
Dingin
mulai membalut diri, tajamnya menusuki tulang. Kurangkulkan tanganku di badan,
aku memeluk diriku sendiri. Aku berdiri dari kedudukanku, melihat
kekanan-kekiri, mondar-mandir seperti setrika, sepertinya hatiku tidak menentu.
Sementara Waktu begitu lama mengalun, detakan detik rasanya sama dengan
setahun.
Aku
mengeluhkan lagi nafas panjang sambil melihat ke langit-langit tinggi,
terbayang aura wajahnya di sana, tersenyum, meredamkan kejenuhan seperti
saat-saat sebelumnya. Aku tersipu sendiri, kala membenamkan senyum menawannya
di kalbu, seperti mempunyai kekuatan menahanku untuk tetap bertahan.
Kulihat
arloji yang mengikat di tangan kiri, kupandangi arah jarum jam panjangnya, satu
jam terlewat. Kuputuskan untuk menepi, sebentar mencari lahapan penunda lapar,
tidak lupa kusiapkan pula untuk dirinya.
Aku
kembali menjejak ke tempatku, kulihat gambar love yang tadi kuukir. Kurasa
masih kurang dan bentuknya tidak seperti jantung. Kuputuskan untuk menghapus
dan menggambar ulang, sembari mengisi kekosongan dalam kesendirian. Satu love,
dua love, tiga love dan akhirnya banyak gambar love yang membentuk jantung,
kutorehkan namanya di sana, “Lia Cintia Ningrum” pencuri hati dan belahan
jiwaku.
Aku
menyungginkan lagi senyuman, sembari kulihat tersampul wajah ayunya di gambar
love itu. Sungguh dia benar-benar telah membuatku mabuk kepayang, serasa hatiku
ini tidak ada artinya tanpa dirinya, jangankan untuk selingkuh, berpaling
kepada yang lain, setiap detik pikiranku disita olehnya. Membayangkan dirinya
membuatku tidak sadar, duduk sekian dua jam lamanya.
Kupandangi
lagi arloji, tiga jam telah berlalu. Sementara udara malam kian menyusup,
dingin begitu membalut. “Ting-tong, ting-tong,” sesaat ringtone pesan ponselku
berbunyi, segera kubuka sms yang mendarat di sana. “Maaf ya Yudh, kayaknya kita
tidak jadi ketemuan. Soalnya aku ada urusan penting,” isi pesan dari Lia.
Aku
menghembuskan lagi nafas panjang, seperti sudah saatnya aku untuk pergi.
Mencoba mengerti, mungkin benar sekarang dia ada urusan yang tidak bisa
ditinggalkan. Kuberjalan pulang di atas trotoar jalan, sambil melihat-lihat
apakah ada angkot yang akan segera mengantarkan pulang. Benar, dari jauh
terlihat sebuah angkot biru, kulambaiakan tangan kiri dan dia berhenti.
Aku
terdiam seketika saat menatap dua penumpang yang ada di dalam mobil itu, sedang
berpegang tangan dengan mesranya. Rasa sesak muncul tiba-tiba dalam diri,
sepertinya aku tidak bisa berdiri tegak, aku akan segera lumpuh. Mataku
memerah, kukepal tangan dengan sangat keras, rasanya ingin kulampiaskan amarah
yang datang menghadangku. Kupandangi lagi mereka, dua orang yang aku kenali.
Seseorang yang membuatku lupa akan waktu tiga jam hari ini dan seseorang yang
sudah aku anggap sebagai saudara sendiri, mereka bercumbu di depanku. Hingga
aku tahu jawabannya, aku diduakan mereka.
Aku
terjaga dari kelabilan, kusadarkan diri dengan lafadz istigfar. “Astagfirullah
al-adzim, Astagfirullah al-adzim,” dua sampai tiga kali kuucapkan, lalu menghembuskan
nafas panjang. Mencoba melepaskan kepalan panas tanganku dan kupandangi lagi
mereka. Kemarahanku teredamkan dengan senyum pasrah yang kusampulkan kepada
mereka. Kuturun dari mobil itu, tanpa sepatah kata pun yang terlontar dari
mulut. Kucoba terima keadaan.
"Notes: Tolong beri coment and rating! Jangan lupa saran dan kritiknya....!
Pict source: kartun.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar