post-thumbnail{float:left;margin-right:20px}

YUDHA

Selasa, 24 Oktober 2017

BAIDURI



BARAH
“Jangan tanyakan air mata, seperti kering membasahi pipi. Selamanya mungkin berarus di lautan benalu”

Kirana pernah terpaku di tempat, hanya saat malam pekat gelap, hanya saat sajadahnya sholatnya sudah basah. Dan, seperti malam kemarin hanya dengkuran keras tante Nini yang tertidur seperti Sapi terdengar nyaring.
Badan besar persis dengan amarahnya, hanya saja dari hati yang terdalam sama sekali tak membencinya, dia yang menemukannya dulu saat masih, ketika kedua orang tuanya membuangnya begitu saja. Pun tak pernah sama sekali membencinya, meski tiap hari harus seperti pembantu rumah tangga sebelum dan setelah datang sekolah. Mulai dari bersih-bersih, memasak sampai mencucikan baju-baju kotornya.  Alhamdulillah, dia tentu masih baik karena memberi makan meskipun hanya sisa dan berjanji jika besar nanti akan mengabulkan apapun permohonannya, termasuk membeli rumah mewah dan mengurusi semua keperluannya.

Ya, bagi Kirana masih ada kesyukuran, sekalipun dalam kesulitan. Bukan hanya di rumah kerap disiksa oleh tante Nini kala emosinya memuncak karena diomongin tetangga-tetangga, ataupun pembulian di sekolah. Harus diakui, kehidupan dari kecil sampai sekarang Kirana selalu saja menderaikan kepiluan. Mengeluh? Sudah tentu pernah, hanya manusia biasa. Tuhan akan memberikan jalan bagi yang berusaha memperbaiki jalannya. Hidup adalah sebuah roda kehidupan, tentang perubahan malam menjadi siang dan malam, bersama kehidupannya percaya akan berganti dengan baiduri.
***
“Dasar barah kamseupay, lelet banget sih jalanny. Ayo cepat, keburu ibu masuk,” Rini menarik tangan Kirana ke kelas, untuk menggantinya piket menyapu.
Rini adalah gadis paling kaya di sekolah, semua takut padanya selain Ferdi, pemuda yang diakui Kirana memang sempat membuatnya terpana dengan kebesaran Allah. Hanya saja......
“Kamu mau apain lagi si cemon ini? Apa dia bikin masalah lagi?” Ferdi datang dan langsung merangkul Rini.
Astagfirullah. Kirana hanya membekam dalam batin. Seenaknya mereka menyentuhkan kulit dengan kulit, padahal Allah sangat membencinya.
“Ini nih, kusuruh cewek rese ini buat gantiin aku menyapu di kelas. Masa cewek cantik seperti aku mengerkan tugas pembantu, sesekolahan nanti bilang apa,” jawab Rini sambil tersenyum.
Ferdi hanya menanggapi dengan mengangkat alis. Mereka benar-benar sehati, bahkan dalam hal membuly siswa-siswa lemah.
Pernah terdengar, ada beberapa siswa yang dibully oleh mereka sempat melawan dan berakhir dengan kemalangan, bagaimana tidak siswa itu malah dikeluarkan dari sekolah. Sungguh membuktikan kekuasaan di waktu ini memegang kendali.
“Ayo cepat, lakukan tugasmu!”
Rini kembali menyeret Kirana sampai membuatnya terluntai di lantai. Seperti menganggapnya barah. Tak perduli roknya yang robek dan berwarna merah, karena luka dilututnya.
Allah. Menangis.
“Ayo cepat, malah diam di lantai, kamu mau aku panggil teman-teman kelas buat tepungin kamu lagi?” bentak Rini.
Ya, kemarin kebetulan ulang tahun Rini dan Ferdi menghadiakan penyiksaan Kirana digudang sekolah, dilempari telur, tepung, air dingin yang berwarna tercium seperti fanta bersama riuh tawa kemenangan.
“Mungkin dia mau lagi dibully seperti kemarin,” Ferdi selalu mendukungnya, tak pernah merasa bersalah.
Kirana buru-buru bangkit. Masa bodoh dengan lukanya, sebelum ada luka lain.
Ukuran kelas yang kira-kira 12x15 dibersihkannya sendiri, bermula dengan mendorong merapikan kursi, kemudian menyapu semua bagian lantainya bersama isakan tertahan. Jangan turun, jangan hujan, jangan membuat mereka tahu kalau ada ketakutan. Ya, sebisa mungkin dia belajar menahan air mata, agar tak terlihat lemah. Hah......
Bersambung........ 


Pict Source: https://www.google.com/search?q=gambar+wanita+berhijab+kartun&client\

Tidak ada komentar:

Posting Komentar