
Kenapa
tidak? Saya merasa ada ketulusan muncul saat beberapa siswi yang berjumlah
empat orang datang menemui saya di kantor hanya untuk minta maaf. Sampai-sampai
ingin menangis saja.
Memangnya ada masalah apa?
Ya,
sudah pasti ada masalah kan sebelum kata maaf itu menguap.
Begini
ceritanya, jreng-jreng.... (kayak mau ngumumin juara lomba, hehehehe)
Jumat,
27 Oktober 2017 di mana saya bertugas di setiap Jumatnya untuk membimbing
seluruh siswa-siswi yasinan bersama. Namun, sebelum melakukan kegiatan rutin
saya menyuruh dua orang siswa menyapu tempat mengaji, yaitu halaman sekolah
agar bisa dipasang karpet merah yang biasa diduduki setiap mengaji.
Kurang
lebih menit menunggu tetapi tidak ada tanda-tanda ada yang menyapu, kedua siswa
yang saya suruh menyapu malah asyik cerita di kelasnya. Hah, langsung saja saya
mencari anak itu dan memberi kopi pahit. Memberikan wejangan agar jangan
mengulangi, namun salah satu dari mereka malah melawan. Astagfirullah. Otomatis guru yang baru belajar ini langsung naik
darah. Adu mulut pun tak terelakkan antara siswa dan guru. Untung saja tak
berlangsung lama dan saya menyuruh beberapa siswa laki-laki mengambil karpet di
perpustakaan sekolah kemudian memasangnya, supaya yasinan segera dilakukan.
Eh,
anak yang tadi bersama sahabat-sahabatnya yang juga kena imbas marah karena
tidak membantu temannya menyapu malah minta izin sebentar ke kamar mandi.
Hmmmm, meskipun masih marah tetap saja saya beri izin.
Lima
menit kemudian mereka kembali dengan mata memerah. Oh, ternyata habis menangis.
Pun
saya tetap menyuruh mereka ikut mengaji. Hah.
***
Dua
hari berlalu tepatnya Senin, 30 Oktober 2017. Keempat anak yang meminta izin ke
kamar mandi sebelum mereka ikut yasinan itu, menemui kepala sekola dan wakil
kepala sekolah untuk meminta surat pindah, hanya saja tak ditanggapi.
Dan,
perasaan bersalah muncul. Mungkingkah
kata-kataku kala itu terlalu kasar? Sampai membuat mereka sakit dan
tersinggung? Bukankah saya hanya bertujuan mendidik mereka?
“Tidak
usah menjadi beban pikiran. Toh mereka yang salah,” Bu Faramida, salah satu best friend di tempat mengajar yang
merupakan guru sejarah menasehati.
Hanya
saja, tetap kepikiran. Hah. Saya tipe orang yang kalau punya masalah harus
cerita kepada yang saya anggap bisa
membantu, termasuk bu Faramida dan bu Sulfiani, yang merupakan wali kelas,
keempat siswi yang minta pindah sekolah tersebut.
Untungya,
dia berinisiatif mencoba bicara dari hati ke hati dengan ke empat anak itu dan
hasilnya, WOW. Spektakuler. Keempat siswi itu datang meminta maaf, muncul
kaca-kaca di mata mereka yang tumpah ketika menyalami tanganku. Hah. Ada
kehangatan terasa. Pun sadar, terkadang masalah ada supaya membuat kita lebih
dekat dan mengerti sama lain. Pun juga berjanji, akan mencoba lebih baik lagi
dalam mendidik, bukan dengan memberi kopi hitam melainkan kelembutan.
Bismillah. Insya Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar