengarnya, pasti dia tidak akan menyesal seperti
sekarang.
Keinginannya
makin menjadi saat dia terus merengek – sangat terlihat kekanak-kanakkan– lalu
seperti anak kecil, dia terus memohon hingga ibunya memberi pilihan yang berat,
bercerai dengan Benny.
Sangat
serius, ibunya telah memberikannya jalan. Berlian mulai merasakan kehilangan
konsentrasi pikiran yang dihadapkan di antara dua pilihan yang sulit.
“Benarkah
hanya itu jalannya bu?”
“Ya...”
Keheningan
pecah.
“Hanya
itu caranya. Setelah kamu bercerai, ibu akan membawamu ke kampungnya nenek,
menyolahkanmu di sana dan di sana juga kamu tidak akan ketahuan bahwa kamu itu
pernah menikah.”
Wajah
mungil Berlian penuh kebimbangan.
“Lakukanlah
Lian, aku ikhlas dan rela melepasmu. Asalkan kamu bisa bahagia.”
Berlian
dan ibunya shock. Tiba-tiba Benny menyambung pembicaraan yang muncul di ruang
tamu.
“Tapi
Mas...”
Setengah
mencoba menepis pernyataan istrinya. Benny cepat-cepat bertutur sambil duduk.
“Mungkin
inilah yang terbaik bagi kita, berpisah.... lagian setelah kita bercerai aku
juga ingin kembali sekolah.”
Mata
Benny dan Berlian dipenuhi rasa iba, hingga meneteskan air mata.
“Maafkan
aku jika selama ini belum bisa menjadi sosok pendamping yang baik untukmu.”
Dan,
ucapan Benny meluncur lembut. Baginya hanya itu yang bisa diucapkan sebelum
berpisah. Sebab dia tahu mungkin itulah yang menyebabkan semua ini bisa
terjadi.
“Aku
akan mengurusi semua perceraian kita. Selamat berpisah dan mulai sekarang kita
bukan suami istri lagi.”
Nada
bicara Benny berisak tertahan, kelihatan mengalami tekanan.
Menempuh
kembali sekolah dan mengejar impian.
“Jaga
dirimu, semoga kamu bisa mengejar impianmu menjadi seorang dosen biologi.”
Lelaki
itu tergesa-gesa berdiri dan pergi. Terlihat Ibu Berlian hanya menenangkan
anaknya yang tak berhenti menangis, bahkan setelah Benny sudah pergi.
***
Akhirnya,
Benny dan Berlian kembali bersekolah di tempat yang berbeda. Namun, hati di
ruang rindu yang sama.
Pict source: http://ukhtifah.abatasa.co.id

Tidak ada komentar:
Posting Komentar