Akhir
yang tidak baik
Dan,
rasa indah itu telah benar-benar ada, melunakkan keambisiusanku mengalahkan
Bayu, walau, Bayu sendiri sekarang tidak mau lagi berteman dengaku saat tahu
aku memenangkan pertarungan konyol itu.
Cinta
Daus dan Sekar telah bertaut.
Dua
tahun berlalu, kami telah melewati banyak ujian. Tetap saja langgen. Toh,
selama trik Cassanova itu terus bekerja. Sesuatu yang jika diketahui Sekar dari
mana awalnya mungkin akan menyulut perpisahan. Namun, kunci best yang menutup,
terlalu rapat dan kuat untuk membongkar semuanya.
Duduk
menikmati bakso kantin sekolah kesukaan kami,
yang harus diakui memang enak, tak hanya mengeyangkan, tetapi juga
membuat ingin menambah, kenyal dan terasa enak melewati kerongkongan.
“Kamu
bakal lanjut di mana Daus?”
Sekar
sendiri di suruh keluarganya untuk kuliah di desa saja. Sekar, adalah anak
satu-satunya dalam keluarga. Sudah seringkali, aku ke rumah gadisku, hanya ada
ibunya di sana. Terkahir kali, ketika belajar di saat ujian nasional minggu
kemarin. Ayahnya adalah pengusaha batubara, sering meninggalkan istri dan Sekar
berdua di rumah. Pertimbangannya begitu, tidak mungkin melanjutkan kuliah di
perkotaan, meninggalkan ibunya sendirian di rumah.
“Sekar,
Kakakku memintaku untuk kuliah di kota Palu.”
Atmosfer
kememdungan mulai muncul di raut wajahnya. Dia menetralisir cepat-cepat, “Oh
gak apa-apa, kan bisa berhubungan jarak jauh,”
Sekar
mengangkat mangkok baksonya, kenyang dengan pernyataanku. Aku mengerti.
Tenang,
suasana yang menyalakan alarm di hatiku untuknya lebih cepat dari cahaya. Aku
berbicara padanya, terkait minatku, siapapun tidak berhak memaksaku mengambil
yang tidak ingin aku inginkan.
Sekar
bagkit dari kemurungannya, ketika kuucap sesuatu dengan nada merayu.
“Sekar,
aku tidak akan mampu meninggalkanmu.”
“Benar?”
Aku
mengangguk sambil menghenyakkan sesunggin senyuman.
“Engkau
adalah cintaku, tidak akan kubiarkan sendiri, sepi dalam kemendungan hati.
Jujur mendapatkan hatimu adalah kebahagiaanku, menjagamu adalah tanggung
jawabku, selamanya.”
Sekar
membalas sampulan mekar. Namun, hanyut – mungkin aku benar-benar tidak bisa
pergi jauh dari Sekar – belahan jiwa.
“Makasih,
aku tidak akan melupakan kata-katamu ini, karena aku juga tidak akan mampu jauh
darimu.”
Apa
yang mungkin dilakukan pria lain dalam posisi seperti ini, pasti tidak jauh
beda. Ingin tetap bersama gadis yang sangat dicintainya, membalutnya dengan
kehangatan dan ketenangan.
Jarum
waktu terus bergerak. Tanpa sepengetahuanku, seluruh barang dan keperluanku
kuliah telah di urus oleh kakakku di kota.
Aku resah, melirik wajah gadisku berkali-kali. Haruskah aku memberitahu
Sekar? Sekar mungkin akan kecewa. Tidak mungkin dia setuju. Baru kemarin, aku
mengatakan tidak akan meninggalkannya, saat matanya yang sayup berbicara tidak
ingin melepaskanku.
Aku
mengerti jika Sekar terheran-heran.
Ini
bisa jadi paling menyakitkan, kenapa aku langsung menarik tangannya dan
membawanya ke taman, tempat kami dulu jadian.
Sekar
sudah akan duduk, tetapi aku membawanya berjalan sedikit lebih jauh. Suasana
sabtu sore pekan ramai, persis ketika moment katakan cinta dulu. Di bawah pohon
rindang bersama menikmati indahnya langit. Nampak dipelupuk mata satu-dua
pasangan sedang lending.
Aku
berlutut di hadapan Sekar, persis di tempat dua tahun lalu gadis itu mengangguk
sambil menyungginkan kecerahan hingga cahayanya sampai ke dalam-dalam jantung.
Wajah Sekar yang biasa tenang, ketika itu sedikit tersipu. Semburat samar di
pipi memantulkan lagi tawa, mengenang betapa kocak kelakuanku dulu yang
langsung melonjak kegirangan dan berlari-lari tidak jelas layaknya anak kecil,
setelah mengetahui isi hati Sekar.
Kenangan
paling indah, memori yang tidak akan pernah bisa dilupakan, detik cintaku
tebalaskan.
“Seandainya
waktu bisa diulang,”
Batinku,
merutuki diri.
“Daus,
ada apa sebenarnya?”
Pertanyaan
gadisku, menambah kemendungan yang coba kuganti dengan kemasan senyuman. Dua
tahun bukan waktu sebentar. Banyak cerita-cerita yang sudah kita lalui bersama,
dan apakah akan sanggup menikmati perpisahan yang sudah ada di depan mata.
Sekar
sudah mengenalku dengan baik, walaupun hanya dengan satu pandangan lekat dia
bisa menebak, jika prianya sedang bermasalah.
Lalu,
suhu ganjil menyesaki.
Mendadak
ungkapan-ungkapan seperti menguap ke udara
sebelum sempat aku membungkamnya satu persatu, mencoba membentuk rangkaian kata
yang lebih baik terlontarkan untuk disampaikan.
Namun,
tidak ada waktu dan cara lagi untuk menyampaikan kabar buruk seperti yang
sedang kutanggung.
“Daus,
jangan buat aku bingung.”
Aku
mengumpulkan kepingan demi kepingan keberanian dengan kerja keras,
sampai-sampai keringat dingin menjalar. Mencoba menantang mata sayu gadis yang
paling kucintai.
“Sekar,
tahu kan di taman ini....”
Sekar
mengangguk pelan. Aku yakin, dia tidak mungkin lupa. Sosok pria bediri di
sisinya termasuk cassanova yang sudah benar-benar merebut hatinya. Terkenal hangat
dan membuatnya membutuhkanku selalu. Dulu mungkin dia sempat bertanya, kenapa
bisa aku mencintainya, teman yang awalnya hanya saling berbagi, memberi dan
diberi.
Mungkin
inilah yang dinamakan cinta?
Tidak
bisa ditebak.
“Sekar,”
Ucapku-
kembali.
“Sekar,
tahu kan, bagaimana kak Hamdan? kakaku yang maunya hanya keinginannya yang
dikabulkan dan tanpa pernah memikirkan perasaan saudaranya sendiri. Kak Hamdan
sudah membawa dan mengurus segala urusan perkuliahanku di kota.”
Sekar
kehilangan kata-kata.
Jauh
dalam hati, bersenandung melodi kepiluan yang bergambar di wajahnya. Harapan
kisah cintanya yang selalu ingin bersama, tiba-tiba akan dihancurkan oleh
keegoisan orang-orang di sekitar dan tidak memberi kesempatan untuk mengambil
pilihan hidup sendiri.
“Apakah
mungkin aku bisa melepaskanmu?” tanyaku, “aku sebenarnya tidak ingin jauh
darimu, tapi mau bagaimana lagi, aku juga punya impian.”
Sekar
mengangkat bahu.
“Aku
mohon katakan sesuatu, jangan diamkan aku. Kalau engkau katakan untuk tidak
pergi, aku tidak akan pergi. Aku akan terus di sampingmu, bagaimanapun konsekuensinya.”
“Terus
bagaimana dengan impianmu?”
Aku
tak langsung menjawab. Betapa pun aku ingin mewujudkan cintaku, citaku ingin
aku pun gapai, mimpi jadi seorang hakim yang adil, tetapi mau tidak mau kuatnya
ia, demi cinta, tidak akan kukejar.
Gadis
yang dulunya hanya sebagai taruhan dan mengantarnya mengenal arti cinta yang
sesungguhnya tentang bagaimana kesetiaan dan menghilangkan ego masing-masing
demi keharmonisan hubungan.
“Pergilah,
jangan karena aku, engkau tidak mengejar mimpimu.”
Air
mata telah berjatuhan di pipi Sekar.
Terjadi
pengurasan kesedihan di aura wajahnya. Kemudian, tak mampu dia bendung dan
memilih berlari pergi.
Aku
sebenarnya tidak tega, terpaksa memberitahu yang sesungguhnya. Rasanya pedih
menyaksikan gadis pemilik hati terluka pergi begitu saja, tanpa mencoba
menghentikan aku yang ingin pergi jauh.
Uniknya
apa yang terjadi setelah kejadian ini terdengar di telinga ibu Sekar, dia
mencoba menghentikanku. Meskipun anaknya sendiri lebih ingin aku mengejar apa
yang aku ingin raih, tidak semudah itu aku mengambil keputusan sementara aku
sendiri juga masih bingung.
Baru
kali ini terjadi dalam hidupku, tidak bisa berbuat apa-apa. Serba salah.
Namun,
begitu mendapat pencerahan dari pak Syahid, guru agamaku, maka nyala
kehidupanku kembali bersorot lagi. Mengejar asa, walau jarak akan cinta
terbentang.
Ketabahan
aku coba tekuk berhadapan dengan Sekar dan ibunya. Ketika harus mengucapkan
kata perpisahan, dengan suara lemah lembut mencoba meraih tangan Sekar.
“Sekar,
aku pergi ya. Baik-baik ya di sini. Tante aku juga mau pamit ya.”
Kalimatku
dengan senyum kesedihan, menghadapi kenyataan akan berada di tempat yang
berbeda dengan Sekar yang terus menerus berair mata.
Sekar
menangis lagi karenaku. Bahkan mamanya pun juga ikut terlarut, menyaksikan
kisah cinta anaknya yang sungguh mengharukan. Dengan sifat keibuannya, ia
memeluk anaknya, mencoba membalut kesedihannya dengan dekapan hangat.
Meskipun
sakit aku harus tegar menjalani ini semua dari sekarang dan belajar lebih kuat
dari sebelumnya.
“Sekar,
jangan khawatir. Akan kujaga cinta ini untukmu, malah akan semakin besar.
Jangan cemaskan aku, aku akan baik-baik saja di sana. Ada keindahan di balik
semua ini, kita pasti bisa menghadapi ujian cinta kita kali ini.”
Yang
mengagumkan isi pesan yang kukirim ke nomor Sekar, berharap lebih tangguh, aku
tak hanya memberikan semangat kepada gadisku lewat sms singkat itu, melainkan
berharap dia merelakan atau menerima kenyataan.
Enam
bulan di kota – satu semester, walaupun besar, rindu untuk bertemu dengannya
kuurungkan. Di waktu libur semester adalah rencanaku, berjanji, akan menemuinya
dengan membawa segenap cinta dan segudang sayang. Seluruh aktifitas organisasiku
akan kusampingkan hanya untuk melihat gadisku yang kubanggakan selama ini.
Langit
dihiasi sedikit awan mendung ketika aku sudah saatnya bertamu di matanya.
Di
taman, tempat tersimpannya banyak kenangan, aku duduk di kursi panjang berwarna
hitam pekat sambil memandangi bunga melati, bunga favorit Sekar dan hadiah
kalung yang sebentar lagi akan kupakaikan di lehernya. Aku menyandarkan tubuhku
pada sandaran kursi terus menyampulkan kebahagiaan.
“Daus...”
Suara
sekar menggema. Memanggil namaku yang menghipnotisku mencarinya untuk segera mengatakan
aku sangat rindu padanya. Tidak, “Ada pria lain, memegang tangannya.”
Jika
dipikir dengan logika, siapapun akan terheran heran dan perlahan-lahan akan
memerah melihat pacarnya berepegangan tangan dengan pria lain, bahkan di waktu
pertama kalinya bertemu setelah sekian lama menghirup oksigen hijab.
Sekar
memberi isyarat dari tatapannya yang sudah berbeda.
“Siapa
dia?”
Tidak
mungkin, bantahku dalam hati.
Hanya
setetes air mata yang jatuh ke pipinya. Jawaban dari semuanya.
Hadiah
kecil dari Sekar, betapa sakitnya menderuh yang merajam isi hati. Selama ini,
semenjak aku dan Sekar berpisah, telepon dan smsku memang jarang direspon.
Mungkin sibuk kuliah juga. Namun, ternyata sudah ada pengganti diriku. Karma.
Tidak
akan muncul lagi di depannya. Aku tidak akan menjenjakkan diri lagi dalam
hidupnya, Sekar sudah membuangku. Aku akan pergi dari hidupnya dengan membawa
cinta yang penuh dengan kesedihan – penghianatan.
Notes: Jangan lupa coment saran dan kritiknya, plus votenya.
Pict source: qimta.deviantart.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar