post-thumbnail{float:left;margin-right:20px}

YUDHA

Kamis, 26 Oktober 2017

SAAT AKU DIDUAKAN





Cahaya langit sore  mulai meremang, mega merah di pinggir langit akan seger lenyap. Hembusan angin malam pun sepertinya segera mengundang rembulan, meneramkan sinarnya dikelabuan. Aku sibuk menulis gambar love di kursi panjang, tempat biasa aku duduk di taman kota. 


Dingin mulai membalut diri, tajamnya menusuki tulang. Kurangkulkan tanganku di badan, aku memeluk diriku sendiri. Aku berdiri dari kedudukanku, melihat kekanan-kekiri, mondar-mandir seperti setrika, sepertinya hatiku tidak menentu. Sementara Waktu begitu lama mengalun, detakan detik rasanya sama dengan setahun.
Aku mengeluhkan lagi nafas panjang sambil melihat ke langit-langit tinggi, terbayang aura wajahnya di sana, tersenyum, meredamkan kejenuhan seperti saat-saat sebelumnya. Aku tersipu sendiri, kala membenamkan senyum menawannya di kalbu, seperti mempunyai kekuatan menahanku untuk tetap bertahan.
Kulihat arloji yang mengikat di tangan kiri, kupandangi arah jarum jam panjangnya, satu jam terlewat. Kuputuskan untuk menepi, sebentar mencari lahapan penunda lapar, tidak lupa kusiapkan pula untuk dirinya.
Aku kembali menjejak ke tempatku, kulihat gambar love yang tadi kuukir. Kurasa masih kurang dan bentuknya tidak seperti jantung. Kuputuskan untuk menghapus dan menggambar ulang, sembari mengisi kekosongan dalam kesendirian. Satu love, dua love, tiga love dan akhirnya banyak gambar love yang membentuk jantung, kutorehkan namanya di sana, “Lia Cintia Ningrum” pencuri hati dan belahan jiwaku.
Aku menyungginkan lagi senyuman, sembari kulihat tersampul wajah ayunya di gambar love itu. Sungguh dia benar-benar telah membuatku mabuk kepayang, serasa hatiku ini tidak ada artinya tanpa dirinya, jangankan untuk selingkuh, berpaling kepada yang lain, setiap detik pikiranku disita olehnya. Membayangkan dirinya membuatku tidak sadar, duduk sekian dua jam lamanya.
Kupandangi lagi arloji, tiga jam telah berlalu. Sementara udara malam kian menyusup, dingin begitu membalut. “Ting-tong, ting-tong,” sesaat ringtone pesan ponselku berbunyi, segera kubuka sms yang mendarat di sana. “Maaf ya Yudh, kayaknya kita tidak jadi ketemuan. Soalnya aku ada urusan penting,” isi pesan dari Lia.
Aku menghembuskan lagi nafas panjang, seperti sudah saatnya aku untuk pergi. Mencoba mengerti, mungkin benar sekarang dia ada urusan yang tidak bisa ditinggalkan. Kuberjalan pulang di atas trotoar jalan, sambil melihat-lihat apakah ada angkot yang akan segera mengantarkan pulang. Benar, dari jauh terlihat sebuah angkot biru, kulambaiakan tangan kiri dan dia berhenti.
Aku terdiam seketika saat menatap dua penumpang yang ada di dalam mobil itu, sedang berpegang tangan dengan mesranya. Rasa sesak muncul tiba-tiba dalam diri, sepertinya aku tidak bisa berdiri tegak, aku akan segera lumpuh. Mataku memerah, kukepal tangan dengan sangat keras, rasanya ingin kulampiaskan amarah yang datang menghadangku. Kupandangi lagi mereka, dua orang yang aku kenali. Seseorang yang membuatku lupa akan waktu tiga jam hari ini dan seseorang yang sudah aku anggap sebagai saudara sendiri, mereka bercumbu di depanku. Hingga aku tahu jawabannya, aku diduakan mereka.
Aku terjaga dari kelabilan, kusadarkan diri dengan lafadz istigfar. “Astagfirullah al-adzim, Astagfirullah al-adzim,” dua sampai tiga kali kuucapkan, lalu menghembuskan nafas panjang. Mencoba melepaskan kepalan panas tanganku dan kupandangi lagi mereka. Kemarahanku teredamkan dengan senyum pasrah yang kusampulkan kepada mereka. Kuturun dari mobil itu, tanpa sepatah kata pun yang terlontar dari mulut. Kucoba terima keadaan.


"Notes: Tolong beri coment and rating! Jangan lupa saran dan kritiknya....!


Pict source: kartun.com






Tidak ada komentar:

Posting Komentar