DEGAM DERITA
“Seperti jam yang berputar
ulang, isakan itu terus berkelanjutan dan entah sampai kapan terus menunggu
untuk terganti”
Ferdian Saputra. Dan hidupnya penuh
kebencian. Sebab benci yang membuat kakaknya meninggal, dibully oleh para si
brengsek itu. Ah, padahal mereka miskin.
Sehingga siapapun kaum miskin yang
ditemuinya, pasti menatap tajam dan ingin menghabisinya. Ingin membuat semua
orang miskin di dunia merasakan apa yang dirasakan sang kakak, Digta. Pun
termasuk Kirana, satu-satunya orang miskin di sekolah. Sebelumnya
siswa-siswa seperti itu pindah karena tidak tahan dengan siksaan. Lantas bagaimana
dengan Kirana? Apa yang membuatnya bertahan, bahkan sampai tiga bulan lamanya?
Tidak seperti korbannya yang dulu-dulu, palingan bertahan satu bulan.
“Tenang saja sayang, kita pasti
bisa membuatnya pindah dari sekolah ini.”
Rini tersenyum ambisius. Gadis yang
dari SMP menjalani pacaran dengannya. Gadis yang tidak pernah main-main dengan
perkataannya.
“Itu dia lewat, tapi kenapa dia
pincang?” ucap Dirly, salah satu sahabat Ferdi.
Kirana hadir di sentuhan mata
mereka dengan kepicangan, oleh luka terluntai di lantai pagi hari.
Beranjak. Kembali mengulangi kebahagiaan
pelampiasan, kali ini dengan sebotol parfum yang terbuat dari bahan-bahan busuk
di dapur Rini. Sengaja diambil untuk mengerjai gadis miskin, lemah dan sok kuat
sesekolahan.
Ah.... hanya suara kaget dan segera
membungkam mulut. Reaksi ketika melihat Ferdi, Rini dan kawan-kawannya. Sungguh
takut, pun tak berani memandang mata keduanya.
“Kamu kenapa koq kayak lihat setan
seperti itu?” Rini memegang lengan Kirana dengan keras.
“A.... aku.... aku hanya kaget,”
terus menunduk.
“Oh begitu, kalau begitu rasakan
ini,” kemudian memberikan hadiah parfum busuk itu.
Kembali tertawa riuh. Tak satupun
dari mereka bermata iba. Pun di mana guru-guru, kenapa selalu saja tak ada
mereka situasi seperti ini? Kenapa selalu saja tak ada takdir menyemai.
“Kamu kenapa celingak-celinguk?
Kamu pikir akan ada yang nolongin kamu? Bahkan guru-guru pun tak bisa berbuat
apa-apa. Karena ayahku adalah pemilik sekolah ini.”
Seolah Rini membaca pikirannya.
“Nikmati saja deritamu lagi hari
ini,” diikuti tawa puas.
Degum derita. Seperti arah jarum
jam di semua angka. Satu sampai dua belas. Terus saja berulang. Hanya menunggu
suatu hari betarainya akan rusak sehingga matahari akan muncul dan memberikan
secercah harapan.
Menangis. Ya, hanya tangisan
kembali menemani langkah Kirana membersihkan diri di toilet, sebelumnya
mengambil baju olahraga di laci di dalam kelas sambil terus menikmati tertawaan
kaum penyiksa. Untung masih ada baju olahraga.
Selalu ada jalan dalam kesyukuran. Benarkah hati Kirana bersyukur? Bukankah
menangis tanda kalau dia tidak menerima kenyataan dan menyalahkan Tuhan? Sama
sekali tidak. Dirinya tahu, semenjak dibuang oleh orang tua dia percaya bahwa
Allah memberinya cobaan karena kepercayaan mampu melewati semuanya. Akan
berakhir indah. Insya Allah.
***
“Apa yang sebenarnya membuat Kirana
bertahan?”
Pertanyaan itu terus berdentum.
Membuat pikiran Ferdi habis pikir, sekalipun dia dan Rini sekejam mungkin
menyiksa. Hanya saja selalu berakhir tangisan dan bangkit lagi. Jalan mana lagi
yang ditempuh? Bukankah sudah sangat kejam selama ini? Benarkah kata
teman-teman Kirana tahan banting, apapun yang dilakukan kepadanya akan tetap
berdiri kokoh?
Dan, tiba-tiba satu pikiran buruk
melintas dipikirannya dengan reaksi tersenyum.
“Sudah lama aku ingin melakukannya
dan kamu Kirana akan mendapatkannya.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar