post-thumbnail{float:left;margin-right:20px}

YUDHA

Rabu, 25 Oktober 2017

BAIDURI (2)




DEGAM DERITA
“Seperti jam yang berputar ulang, isakan itu terus berkelanjutan dan entah sampai kapan terus menunggu untuk terganti”

Ferdian Saputra. Dan hidupnya penuh kebencian. Sebab benci yang membuat kakaknya meninggal, dibully oleh para si brengsek itu. Ah, padahal mereka miskin.
Sehingga siapapun kaum miskin yang ditemuinya, pasti menatap tajam dan ingin menghabisinya. Ingin membuat semua orang miskin di dunia merasakan apa yang dirasakan sang kakak, Digta. Pun termasuk Kirana, satu-satunya orang miskin di sekolah. Sebelumnya siswa-siswa seperti itu pindah karena tidak tahan dengan siksaan. Lantas bagaimana dengan Kirana? Apa yang membuatnya bertahan, bahkan sampai tiga bulan lamanya? Tidak seperti korbannya yang dulu-dulu, palingan bertahan satu bulan.
“Tenang saja sayang, kita pasti bisa membuatnya pindah dari sekolah ini.”
Rini tersenyum ambisius. Gadis yang dari SMP menjalani pacaran dengannya. Gadis yang tidak pernah main-main dengan perkataannya.
“Itu dia lewat, tapi kenapa dia pincang?” ucap Dirly, salah satu sahabat Ferdi.
Kirana hadir di sentuhan mata mereka dengan kepicangan, oleh luka terluntai di lantai pagi hari.
Beranjak. Kembali mengulangi kebahagiaan pelampiasan, kali ini dengan sebotol parfum yang terbuat dari bahan-bahan busuk di dapur Rini. Sengaja diambil untuk mengerjai gadis miskin, lemah dan sok kuat sesekolahan.
Ah.... hanya suara kaget dan segera membungkam mulut. Reaksi ketika melihat Ferdi, Rini dan kawan-kawannya. Sungguh takut, pun tak berani memandang mata keduanya.
“Kamu kenapa koq kayak lihat setan seperti itu?” Rini memegang lengan Kirana dengan keras.
“A.... aku.... aku hanya kaget,” terus menunduk.
“Oh begitu, kalau begitu rasakan ini,” kemudian memberikan hadiah parfum busuk itu.
Kembali tertawa riuh. Tak satupun dari mereka bermata iba. Pun di mana guru-guru, kenapa selalu saja tak ada mereka situasi seperti ini? Kenapa selalu saja tak ada takdir menyemai.
“Kamu kenapa celingak-celinguk? Kamu pikir akan ada yang nolongin kamu? Bahkan guru-guru pun tak bisa berbuat apa-apa. Karena ayahku adalah pemilik sekolah ini.”
Seolah Rini membaca pikirannya.
“Nikmati saja deritamu lagi hari ini,” diikuti tawa puas.
Degum derita. Seperti arah jarum jam di semua angka. Satu sampai dua belas. Terus saja berulang. Hanya menunggu suatu hari betarainya akan rusak sehingga matahari akan muncul dan memberikan secercah harapan.
Menangis. Ya, hanya tangisan kembali menemani langkah Kirana membersihkan diri di toilet, sebelumnya mengambil baju olahraga di laci di dalam kelas sambil terus menikmati tertawaan kaum penyiksa. Untung masih ada baju olahraga.
Selalu ada jalan dalam kesyukuran. Benarkah hati Kirana bersyukur? Bukankah menangis tanda kalau dia tidak menerima kenyataan dan menyalahkan Tuhan? Sama sekali tidak. Dirinya tahu, semenjak dibuang oleh orang tua dia percaya bahwa Allah memberinya cobaan karena kepercayaan mampu melewati semuanya. Akan berakhir indah. Insya Allah.
***
“Apa yang sebenarnya membuat Kirana bertahan?”
Pertanyaan itu terus berdentum. Membuat pikiran Ferdi habis pikir, sekalipun dia dan Rini sekejam mungkin menyiksa. Hanya saja selalu berakhir tangisan dan bangkit lagi. Jalan mana lagi yang ditempuh? Bukankah sudah sangat kejam selama ini? Benarkah kata teman-teman Kirana tahan banting, apapun yang dilakukan kepadanya akan tetap berdiri kokoh?
Dan, tiba-tiba satu pikiran buruk melintas dipikirannya dengan reaksi tersenyum.
“Sudah lama aku ingin melakukannya dan kamu Kirana akan mendapatkannya.”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar