“Ting-ting,
ting-ting,” bunyi lonceng bergema.
Aku
dan semua teman-teman tercengang. Pak Idris guru mate-matika siang itu mulai
mengakhiri kelas, sambil menuturkan salam dan bergegas keluar, dengan membawa
satu buku cetak di tangannya.
Kami juga segera merapikan buku lalu memasukkan ke dalam tas. Setelah semua beres, aku berlari ke perpustakaan dengan laju kecepatan di atas ambang intensitas, tanpa terduga aku menabrak seorang gadis ayu, Shinwo adik kelasku. Hingga kami berjatuhan ke lantai.
Kami juga segera merapikan buku lalu memasukkan ke dalam tas. Setelah semua beres, aku berlari ke perpustakaan dengan laju kecepatan di atas ambang intensitas, tanpa terduga aku menabrak seorang gadis ayu, Shinwo adik kelasku. Hingga kami berjatuhan ke lantai.
“Sorry,
aku gak sengaja,”
“Gak
pa-pa kak,”
Terlihat
ada luka di tangannya akibat terjatuh tadi, segera aku membawanya pergi ke UKS
untuk mengobati luka itu. Dia menurut saja, apa yang kuperintahkan padanya dan
itu semua memang hanya untuk kebaikannya. Mulai dari perkenalan yang tak
terduga itu, kami mulai akrab dan sering menghabiskan waktu bersama. Dia sangat
nyaman di dekatku, karena aku selalu membantu mengerjakan tugas-tugas sekolah
yang kurang dimengertinya. Begitupun aku, juga merasa nyaman jika berada di
sampingnya, melihat senyumnya seperti memberiku kekuatan untuk lebih semangat
di sekolah.
Entah
perasaan macam apa yang aku rasakan ini, sepertinya aku menyukainya. Dibenakku
muncul keinginanku untuk menjadikannya pacar, namun sepertinya itu mustahil
terjadi, aku sudah berjanji kepada diri sendiri, sebelum aku lulus SMA aku
tidak boleh pacaran, apapun yang terjadi. Sering aku memikirkan itu,
merenungkan jalan yang harus kutempuh. Apakah aku harus melanggar prinsipku
itu, ataukah harus tetap memegangnya erat sampai bisa aku lakukan. Aku bingun
harus berlakon apa.
Hari-hari
berganti, mengalun begitu cepat dari yang dibayangkan. Aku dan Shinwo semakin
lengket saja, bagaikan best couple sesekolahan. Di perpus, di kantin, di taman
sekolah atau kemanapun aku pergi, pasti ada Shinwo di sampingku.
Banyak
teman-temanku yang selalu bertanya status hubungan kami, yang tidak pernah bisa
aku jawab tegas, sementara reaksi Shinwo hanya tersipu malu. Karena keseringan
ditanya, Shinwo pun memberanikan diri untuk bertanya langsung kepadaku,
perasaanku yang sebenarnya padanya.
“Kak,
sebenarnya hubungan kita bagaimana sih? apakah kakak menyukai saya atau tidak?”
Aku
membisu, tidak sepatah katapun yang bisa kulontarkan dari mulutku. Aku menatap
dalam matanya dan dia mulai bertanya lagi padaku tentang rasaku.
Aku
yang diam seribu bahasa membuat Shinwo marah dan pergi dari hadapanku. Aku
tidak bisa mengejarnya, aku tidak bisa melanggar janji yang telah aku ucapkan
pada diriku sendiri.
Waktu
berlalu, hubunganku dengannya seolah pupus berantakan. Di saat kami berpapasan,
dia pasti membuang muka dan menjauh, segera mungkin berpaling dari pandangan.
Sedang aku, selalu saja bersikap diam padanya tanpa mencoba memberinya
penejelasan.
“Maafkan
aku Shin, aku gak bisa mengejar kamu.”
Hingga
masa memuncak, dia tidak tahan lagi ingin tahu bagaimana sebenarnya perasaanku
padanya. Dia memberanikan diri lagi menemuiku di sudut perpustakaan sekolah,
yang sedang membaca cermat sebuah buku.
“Kak,
maaf aku lancang, aku gak tahan lagi kak kita begini, berada dalam
ketidakpastian. Apa susahnya sih kak, kakak ngungkapin perasaan yang
sebenarnya. Sebenarnya suka atau tidak dengan saya?” Shinwo tegas, terlihat ada
kaca-kaca di matanya.
Aku
melumpuh, masih saja diam seperti kemarin-kemarin. Hingga dia selalu mendesakku
untuk mengatakan yang sebenarnya dan kini kulihat sudah air matanya yang
berjatuhan. Aku sudah tak mampu lagi terpaku, kucoba untuk berdiri, memegang
tangannya dan menjawab pertanyaannya. Dengan aura wajah memucat, percaya inilah
yang terbaik.
“Maafin
aku Shin, aku gak bisa sama kamu. Aku gak boleh pacaran dulu, aku harus
ngejomblo sampai aku lulus SMA, itu sudah prinsip aku untuk tetap eksis
belajar,” jawabku jujur.
Dia
makin menderaskan air mata, mendengar kata-kata yang keluar dari mulutku. Dan,
berlari terbirit-birit dengan isak tangis.
“Maafin
aku, aku gak bisa langgar prinsipku,” batinku.
Tidak
akan mengejarnya, meski ingin mengejarnya tetap tidak bisa. inilah yang terbaik
antara aku dengan dia. Harus tetap memegang erat prinsipku, walau hidup
menjomblo dulu, itu tidak masalah. Terserah orang mau bilang apa tentangku,
yang aku tahu aku harus tetap fokus mengejar cita dan impianku.
Aku
masih muda, aku harus berkarya, bukannya menghabiskan waktu untuk pacaran
melainkan harus sibuk mengurusi masa depan. Dan aku juga pegang satu prinsip
yang akan kubuktikan nanti, bahwa harus memantaskan diri dulu, untuk dicintai
wanita pada saatnya, dengan prestasi dan pendirian teguh yang kupunya, aku
yakin aku bisa mendapatkan tulang rusukku kembali pada waktunya.
*Notes: Beri coment dan rating, jangan lupa saran dan kritiknya!!!
Pict source: duniajilbab.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar