post-thumbnail{float:left;margin-right:20px}

YUDHA

Sabtu, 28 Oktober 2017

CINTA DALAM KESEDIHAN (2)



Akhir yang tidak baik
Hujan cinta di hatiku ternyata sudah berarti, bukan, tidak lagi karena pertarungan.
Dan, rasa indah itu telah benar-benar ada, melunakkan keambisiusanku mengalahkan Bayu, walau, Bayu sendiri sekarang tidak mau lagi berteman dengaku saat tahu aku memenangkan pertarungan konyol itu.

Cinta Daus dan Sekar telah bertaut.
Dua tahun berlalu, kami telah melewati banyak ujian. Tetap saja langgen. Toh, selama trik Cassanova itu terus bekerja. Sesuatu yang jika diketahui Sekar dari mana awalnya mungkin akan menyulut perpisahan. Namun, kunci best yang menutup, terlalu rapat dan kuat untuk membongkar semuanya.
Duduk menikmati bakso kantin sekolah kesukaan kami,  yang harus diakui memang enak, tak hanya mengeyangkan, tetapi juga membuat ingin menambah, kenyal dan terasa enak melewati kerongkongan.
“Kamu bakal lanjut di mana Daus?”
Sekar sendiri di suruh keluarganya untuk kuliah di desa saja. Sekar, adalah anak satu-satunya dalam keluarga. Sudah seringkali, aku ke rumah gadisku, hanya ada ibunya di sana. Terkahir kali, ketika belajar di saat ujian nasional minggu kemarin. Ayahnya adalah pengusaha batubara, sering meninggalkan istri dan Sekar berdua di rumah. Pertimbangannya begitu, tidak mungkin melanjutkan kuliah di perkotaan, meninggalkan ibunya sendirian di rumah.
“Sekar, Kakakku memintaku untuk kuliah di kota Palu.”
Atmosfer kememdungan mulai muncul di raut wajahnya. Dia menetralisir cepat-cepat, “Oh gak apa-apa, kan bisa berhubungan jarak jauh,”
Sekar mengangkat mangkok baksonya, kenyang dengan pernyataanku. Aku mengerti.
Tenang, suasana yang menyalakan alarm di hatiku untuknya lebih cepat dari cahaya. Aku berbicara padanya, terkait minatku, siapapun tidak berhak memaksaku mengambil yang tidak ingin aku inginkan.
Sekar bagkit dari kemurungannya, ketika kuucap sesuatu dengan nada merayu.
“Sekar, aku tidak akan mampu meninggalkanmu.”
“Benar?”
Aku mengangguk sambil menghenyakkan sesunggin senyuman.
“Engkau adalah cintaku, tidak akan kubiarkan sendiri, sepi dalam kemendungan hati. Jujur mendapatkan hatimu adalah kebahagiaanku, menjagamu adalah tanggung jawabku, selamanya.”
Sekar membalas sampulan mekar. Namun, hanyut – mungkin aku benar-benar tidak bisa pergi jauh dari Sekar – belahan jiwa.
“Makasih, aku tidak akan melupakan kata-katamu ini, karena aku juga tidak akan mampu jauh darimu.”
Apa yang mungkin dilakukan pria lain dalam posisi seperti ini, pasti tidak jauh beda. Ingin tetap bersama gadis yang sangat dicintainya, membalutnya dengan kehangatan dan ketenangan.
Jarum waktu terus bergerak. Tanpa sepengetahuanku, seluruh barang dan keperluanku kuliah telah di urus oleh kakakku di kota.  Aku resah, melirik wajah gadisku berkali-kali. Haruskah aku memberitahu Sekar? Sekar mungkin akan kecewa. Tidak mungkin dia setuju. Baru kemarin, aku mengatakan tidak akan meninggalkannya, saat matanya yang sayup berbicara tidak ingin melepaskanku.
Aku mengerti jika Sekar terheran-heran.
Ini bisa jadi paling menyakitkan, kenapa aku langsung menarik tangannya dan membawanya ke taman, tempat kami dulu jadian.
Sekar sudah akan duduk, tetapi aku membawanya berjalan sedikit lebih jauh. Suasana sabtu sore pekan ramai, persis ketika moment katakan cinta dulu. Di bawah pohon rindang bersama menikmati indahnya langit. Nampak dipelupuk mata satu-dua pasangan sedang lending.
Aku berlutut di hadapan Sekar, persis di tempat dua tahun lalu gadis itu mengangguk sambil menyungginkan kecerahan hingga cahayanya sampai ke dalam-dalam jantung. Wajah Sekar yang biasa tenang, ketika itu sedikit tersipu. Semburat samar di pipi memantulkan lagi tawa, mengenang betapa kocak kelakuanku dulu yang langsung melonjak kegirangan dan berlari-lari tidak jelas layaknya anak kecil, setelah mengetahui isi hati Sekar.
Kenangan paling indah, memori yang tidak akan pernah bisa dilupakan, detik cintaku tebalaskan.
“Seandainya waktu bisa diulang,”
Batinku, merutuki diri.
“Daus, ada apa sebenarnya?”
Pertanyaan gadisku, menambah kemendungan yang coba kuganti dengan kemasan senyuman. Dua tahun bukan waktu sebentar. Banyak cerita-cerita yang sudah kita lalui bersama, dan apakah akan sanggup menikmati perpisahan yang sudah ada di depan mata.
Sekar sudah mengenalku dengan baik, walaupun hanya dengan satu pandangan lekat dia bisa menebak, jika prianya sedang bermasalah.
Lalu, suhu ganjil menyesaki.
Mendadak ungkapan-ungkapan seperti menguap  ke udara sebelum sempat aku membungkamnya satu persatu, mencoba membentuk rangkaian kata yang lebih baik terlontarkan untuk disampaikan.
Namun, tidak ada waktu dan cara lagi untuk menyampaikan kabar buruk seperti yang sedang kutanggung.
“Daus, jangan buat aku bingung.”
Aku mengumpulkan kepingan demi kepingan keberanian dengan kerja keras, sampai-sampai keringat dingin menjalar. Mencoba menantang mata sayu gadis yang paling kucintai.
“Sekar, tahu kan di taman ini....”
Sekar mengangguk pelan. Aku yakin, dia tidak mungkin lupa. Sosok pria bediri di sisinya termasuk cassanova yang sudah benar-benar merebut hatinya. Terkenal hangat dan membuatnya membutuhkanku selalu. Dulu mungkin dia sempat bertanya, kenapa bisa aku mencintainya, teman yang awalnya hanya saling berbagi, memberi dan diberi.
Mungkin inilah yang dinamakan cinta?
Tidak bisa ditebak.
“Sekar,”
Ucapku- kembali.
“Sekar, tahu kan, bagaimana kak Hamdan? kakaku yang maunya hanya keinginannya yang dikabulkan dan tanpa pernah memikirkan perasaan saudaranya sendiri. Kak Hamdan sudah membawa dan mengurus segala urusan perkuliahanku di kota.”
Sekar kehilangan kata-kata.
Jauh dalam hati, bersenandung melodi kepiluan yang bergambar di wajahnya. Harapan kisah cintanya yang selalu ingin bersama, tiba-tiba akan dihancurkan oleh keegoisan orang-orang di sekitar dan tidak memberi kesempatan untuk mengambil pilihan hidup sendiri.
“Apakah mungkin aku bisa melepaskanmu?” tanyaku, “aku sebenarnya tidak ingin jauh darimu, tapi mau bagaimana lagi, aku juga punya impian.”
Sekar mengangkat bahu.
“Aku mohon katakan sesuatu, jangan diamkan aku. Kalau engkau katakan untuk tidak pergi, aku tidak akan pergi. Aku akan terus di sampingmu, bagaimanapun konsekuensinya.”
“Terus bagaimana dengan impianmu?”
Aku tak langsung menjawab. Betapa pun aku ingin mewujudkan cintaku, citaku ingin aku pun gapai, mimpi jadi seorang hakim yang adil, tetapi mau tidak mau kuatnya ia, demi cinta, tidak akan kukejar.
Gadis yang dulunya hanya sebagai taruhan dan mengantarnya mengenal arti cinta yang sesungguhnya tentang bagaimana kesetiaan dan menghilangkan ego masing-masing demi keharmonisan hubungan.
“Pergilah, jangan karena aku, engkau tidak mengejar mimpimu.”
Air mata telah berjatuhan di pipi Sekar.
Terjadi pengurasan kesedihan di aura wajahnya. Kemudian, tak mampu dia bendung dan memilih berlari pergi.
Aku sebenarnya tidak tega, terpaksa memberitahu yang sesungguhnya. Rasanya pedih menyaksikan gadis pemilik hati terluka pergi begitu saja, tanpa mencoba menghentikan aku yang ingin pergi jauh.
Uniknya apa yang terjadi setelah kejadian ini terdengar di telinga ibu Sekar, dia mencoba menghentikanku. Meskipun anaknya sendiri lebih ingin aku mengejar apa yang aku ingin raih, tidak semudah itu aku mengambil keputusan sementara aku sendiri juga masih bingung.
Baru kali ini terjadi dalam hidupku, tidak bisa berbuat apa-apa. Serba salah.
Namun, begitu mendapat pencerahan dari pak Syahid, guru agamaku, maka nyala kehidupanku kembali bersorot lagi. Mengejar asa, walau jarak akan cinta terbentang.
Ketabahan aku coba tekuk berhadapan dengan Sekar dan ibunya. Ketika harus mengucapkan kata perpisahan, dengan suara lemah lembut mencoba meraih tangan Sekar.
“Sekar, aku pergi ya. Baik-baik ya di sini. Tante aku juga mau pamit ya.”
Kalimatku dengan senyum kesedihan, menghadapi kenyataan akan berada di tempat yang berbeda dengan Sekar yang terus menerus berair mata.
Sekar menangis lagi karenaku. Bahkan mamanya pun juga ikut terlarut, menyaksikan kisah cinta anaknya yang sungguh mengharukan. Dengan sifat keibuannya, ia memeluk anaknya, mencoba membalut kesedihannya dengan dekapan hangat.
Meskipun sakit aku harus tegar menjalani ini semua dari sekarang dan belajar lebih kuat dari sebelumnya.
“Sekar, jangan khawatir. Akan kujaga cinta ini untukmu, malah akan semakin besar. Jangan cemaskan aku, aku akan baik-baik saja di sana. Ada keindahan di balik semua ini, kita pasti bisa menghadapi ujian cinta kita kali ini.”
Yang mengagumkan isi pesan yang kukirim ke nomor Sekar, berharap lebih tangguh, aku tak hanya memberikan semangat kepada gadisku lewat sms singkat itu, melainkan berharap dia merelakan atau menerima kenyataan.
Enam bulan di kota – satu semester, walaupun besar, rindu untuk bertemu dengannya kuurungkan. Di waktu libur semester adalah rencanaku, berjanji, akan menemuinya dengan membawa segenap cinta dan segudang sayang. Seluruh aktifitas organisasiku akan kusampingkan hanya untuk melihat gadisku yang kubanggakan selama ini.
Langit dihiasi sedikit awan mendung ketika aku sudah saatnya bertamu di matanya.
Di taman, tempat tersimpannya banyak kenangan, aku duduk di kursi panjang berwarna hitam pekat sambil memandangi bunga melati, bunga favorit Sekar dan hadiah kalung yang sebentar lagi akan kupakaikan di lehernya. Aku menyandarkan tubuhku pada sandaran kursi terus menyampulkan kebahagiaan.
“Daus...”
Suara sekar menggema. Memanggil namaku yang menghipnotisku mencarinya untuk segera mengatakan aku sangat rindu padanya. Tidak, “Ada pria lain, memegang tangannya.”
Jika dipikir dengan logika, siapapun akan terheran heran dan perlahan-lahan akan memerah melihat pacarnya berepegangan tangan dengan pria lain, bahkan di waktu pertama kalinya bertemu setelah sekian lama menghirup oksigen hijab.
Sekar memberi isyarat dari tatapannya yang sudah berbeda.
“Siapa dia?”
Tidak mungkin, bantahku dalam hati.
Hanya setetes air mata yang jatuh ke pipinya. Jawaban dari semuanya.
Hadiah kecil dari Sekar, betapa sakitnya menderuh yang merajam isi hati. Selama ini, semenjak aku dan Sekar berpisah, telepon dan smsku memang jarang direspon. Mungkin sibuk kuliah juga. Namun, ternyata sudah ada pengganti diriku. Karma.
Tidak akan muncul lagi di depannya. Aku tidak akan menjenjakkan diri lagi dalam hidupnya, Sekar sudah membuangku. Aku akan pergi dari hidupnya dengan membawa cinta yang penuh dengan kesedihan – penghianatan.



Notes: Jangan lupa coment saran dan kritiknya, plus votenya.
Pict source: qimta.deviantart.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar