Fitri
dan Tina menghela nafas lega.
Mereka
berdua duduk di selasar rumah ketika baru sampai dari sekolah dengan keringat
yang menggulung di badan dan seragam putih abu-abu keduanya. Fitri tak tega
melihat keringat di wajah Tina dan segera menyeka dengan sapu tangan biru
miliknya.
“Gak
enak banget tahu ngelihat mukamu yang jelek tambah jelek lagi karena keringat.”
Ketus
dari mulut bukan berarti di dalam hati. Caranya memandang sangat menyentuh,
bahkan sampai membuat sunggingan yang lama membeku, mencair perlahan dan
merekah, karena kehadiran seorang sahabat.
Perbuatan
lebih nyata.
“Aku
tahu koq meskipun kamu jaim begini, kamu sangat perhatian sama aku. Makasih ya
Fit. Mau bersahabat dengan orang jelek seperti aku.”
Fitri
menyosorkan benda penyeka itu dengan menyosorkan kepada Tina. Raut wajahnya
sedikit masam. Dan pergi ke rumahnya – mereka selain sahabat, juga sebagai
tetangga – tanpa permisi sepatah kata pun.
Sejam
kemudian, selesai Fitri sholat dan makan siang, ia mengecek tasnya untuk
mengambil LKS mate-matika, ingin mengerjakan PR yang baru ditugaskan tadi oleh
Pak Idris- Guru Mate-matika. Beberapa ia kali membongkar tasnya, sampai-sampai
membolak-balik dan tetap tidak ada. Segera ia menghubungi Sakinah – teman
sebangkunya yang mungkin saja dia melihatnya.
“Kamu
lihat gak LKS mate-matika aku tadi di kelas? Soalnya aku lagi cari-cari nih gak
ada.”
“Gak,
memangnya kamu gak masukin tas kamu ya? Coba kamu cek di kelas, mungkin aja
masih ada di sana.”
Sakinah
memberi saran.
Tidak
ada jalan lain, sebelum mungkin ada yang mengambil atau merusaknya. Fitri
memutuskan untuk bergegas, merekatkan switter kuning dan membuka ujung celana
jinsnya. Dan, segera meluncur.
Tina
keheranan, sahabatnya berlari keluar rumah dengan cepat, terlihat panik. Apakah
ada sesuatu yang terjadi? Daripada
menunggu saja lebih baik mengikutinya.
***
“Aw...
sorry.”
Dirly
meminta maaf pada Fitri, tidak sengaja menabraknya.
“Gak
pa-pa.”
Sejenak
hanya alis indah dengan wajah ayu nan cantik yang ditatap Dirly, membuat
jantungnya berdegup seakan aliran darahnya ikut berdesir. Dan, sebelum sempat
kenalan, gadis itu buru-buru pergi.
“Subuhanallah.....”
Dirly
merangkul keaguangan Tuhan lewat keMahabesaran-Nya menciptakan seorang gadis
yang baru ditabraknya tadi.
Tina
muncul dan menyaksikan. Seketika badannya melemah, serasa tulang-tulangnya
remuk seketika. Sebelum roboh cepat-cepat meminggirkan diri dan duduk di kursi
depan kelas X Index 1.
“Dirly,
kenapa dia ada di sini?”
Dia
memegang dada, sambil fikirannya melayang-layang. Teringat kisah masa lalunya
dulu di SMP – Dirly mantannya dan meninggalkan dia karena ayahnya pindah tugas
ke kota lain.
Menangis,
rasa hatinya masih sama dengan yang dulu. Tertuju pada Dirly seorang.
***
“Alhamdulillah,
akhirnya aku dapat juga.”
Fitri
merekah senyuman bahagia melihat buku yang dicari-carinya ternyata tertinggal
di dalam laci mejanya.
Dan,
dia terhenti. Kenapa tiba-tiba? Di depannya sekarang ada sahabatnya sedang
menangis sendirian. Apa yang membuatnya menangis?
“Na,
kamu ngapain nangis? Apa yang sebenarnya terjadi sama kamu?” Fitri penasaran
sambil tangan kanannya mengusap bahu sahabatnya dengan lembut.
“Aku
gak apa-apa koq, aku cuma kelilipan aja tadi.”
Sahabat itu berbagi.
Entah itu senang, maupun sedih. Tidak ada yang perlu di sembunyikan. Sahabat
itu sehati, sahabat itu sependeritaan
dan sahabat itu saling mengerti.
Tina
memeluk sahabatnya, memang hanya ia yang mengerti dirinya sekarang. Dan, ia
berkeluh kesah tentang Dirly padanya.
***
Dirly
sangat kagum dengan Fitri, hatinya cenat-cenut mengingat moment tadi. Ia yakin,
gadis itu adalah tambatan hati yang dicarinya. Segala cara coba ia tempuh,
mencari tahu gadis itu walaupun dia hanya seorang anak baru.
“Hi...”
“Astaga,
kamu cowok yang kemarin kan? Maaf ya kemarin aku buru-buru.”
“Fit....
kamu di cari Sak....”
Tina
memotong pembicaraannya. Air matanya menetes. Kenapa di pagi buta ini ia harus
melihat wajah laki-laki yang telah memberinya rasa sakit itu.
“Astaga.”
Dirly
tersadar. Dan sekarang, suhu keheningan pecah sesaat.
Tina
tidak mau bersikap bodoh lagi di depan Dirly, ia beranjak pergi. Tanpa berkata
apa-apa Fitri mengejar sahabatnya.
Duduk
menangis di bawah pohon rindang, berisak tanpa perduli ada yang mendengarnya.
“Fit...
cowok itu.”
“Ya,
aku tahu.”
Fitri
memeluknya, ikutan menangis dan tidak bisa membohongi perasaannya yang
merasakan apa yang dialami sahabatnya sekarang.
***
Meski
tahu, Fitri adalah sahabat mantannya Dirly tidak perduli, dia tetap akan
mengungkapkan perasaannya. Memang sedikit peluangnya untuk diterima, hanya
mencoba jujur dan mengakui perasaannya.
Cinta butuh waktu,
tidak secepat itu. Cinta pandangan pertama memang ada, dan, jika ada takdir
yang memberi kesempatan. Mungkin saja bisa, tapi tidak untuk saat ini.
Dan,
Sahabat selamanya dan cinta mungkin tidak selamanya.
“Maaf...”
Fitri
menolaknya, suaranya samar bercampur sesak di dada.
Sebenarnya,
hatinya juga cinta, namun rasanya tidak mungkin.
Memilih
sendiri lebih baik, untuk tidak ada yang tersakiti.
pict source: imgruge.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar