post-thumbnail{float:left;margin-right:20px}

YUDHA

Senin, 30 Oktober 2017

Maaf




Di postingan saya sebelumnya yang berlabel catatan hati mengatakan akan menceritakan activity story di tempat mengajar, MA Atthahiriyah Lapeo. Nah, berhubung kemarin, 30 Oktober 2017 yang mungkin hanya bagi saya adalah keharuan.

Kenapa tidak? Saya merasa ada ketulusan muncul saat beberapa siswi yang berjumlah empat orang datang menemui saya di kantor hanya untuk minta maaf. Sampai-sampai ingin menangis saja.
Memangnya ada masalah apa?
Ya, sudah pasti ada masalah kan sebelum kata maaf itu menguap.
Begini ceritanya, jreng-jreng.... (kayak mau ngumumin juara lomba, hehehehe)
Jumat, 27 Oktober 2017 di mana saya bertugas di setiap Jumatnya untuk membimbing seluruh siswa-siswi yasinan bersama. Namun, sebelum melakukan kegiatan rutin saya menyuruh dua orang siswa menyapu tempat mengaji, yaitu halaman sekolah agar bisa dipasang karpet merah yang biasa diduduki setiap mengaji.
Kurang lebih menit menunggu tetapi tidak ada tanda-tanda ada yang menyapu, kedua siswa yang saya suruh menyapu malah asyik cerita di kelasnya. Hah, langsung saja saya mencari anak itu dan memberi kopi pahit. Memberikan wejangan agar jangan mengulangi, namun salah satu dari mereka malah melawan. Astagfirullah. Otomatis guru yang baru belajar ini langsung naik darah. Adu mulut pun tak terelakkan antara siswa dan guru. Untung saja tak berlangsung lama dan saya menyuruh beberapa siswa laki-laki mengambil karpet di perpustakaan sekolah kemudian memasangnya, supaya yasinan segera dilakukan.
Eh, anak yang tadi bersama sahabat-sahabatnya yang juga kena imbas marah karena tidak membantu temannya menyapu malah minta izin sebentar ke kamar mandi. Hmmmm, meskipun masih marah tetap saja saya beri izin.
Lima menit kemudian mereka kembali dengan mata memerah. Oh, ternyata habis menangis.
Pun saya tetap menyuruh mereka ikut mengaji. Hah.
***
Dua hari berlalu tepatnya Senin, 30 Oktober 2017. Keempat anak yang meminta izin ke kamar mandi sebelum mereka ikut yasinan itu, menemui kepala sekola dan wakil kepala sekolah untuk meminta surat pindah, hanya saja tak ditanggapi.
Dan, perasaan bersalah muncul. Mungkingkah kata-kataku kala itu terlalu kasar? Sampai membuat mereka sakit dan tersinggung? Bukankah saya hanya bertujuan mendidik mereka?
“Tidak usah menjadi beban pikiran. Toh mereka yang salah,” Bu Faramida, salah satu best friend di tempat mengajar yang merupakan guru sejarah menasehati.
Hanya saja, tetap kepikiran. Hah. Saya tipe orang yang kalau punya masalah harus cerita kepada yang  saya anggap bisa membantu, termasuk bu Faramida dan bu Sulfiani, yang merupakan wali kelas, keempat siswi yang minta pindah sekolah tersebut.
Untungya, dia berinisiatif mencoba bicara dari hati ke hati dengan ke empat anak itu dan hasilnya, WOW. Spektakuler. Keempat siswi itu datang meminta maaf, muncul kaca-kaca di mata mereka yang tumpah ketika menyalami tanganku. Hah. Ada kehangatan terasa. Pun sadar, terkadang masalah ada supaya membuat kita lebih dekat dan mengerti sama lain. Pun juga berjanji, akan mencoba lebih baik lagi dalam mendidik, bukan dengan memberi kopi hitam melainkan kelembutan. Bismillah. Insya Allah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar