post-thumbnail{float:left;margin-right:20px}

YUDHA

Jumat, 27 Oktober 2017

HUJAN SAKSI BISU




 
“Yes-yes.... hore-hore.... akhirnya,” Kegirangan sambil melihat ke langit-langit.
Pesanku di facebook baru saja dibalas oleh seorang gadis yang aku rindukan tiga tahun belakangan ini, Yuars teman MTSku dulu. Gadis yang telah berani mencuri hatiku, namun belum pernah aku mencoba mengungkapkan isi hati yang sebenarnya pada. Karena merasa diri ini tidak pantas untuk gadis cantik, pintar dan kaya sepertinya.
Aku hanyalah seorang anak nelayan yang tidak punya apa-apa, hanya mengandalkan otak sehingga bisa dekat dengannya mengerjakan tugas-tugas sekolah dulu. Tetapi, peraasan itu kucoba membuangnya jauh-jauh, aku yakin pantas buat Yuars dan bisa menjadi orang yang special baginya.
Malam ini sepertinya akan menjadi malamku dengannya, kerinduan yang selama ini membeku di hati akan segera mencair.
Harapku malam ini langit bertaburan banyak bintang dan bulan bisa menerangi bumi dengan cahaya cinta. Untuk menutun bertamu kepada hati Yuars, sang belahan jiwa.
Aku melihat ke dinding, terlihat jam terpasang di sana. Detakkannya mengalun lambat, sepertinya berputar lebih lama dari biasanya, membuatku tidak sabaran untuk bertemu.
Detik demi detik pun berlalu, malam akhirnya menjelma. Segera ku menunaikan sholat maghrib kemudian mempersiapkan diri untuk pergi.
Aku bingungmemilah-milih baju yang harus dikenakan, malam ini aku harus tampil beda dari yang biasanya.
“Pokoknya aku harus kelihatan lebih keren di mata Yuars, gak boleh cupu seperti waktu sekolah di MTS,” sambil terus memilih baju yang cocok.
Waktu pun final, sempurna, aku telah berusaha merubah diri, memakai kemeja merah dengan jinz botol kesukaanku, tampak rambutku agak menutupi jidatku. Aroma tubuhku semerbak dengan semburan parfum di lekuk pakaian. Aku sudah siap untuk pergi.
Tiba-tiba, langit menangis menjatuhkan buliran-buliran air mata yang membasahi bumi. Deras dan seolah tak ingin mengijinkanku pergi.
Pikiranku menerawang tentang apa yang harus aku lakukan, hatiku berkecamuk kepada seorang yang akan menungguku di sana.
“Pasti Yuars lagi nungguin aku nih, kenapa hujan pakai turun segala lagi,” dengan wajah yang cemberut.
Bingung, entah apa yang harus kuperbuat. Haruskah aku pergi sementara hujan masih mengguyur di luar sana atau haruskah berdiam diri, tanpa melakukan apa-apa.
Pandanganku terfokus kepada sebuah benda yang tergantung di balik pintu, sebuah payung berwarna biru nampak. Bergegas mengambilnya, namun, ketika payung itu sudah ada dalam genggamanku dan mencoba membukanya. Payung itu ternyata rusak sepertinyatelah termakan usia.
“Astagfirullah, ternyata payung ini rusak. Jadi bagaimana caranya saya harus pergi?”  kataku pada diri sendiri.
Mondar-mandir seperti seterika, menunggu agar hujan cepat reda. Membuat Ibu dan adik-adikku keheranan. Sempat mereka bertanya, namun jawabanku hanya sunggiman senyuman kecil.
Melihat lagi jarum jam, di sana menuju titik 19.30,  Yuars sepertinya sudah menunggu selama setengah jam.
“Ya Allah, aku harus gimana ? kayaknya Yuars sudah menungguku setengah jam lebih. Kalau begini jadinya, aku gak bisa ketemu dong sama dia. Mana aku gak punya nomor teleponnya lagi. Ya Allah bantu hamba,” Sambil terus modar-mandir kesana-kemari.
Kembali mencoba melakukan sesuatu, mencoba menghubungi Yuars lewat facebook. Perlahan ingin membuka akunku, namun, tidak bisa terhubung. Jaringan internet sepertinya dipengaruhi oleh cuaca buruk. Aku semakin bingun.
Letih dari tadi mondar-mandir, aku memutuskan untuk duduk di bangku teras rumah. Sambil melihat kembali tetesan-tetesan hujan yang terus mengalir dari langit, deras sehingga bunyinya seperti ingin menulikan telinga.
Aku membayangkan sosok gadis yang selama ini kunanti, sedang menunggu sendiri, pasti dingin membalut dan ingin menusuk tulang-tulangnya.
`           “Haruskah aku tega membiarkan Yuars sendiri menunggu sendiri dalam dingin?”
Hati terus merengek, ingin bertemu dengan Yuars hingga aku memutuskan untuk pergi, meski hujan tak kunjung reda. Tetapi, ketika aku melihat diriku lagi yang benar-benar sudah sempurna dan sangat keren, sejenak berpikir ulang untuk beranjak.
“Tapi aku sudah cakep, masa aku harus pergi dalam keadaan hujan di luar sana. Otomatis aku jadi basah kuyub dong,” dalam kebimbangan.
Semakin bingung, di sisi lain aku tidak ingin membiarkan Yuars menunggu terlalu lama dan di sisi lain tidak ingin rencana untuk tampil keren di mata pemilik hati gagal karena basah kuyub.
Memandang lagi putaran jarum jam, sudah mengarah ke pukul 18.00, aku panik dan dilemah. Mencoba meruncingkan pikiran, berusaha mencari jalan yang terbaik. Sambil menutup mata kucoba mendengar kata hati, aku mendengar jelasnya berucap harus pergi, meski hujan dan badai menerpa di luar sana.
Berlari dengan kencang, terpaan hujan begitu terasa menghempas tubuh yang keras dan mengigilkan, angin berhembus dengan kencangnya sampai tiupannya pun terdengar. Aku terus berlari di atas trotoar jalan, terlihat tidak banyak kendaraan yang lewat, hanya beberapa saja datang dari arah berlawanan.
Hingga pelarianku berujung di sebuah tempat, tepat di depan sebuah mesjid. Di sana nampak seorang gadis ayu duduk di sebuah kursi panjang, lagi tersenyum lebar. Aku senang melihatnya, dia sudah banyak berubah, lebih cantik dan anggung dibanding yang dulu. Terlihat lebih putih, saat itu dia mengenakan dress panjang dengan jilbab yang berwarna kuning.
Aku ingin mendakatinya, tetapi terhenti ketika ada seorang laki-laki duduk di sampingnya. Nampak mereka sedang asyik bercerita dan tertawa riuh bersama. Hatiku bertanya-tanya siapakah lelaki itu.
“Ya Allah, jangan-jangan laki-laki itu pacarnya dan ingin dia perkenalkan kepadaku.”
Aku melihat diriku sudah basah kuyub, persiapanuntuk tampil keren di hadapannya hanyalah harapan belaka. Memandang diriku sendiri lalu melihat panampilan laki-laki di samping Yuars, terlihat sangat berbeda. Dia tampak lebih tampan dan keren, sepertinya orang berada.
Kuurungkan niat untuk bertemu, tidak pantas rasanya bertemu dengan dalam keadaan basah. Lebih baik aku pulang, biar perasaan cinta ini terkubur selamanya, mungkin aku dan Yuars tidak akan pernah bersatu.
Pulang membawa pedih dalam diri, membiarkan saja hujan mengguyur. Hempasannya kembali terasa, sangat dingin menusuki. Derasnya hujan sama seperti derasnya tangisan dalam dada, tentang cinta yang akan selamanya terpendam.
Hujan pun seakan tahu, bahwa diriku dan Yuars memang tidak akan pernah bersatu. Seperti langit dan bumi, terpisah jauh. Hujan menjadi saksi bisu akan nasib cinta ini, yang malang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar