“Yes-yes....
hore-hore.... akhirnya,” Kegirangan sambil melihat ke langit-langit.
Pesanku
di facebook baru saja dibalas oleh seorang gadis yang aku rindukan tiga tahun
belakangan ini, Yuars teman MTSku dulu. Gadis yang telah berani mencuri hatiku,
namun belum pernah aku mencoba mengungkapkan isi hati yang sebenarnya pada.
Karena merasa diri ini tidak pantas untuk gadis cantik, pintar dan kaya
sepertinya.
Aku hanyalah seorang anak nelayan yang tidak punya apa-apa, hanya
mengandalkan otak sehingga bisa dekat dengannya mengerjakan tugas-tugas sekolah
dulu. Tetapi, peraasan itu kucoba membuangnya jauh-jauh, aku yakin pantas buat
Yuars dan bisa menjadi orang yang special baginya.
Malam
ini sepertinya akan menjadi malamku dengannya, kerinduan yang selama ini
membeku di hati akan segera mencair.
Harapku
malam ini langit bertaburan banyak bintang dan bulan bisa menerangi bumi dengan
cahaya cinta. Untuk menutun bertamu kepada hati Yuars, sang belahan jiwa.
Aku
melihat ke dinding, terlihat jam terpasang di sana. Detakkannya mengalun
lambat, sepertinya berputar lebih lama dari biasanya, membuatku tidak sabaran
untuk bertemu.
Detik
demi detik pun berlalu, malam akhirnya menjelma. Segera ku menunaikan sholat
maghrib kemudian mempersiapkan diri untuk pergi.
Aku
bingungmemilah-milih baju yang harus dikenakan, malam ini aku harus tampil beda
dari yang biasanya.
“Pokoknya
aku harus kelihatan lebih keren di mata Yuars, gak boleh cupu seperti waktu
sekolah di MTS,” sambil terus memilih baju yang cocok.
Waktu
pun final, sempurna, aku telah berusaha merubah diri, memakai kemeja merah
dengan jinz botol kesukaanku, tampak rambutku agak menutupi jidatku. Aroma
tubuhku semerbak dengan semburan parfum di lekuk pakaian. Aku sudah siap untuk
pergi.
Tiba-tiba,
langit menangis menjatuhkan buliran-buliran air mata yang membasahi bumi. Deras
dan seolah tak ingin mengijinkanku pergi.
Pikiranku
menerawang tentang apa yang harus aku lakukan, hatiku berkecamuk kepada seorang
yang akan menungguku di sana.
“Pasti
Yuars lagi nungguin aku nih, kenapa hujan pakai turun segala lagi,” dengan
wajah yang cemberut.
Bingung,
entah apa yang harus kuperbuat. Haruskah aku pergi sementara hujan masih
mengguyur di luar sana atau haruskah berdiam diri, tanpa melakukan apa-apa.
Pandanganku
terfokus kepada sebuah benda yang tergantung di balik pintu, sebuah payung
berwarna biru nampak. Bergegas mengambilnya, namun, ketika payung itu sudah ada
dalam genggamanku dan mencoba membukanya. Payung itu ternyata rusak sepertinyatelah
termakan usia.
“Astagfirullah,
ternyata payung ini rusak. Jadi bagaimana caranya saya harus pergi?” kataku pada diri sendiri.
Mondar-mandir
seperti seterika, menunggu agar hujan cepat reda. Membuat Ibu dan adik-adikku
keheranan. Sempat mereka bertanya, namun jawabanku hanya sunggiman senyuman
kecil.
Melihat
lagi jarum jam, di sana menuju titik 19.30,
Yuars sepertinya sudah menunggu selama setengah jam.
“Ya
Allah, aku harus gimana ? kayaknya Yuars sudah menungguku setengah jam lebih.
Kalau begini jadinya, aku gak bisa ketemu dong sama dia. Mana aku gak punya
nomor teleponnya lagi. Ya Allah bantu hamba,” Sambil terus modar-mandir
kesana-kemari.
Kembali
mencoba melakukan sesuatu, mencoba menghubungi Yuars lewat facebook. Perlahan
ingin membuka akunku, namun, tidak bisa terhubung. Jaringan internet sepertinya
dipengaruhi oleh cuaca buruk. Aku semakin bingun.
Letih
dari tadi mondar-mandir, aku memutuskan untuk duduk di bangku teras rumah.
Sambil melihat kembali tetesan-tetesan hujan yang terus mengalir dari langit,
deras sehingga bunyinya seperti ingin menulikan telinga.
Aku
membayangkan sosok gadis yang selama ini kunanti, sedang menunggu sendiri,
pasti dingin membalut dan ingin menusuk tulang-tulangnya.
` “Haruskah aku tega membiarkan Yuars
sendiri menunggu sendiri dalam dingin?”
Hati
terus merengek, ingin bertemu dengan Yuars hingga aku memutuskan untuk pergi,
meski hujan tak kunjung reda. Tetapi, ketika aku melihat diriku lagi yang
benar-benar sudah sempurna dan sangat keren, sejenak berpikir ulang untuk
beranjak.
“Tapi
aku sudah cakep, masa aku harus pergi dalam keadaan hujan di luar sana.
Otomatis aku jadi basah kuyub dong,” dalam kebimbangan.
Semakin
bingung, di sisi lain aku tidak ingin membiarkan Yuars menunggu terlalu lama
dan di sisi lain tidak ingin rencana untuk tampil keren di mata pemilik hati
gagal karena basah kuyub.
Memandang
lagi putaran jarum jam, sudah mengarah ke pukul 18.00, aku panik dan dilemah. Mencoba
meruncingkan pikiran, berusaha mencari jalan yang terbaik. Sambil menutup mata
kucoba mendengar kata hati, aku mendengar jelasnya berucap harus pergi, meski
hujan dan badai menerpa di luar sana.
Berlari
dengan kencang, terpaan hujan begitu terasa menghempas tubuh yang keras dan
mengigilkan, angin berhembus dengan kencangnya sampai tiupannya pun terdengar.
Aku terus berlari di atas trotoar jalan, terlihat tidak banyak kendaraan yang
lewat, hanya beberapa saja datang dari arah berlawanan.
Hingga
pelarianku berujung di sebuah tempat, tepat di depan sebuah mesjid. Di sana
nampak seorang gadis ayu duduk di sebuah kursi panjang, lagi tersenyum lebar.
Aku senang melihatnya, dia sudah banyak berubah, lebih cantik dan anggung
dibanding yang dulu. Terlihat lebih putih, saat itu dia mengenakan dress
panjang dengan jilbab yang berwarna kuning.
Aku
ingin mendakatinya, tetapi terhenti ketika ada seorang laki-laki duduk di
sampingnya. Nampak mereka sedang asyik bercerita dan tertawa riuh bersama.
Hatiku bertanya-tanya siapakah lelaki itu.
“Ya
Allah, jangan-jangan laki-laki itu pacarnya dan ingin dia perkenalkan kepadaku.”
Aku
melihat diriku sudah basah kuyub, persiapanuntuk tampil keren di hadapannya
hanyalah harapan belaka. Memandang diriku sendiri lalu melihat panampilan
laki-laki di samping Yuars, terlihat sangat berbeda. Dia tampak lebih tampan
dan keren, sepertinya orang berada.
Kuurungkan
niat untuk bertemu, tidak pantas rasanya bertemu dengan dalam keadaan basah.
Lebih baik aku pulang, biar perasaan cinta ini terkubur selamanya, mungkin aku
dan Yuars tidak akan pernah bersatu.
Pulang
membawa pedih dalam diri, membiarkan saja hujan mengguyur. Hempasannya kembali
terasa, sangat dingin menusuki. Derasnya hujan sama seperti derasnya tangisan
dalam dada, tentang cinta yang akan selamanya terpendam.
Hujan
pun seakan tahu, bahwa diriku dan Yuars memang tidak akan pernah bersatu.
Seperti langit dan bumi, terpisah jauh. Hujan menjadi saksi bisu akan nasib
cinta ini, yang malang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar